31 March 2010

Industri Makelar Kasus

DI negeri yang penuh kasus,penuh permasalahan, makelar kasus telah tumbuh sebagai industri bernilai tambah tinggi. Permintaan terhadap layanan jasa kemakelaran, yaitu jasa untuk menjembatani pihak-pihak yang sepintas memiliki kepentingan berlawanan, tapi sesungguhnya sama-sama mencari solusi saling menguntungkan, tak akan pernah lesu.

Pasar jasa kemakelaran dalam teori ekonomi disebut sebagai pasar dengan karakter permintaan yang inelastis. Dengan nama, derajat, dan intensitas berbeda, industri ini marak pada hampir semua mata rantai kehidupan masyarakat dan secara khusus tumbuh subur di sekujur birokrasi pelayanan publik.


Kita telah terbiasa berbicara soal calo pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), calo pembuatan surat izin mengemudi (SIM), makelar pengurusan jabatan fungsional akademik guru besar, makelar kasus hukum,dan yang sekarang sedang diributkan, makelar kasus pajak. Peran sebagai makelar menjanjikan imbalan berlimpah karena dalam posisi makelar, seseorang secara leluasa dapat memainkan sisi penawaran dan permintaan secara serentak.

Penawaran di sini sengaja dikesankan langka (scarce) dan eksklusif agar harga dapat ditentukan mirip seperti pada struktur pasar monopoli. Bila yang ditawarkan berkaitan dengan soal kewenangan negara dan pemanfaatan lubang-lubang peraturan (loopholes), selalu dikesankan bahwa risiko konsesi yang diberikan besar sehingga pasar jasa ini seolah-olah bersifat ”take-it or leave-it” (ambil atau lepas).

Permintaan tak pernah surut (inelastis) karena pihak yang seharusnya melayani piawai memproduksi masalah. Produksi masalah dilakukan karena besar-kecilnya rezeki merupakan fungsi dari kemampuan menciptakan masalah tiada henti. Di hadapan petugas yang memiliki kewenangan besar, para peminta layanan jasa hanya bisa berperan sebagai pecundang.

Birokrasi pelayanan publik kita selama ini terkontaminasi praktikpraktik pemakelaran yang parah, yang sesungguhnya merupakan anak kandung sistemik sebagai upaya mengatasi keterbatasan penghasilan penjabat publik.Jadi, tugas tak tertulis pertama para penjabat publik adalah memilih makelar, calo, atau orang kepercayaan untuk dijadikan tumpuan mengamankan sumber-sumber rezekinya yang sebagian besar terdiri atas upeti. Birokrasi upeti berlapis-lapis seperti ini telah menjadi rahasia umum sejak lama.

Upeti bahkan sudah dimainkan sejak proses awal rekrutmen peserta didik dan calon pegawai instansi pelayan publik. Kondisi ini pula yang mendorong kita untuk melakukan upaya terobosan reformasi birokrasi. Kita sadar, biang masalah dan kendala terbesar proses pembangunan nasional terletak pada birokrasi negara. Ekspresi keterkejutan kita tentang maraknya praktik makelar kasus sesungguhnya bagian dari ekspresi kepura-puraan kolektif kita sebagai bangsa.

Memusuhi makelar kasus berarti memusuhi mereka-mereka yang selama ini telah membuat kita nyaman dan hidup enak-terhormat.Tugas memberantas makelar kasus hampirhampir identik dengan tugas untuk memerangi diri sendiri. Itu sebabnya kita tak perlu kecewa apabila setiap ada kasus meledak, yang terjadi adalah upaya mengulur waktu penyelesaian agar dampak sistemik dari kasus tersebut dapat diisolasi atau diminimalkan.

Supaya ada kesan serius biasanya dilakukan mutasi,demosi, atau pemecatan secara terbatas. Setelah beberapa waktu, praktik yang sama kembali berulang, dengan modus atau pola yang telah dimodifikasi,dengan jaringan kerja atau jaringan pertemanan yang lebih selektif lagi. Gayus Tambunan, pegawai pajak yang saat ini menjadi selebriti buron, adalah contoh anak muda yang ”sukses” karena pada usia muda telah mampu menempatkan diri pada jaringan kerja yang strategis dan bernilai tambah menggiurkan.

Bayangkan, pada usia kerja (tenure) yang pendek, dia mendapat kepercayaan untuk menangani kasus bernilai miliaran rupiah. Hanya nasib sial yang membawanya jadi buron. Di lain sisi,Gayus dinilai berjasa karena teman-teman yang menjalankan peran serupa kini telah diingatkan olehnya agar lebih hatihati atau mempercanggih modus kerja pemakelarannya.

Bagi jaringan kerja mafia makelarnya, kasus Gayus mungkin dianggap pelajaran tambahan agar rekrutmen keanggotaan mafia dilakukan lebih hati-hati karena untuk melakukan korupsi kolektif juga dibutuhkan ”kesalingpercayaan yang tinggi”. Kasus Gayus juga mengentakkan kita,ternyata apa yang selama ini kita anggap normal mengandung cacat (the pathology of normalcy).

Kewajiban membayar pajak telah bermetamorfosis menjadi permainan ”Paling Aman jika Anda Kompromi”.Kompromi ini dilakukan berlapis-lapis dan sering melibatkan peran konsultan yang merangkap sebagai ahli suap.Kalangan pengusaha sering memilih konsultan yang telah memiliki reputasi sebagai makelar yang aman. Kita sepakat, Gayus akan berjasa dan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah republik apabila dia mampu membeberkan berbagai modus penggelapan pajak yang terjadi.

Sayang, sampai sekarang kita belum memiliki sistem insentif untuk mendorong dan melindungi para peniup peluit (whistleblower) melakukan hal demikian. Ide untuk menerapkan asas pembuktian terbalik pada kekayaanpara penjabatpublikmerupakan ide yang bagus.

Namun, pelaksanaannya akan lebih efektif bila diintegrasikan dengan pemberlakuan asas pengampunan penyimpangan di masa lalu dan pelaksanaan metode ”stick and carrot”dalam sistem remunerasi penjabat publik. Dibutuhkan langkah-langkah luar biasa untuk menciptakan keseimbangan baru atau destruksi kreatif pada struktur industri korupsi yang telah berurat-akar ini. Dibutuhkan komitmen politik dalam dosis yang ekstrabesar.(*)

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D
Pengamat Ekonomi
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/314458/

Selengkapnya.....

03 September 2009

Tolak Gugatan JK-Mega, MK Kukuhkan Hasil Pilpres

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) nomor perkara 108-109/PHPU.B-VIII/2009 yang diajukan oleh pasangan Capres JK-WIN dan Mega-Prabowo, Rabu (12/8) di ruang sidang Pleno MK. Dengan demikian, pemilihan umum presiden/wakil presiden yang menghasilkan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang, sah menurut hukum.


Dalam persidangan, terungkap bahwa data-data yang diajukan oleh para Pemohon banyak yang hanya berupa asumsi semata. “Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil yang hanya berupa angka-angka tanpa diiringi oleh alat bukti yuridis tidak dapat menjadi landasan Mahkamah untuk mengabulkan permohonan para Pemohon,” kata hakim konstitusi Maruarar Siahaan.

Berkaitan dengan eksepsi, Mahkamah berpendapat bahwa keberatan Termohon dan Pihak Terkait tersebut tidak beralasan sehingga harus dikesampingkan. “Eksepsi yang berkaitan dengan error in objecto tidak tepat dikarenakan Mahkamah tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan penghitungan hasil suara Pilpres tetapi juga keadilan substantifnya,” ujar hakim konstitusi Maria Farida.

Eksepsi kedua mengenai kaburnya (obscuur libel) permohohan, Mahkamah berpendapat bahwa terdapat 5 (lima) ukuran untuk menilai sebuah permohonan adalah kabur, yaitu; a). posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang mendasari permohonan; b). objek perselisihan tidak jelas, misalnya tidak memuat identitas pihak-pihak terkait, lokasi dan waktu kejadian; c). posita dan petitum bertentangan; d). petitum tidak terinci secara jelas; e).eksepsi Termohon memasuki pokok permohonan.

Berdasarkan kelima ukuran tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan tidaklah obscuur libel. Eksepsi ketiga yang berkaitan dengan pergantian permohonan oleh Mahkamah dianggap bukanlah alas an untuk menerima eksepsi Termohon. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 7 angka 3 Peraturan MK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang memperbolehkan perbaikan permohonan pada persidangan hari pertama. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Mahkamah memutuskan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak dapat diterima.

TPS dan DPT
Sementara itu, dalil Pemohon mengenai permasalahan penghilangan 69.000 TPS oleh KPU menurut Mahkamah tidak serta merta menguntungkan salah satu pasangan peserta Pilpres. “Sangat tidak rasional jika 69.000 TPS dikalikan dengan 500 orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilihnya diakui sebagai perolehan suara Pemohon I. Adapun terkait istilah “pemilih pemohon” yang didalilkan Pemohon II dianggap sebagai kader partai Pemohon II yang hanya karena memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai atau menjadi anggota tim sukses atau simpatisan partai,” kata Hakim konstitusi Achmad Sodiki.

Sedangkan untuk permasalahan DPT yakni terkait adanya pemilih dengan NIK ganda, nama dan NIK yang ganda, nama, alamat, tanggal lahir dan NIK ganda, serta softcopy yang berbeda, Mahkamah menilai tidak dapat dibuktikan keterkaitannya dengan penggelembungan suara oleh para Pemohon.

“sepanjang menyangkut masalah DPT yakni penggunaan soft copy DPT tidak dapat dijadikan pedoman akhir untuk menentukan jumlah dan rincian DPT yang sebenarnya karena seharusnya DPT dalam bentuk soft copy harus didukung dengan DPT riil yang berbasis masing-masing TPS. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak berdasar hukum dan harus dikesampingkan,” ungkap hakim konstitusi Akil Mochtar.

Menolak Permohonan Seluruhnya
Setelah mempertimbangkan dalil-dalil beserta bukti yang diajukan Pemohon dalam persidangan, Mahkamah menilai bahwa permohonan tidak memiliki nilai yuridis.

“Mengenai adanya penambahan perolehan suara Pihak Terkait dan mengenai adanya pengurangan suara baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak terbukti secara hukum. Jumlah perolehan suara yang didalilkan, baik oleh Pemohon I maupun oleh Pemohon II tidak beralasan hukum,” ujar hakim konstitusi Moh. Mahfud MD.

Terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan pidana Pemilu, Mahkamah berpendapat bahwa perkara tersebut telah ditangani oleh apparatus hukum yang berwenang. “Terhadap perkara-perkara pidana yang lain yang belum dilaksanakan proses hukumnya, dapat dilanjutkan ke Peradilan Umum,” ujar hakim konstitusi Maruarar Siahaan.

Dengan pertimbangan diatas, Mahkamah menolak permohonan Pemohon. “Dalam pokok perkara menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk seluruhnya,” Tegas Moh. Mahfud MD dalam pembacaan amar putusan.

Pemohon dalam persidangan kali ini hanya diwakili oleh para Kuasa Hukumnya. Pasangan Calon Presiden No.1 Jusuf Kalla-Wiranto diwakili oleh Victor Nadapdap, Andi M Asrun, dan Tim Advokasi JK-Win. Sedangkan pasangan Capres-Cawapres No urut 2 diwakili Arteria Dahlan, Mahendradatta, dan Tim Advokasi Mega-Pro lainnya.

Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3325

Selengkapnya.....

27 July 2009

Pilpres Putaran ke-2 (Kedua): Sebuah Keniscayaan?

Oleh Budi H. Wibowo

Pada 25 Juli 2009 (17 hari sejak pemungutan suara 8 Juli 2009) Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilhan umum (pemilu) presiden 2009. KPU menetapkan pasangan capres-cawapres SBY-Boediono sebagai pemenang yang memperoleh suara sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen. Disusul pasangan Mega-Prabowo dengan perolehan 32.548.105 suara (26,79 persen) dan JK-Wiranto yang berhasil mengumpulkan suara sebesar 15.081.814 atau 12,41 persen.


Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilpres sebanyak 176.367.056 pemilih, jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan DPT Pemilu Legislatif yaitu sebesar 171.265.442, atau terdapat selisih sebesar 5.101.614 pemilih (lihat KPU). Dari jumlah itu, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sejumlah 121.504.481 (suara sah hasil pilpres dari ketiga pasangan capres-cawapres). Jika mendasarkan pada jumlah DPT yang ada dengan jumlah hasil suara pasangan capres-cawapres tersebut maka terdapat sebanyak 54.462.575 atau 31,11 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput (golongan putih).

Kisruh DPT dan Potensi Sengketa
Mencermati pengumuman hasil KPU pada 25 Juli lalu terlihat bahwa satu pasangan capres-cawapres yaitu Mega-Prabowo yang tidak hadir dalam acara tersebut. Alih-alih menyebutkan bahwa ketidakhadiran pasangan tersebut ada kaitannya dengan DPT yang dipersoalkan. Mengapa DPT dipersoalkan, mungkin itu pertanyaan yang perlu kita perhatikan. Dan alasan apa yang ada di balik ketidakhadiran pasangan itu? Apakah hasil rekapitulasi KPU terhadap pilpres akan disengketakan oleh mereka?

Beberapa pertanyaan mendasar ini patut kita lihat signifikansinya bagi keberlanjutan pilpres yang mungkin saja bakal digelar untuk tahap yang kedua. Jika benar terdapat pasangan capres-cawapres yang akan mengajukan sengeka hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi, maka pemungutan suara pilpres tahap kedua bisa dilakukan? Tentunya kita harus melihat aturan dan mekanisme yang ada.

Pasal 201 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) menyebutkan bahwa “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Adapun yang menentukan terpilihnya capres-cawapres didasarkan pada Pasal 159 UU a quo, terutama ayat (1) yang menyebutkan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.

Apabila merujuk pada ketentuan di atas maka dimungkinkan pasangan capres-cawapres yang akan mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi bakal menemui kesulitan jika yang dijadikan “alasan” adalah persoalan DPT. Akan berbeda ceritanya bila yang menjadi sengketa adalah persoalan adanya kesalahan rekapitulasi penghitungan mulai tingkat TPS sampai provinsi. Kesalahan yang dimaksud adalah terdapatnya perbedaan rekapitulasi yang didukung dengan bukti-bukti mulai dari formulir C1, C2 plano, dan lain-lain, termasuk jika mungkin disinyalir terjadi pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistemik, dan massif.

Pilpres Putaran ke-2
Melihat kemungkinan perkara yang akan diajukan oleh salah satu atau dua pasangan capres-cawapres ke Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pemilu presiden dan apabila diasumsikan perkara yang diajukan mempermasalahkan kesalahan rekapitulasi maka adalah sebuah keniscayaan untuk menggelar pilpres putaran kedua. Hal ini berdasarkan asumsi jika permohonan perkara yang diajukan memang dapat terbukti dan turut mempengaruhi secara signifikan terhadap perolehan hasil suara pasangan SBY-Boediono terutama terkait dengan 20% suara di setiap provinsi.

Jika hal ini terjadi maka Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres dapat diterapkan. Adapun bunyi dari ayat (2), “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Artinya bahwa jika perkara yang diajukan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan mempengaruhi perolehan suara pasangan SBY-Boediono di 20% provinsi maka meksipun memperoleh lebih dari 50% dari jumlah suara yang ada akan tetapi tidak memenuhi syarat seperti dimaksud pada ayat (2).

Menilik pada hasil rekapitulasi suara KPU, pasangan nomor urut 2 hanya kalah di 4 (empat) provinsi atau 12,12 persen dari 33 provinsi yang ada (lihat KPU). Artinya bahwa untuk capres-cawapres nomor urut 2 sudah lebih dari setengah jumlah provinsi. Dan dari 4 provinsi itu, pasangan SBY-Boediono –meskipun kalah— berhasil meraup suara lebih dari 20% (Bali 43,03%; Sulawesi Tenggara 45,61%; Sulawesi Selatan 31,62%, dan Maluku Utara 38,94%).

Terlepas dari semua itu, mari kita serahkan penyelesaikan sengketa pilpres ini kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang akan diajukan. Semoga Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya demi kemajuan demokrasi di Indonesia. Wallahu’alam.

Selengkapnya.....

09 July 2009

Kupas Kilas Pilpres 2009

Oleh Budi H. Wibowo

8 Juli 2009 adalah momentum sejarah yang akan tercatat dalam lembar sejarah perkembangan demokratisasi di Indonesia. Generasi-generasi berikutnya akan selalu mengingat bahwa tanggal tersebut menjadi tonggak tersendiri bagi kemajuan dan sekaligus pengalaman berharga yang dapat menjadi pelajaran berarti di masa datang. Berbagai kontroversi yang menyeliputi pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) presiden 2009 –mulai dari awal hingga pelaksanaannya— menjadi bahan penting untuk kelanjutan masa depan kehidupan demokrasi.


Pemilu presiden (pilres) 2009 adalah pemilu kedua yang dilaksanakan secara langsung di mana rakyat Indonesia secara langsung memilih calon presiden dan calon wakil presiden pilihan mereka. Rakyat sekali lagi telah diberikan tempat “istimewa” dalam alam demokrasi Indonesia karena selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

Peran penting rakyat dalam pilpres 2009 sempat “terganggu” dengan adanya kisruh mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, hal ini minimal dapat teratasi dengan adanya Putusan MK perihal memperbolehkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang disertakan Kartu Keluarga (KK) dan Paspor bagi warga yang tidak tercantum dalam DPT. Walhasil, warga negara pada 8 Juli 2009 –yang semula tidak dapat memilih karena tidak ada dalam DPT—dapat memilih dan menggunakan haknya sehingga warga negara/rakyat dapat berpartisipasi.

Laporan Penggunaan Dana Kampanye
Nampak jelas dalam penglihatan dan pendengaran kita, bahwa para capres-cawapres pada pilpres 2009 dengan sungguh-sungguh ingin memikat hati rakyat agar memilih mereka. Berbagai macam jenis iklan yang disungguhkan melalui media televisi, radio, internet, media cetak, dan sebagainya memberikan kesan bahwa kesungguhan tersebut memang patut diapresiasikan meskipun tidak sedikit biaya yang dikeluarkan karena iklan-iklan tersebut.

Berdasarkan data KPU (lihat www.kpu.go.id) sampai tanggal 5 Juli 2009 tercatat dana kampanye ketiga pasangan capres-cawapres masing-masing adalah 1. Mega-Prabowo sebesar Rp. 257.600.050.000,-; 2. SBY-Boediono sebesar Rp. 200.470.446.232,-; dan 3. JK-Wiranto sebesar Rp. 83.327.864.390,-. Dari jumlah dana kampanye tersebut jelas tersirat bahwa betapa besarnya modal bagi seorang capres-cawapres yang berkompetisi memperebutkan kursi kepresidenan.

Modal yang besar itu patut untuk diperiksa sehingga kecurigaan-kecurigaan seperti pada pemilu 2004 tidak terjadi. Misalnya pada pemilu 2004 sempat terdapat kecurigaan penggunaan dana kampanye yang diawali dengan adanya pengakuan Amien Rais yang menerima dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kecurigaan Amien tersebut sempat memicu ketegangan pasca pemilu 2004 (lihat Kompas, 4 Juni 2007).

Terkait dengan itu, maka pengalaman pada pilpres 2004 patut menjadi pelajaran tersendiri bagi publik untuk tidak saja hanyut dalam euforia kemenangan salah satu capres-cawapres tetapi lebih dari itu harus memperhatikan secara jelas laporan penggunaan dana kampanye sebagai wujud amanat undang-undang yang menyebutkan bahwa pasangan capres-cawapres dan tim kampanye melaporkan penggunaan dana kampanye kepada KPU paling lama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa kampanye (lihat Pasal 100 UU No. 42 Tahun 2008).

Antisipasi Perselisihan Hasil Pilpres
Bagi capres-cawapres dan para tim suksesnya yang berdasarkan perhitungan cepat (quick count) merasa telah “menang” tentunya telah bersyukur dan berucap “selamat”. Tetapi hal ini tentunya masih menunggu penetapan hasil pemilu yang diumumkan oleh KPU (30 hari sejak pemungutan suara dilakukan). Suasana gembira dan suka ria capres-cawapres yang oleh sementara perhitungan dianggap menang. Berdasarkan quick count capres-cawapres SBY-Boediono berada pada urutan nomor satu alias “pemenang” karena memperoleh hampir 60 persen lebih suara pemilih dibandingkan dengan kompetitor lainnya.

Sembari menunggu pengumuman resmi KPU mengenai hasil perhitungan suara pada pilpres 2009 maka sudah sepatutnya bagi para kontestan pilpres menyiapkan dan mempersiapkan bahan dan data jika dianggap terjadi perbedaan suara ataupun hal-hal terkait dengan suara yang diperoleh mereka. Mengapa demikian? Karena hal inilah yang mungkin kurang diperhatikan oleh para kontestan dan juga merujuk pada pengalaman pelaksanaan pemilu legislatif beberapa waktu lalu di mana bahan dan data yang dapat dijadikan bukti untuk diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi kurang memadai.

Kesiapan dan persiapan dari masing-masing kontestan baik yang sementara dianggap menang maupun yang sementara dianggap kalah adalah penting dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa berdasarkan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 capres-cawapres yang terpilih menjadi presiden adalah yang memenuhi lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Paling tidak untuk kesiapan dan persiapan mengantisipasi perselisihan hasil pilpres yang mungkin diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi para capres-cawapres perlu mengetahui pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilu presiden dan wapres, terutama yang terkait dengan alat bukti. Alat bukti dimaksud adalah surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, dan petunjuk (lihat Pasal 9 PMK No. 17 Tahun 2009).

Antisipasi perselisihan hasil pilpres ini juga seharusnya dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggaran pilpres karena ketika nantinya hasil pilpres ternyata diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi maka KPU jelas akan menjadi pihak terkait guna menguji bukti-bukti dari para pemohon (capres-cawapres).

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika ternyata putusan MK atas perkara PHPU Pilpres mengubah komposisi hasil piplres 2009? Misalkan pasangan capres-cawapres SBY-Boediono yang telah mendapatkan hasil lebih dari 50 persen suara pemilih dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia berubah karena adanya Putusan MK yang mengabulkan permohonan capres-cawapres Mega-Prabowo sehingga menyebabkan suara SBY-Boediono menjadi tetap lebih dari 50 persen suara dengan 15 persen suara di setiap provinsi. Artinya, meskipun terpenuhi lebih dari 50 persen suara tetapi ternyata akibat Putusan MK suara SBY-Boediono tidak mencapai 20 persen suara di setiap provinsi. Apa yang akan terjadi? Tentunya dapat mengakibatkan pilpres putaran kedua digelar.

Oleh karena itu, bagi para capres-cawapres antisipasi berbagai hal termasuk perselisihan hasil pilpres harus disiapkan sehingga masalah yang mungkin terjadi dapat diatasi dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan agar penetapan presiden dan wapres terpilih tidak berlarut-larut karena agenda implementasi program kerja dari presiden-wapres terpilih sudah ditunggu rakyat.

Selengkapnya.....
MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox