14 January 2008

Optimisme Bersyarat 2008

Dinamika eksternal telah memberi banyak aksentuasi pada perekonomian 2007 dan diperkirakan masih akan berlanjut pada 2008. Gejolak perekonomian suatu negara besar kini kian cepat ditransmisikan ke seluruh dunia karena pada dasarnya "dunia sudah mendatar"—sebagaimana tesis Thomas L Friedman (The World is Flat, 2005).

Kasus krisis subprime mortgage mendemonstrasikan, betapa integrasi ekonomi dalam perekonomian global bisa membawa volatilitas yang lebih lebar, yang berpotensi memperlebar jurang ketidakmerataan ekonomi antarnegara, sebagaimana sinyalemen Joseph E Stiglitz (Making Globalization Work, 2006: 292).

Pada dasarnya, ada dua kejadian dalam perekonomian dunia yang masih berpotensi memberi dampak terhadap perekonomian Indonesia pada 2008.

Pertama, harga minyak yang cenderung naik dan sulit diprediksi karena banyak faktor terlibat, baik obyektif (supply and demand) maupun subyektif (sentimen).

Kedua, imbas dari krisis subprime mortgage yang sewaktu-waktu masih bisa muncul kembali.

Kedua faktor ini menyebabkan banyak lembaga ekonomi internasional meyakini akan terjadinya perlambatan perekonomian dunia pada 2008.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global ini, antara lain, ditandai dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (dari 2,1 persen pada 2007 menjadi 2,0 persen atau lebih rendah pada 2008); China (dari 11,5 persen menjadi sekitar 10 persen), kawasan euro (dari 2,6 persen menjadi 1,9 persen), Jepang (dari 1,9 persen menjadi 1,7 persen). Perlambatan ini disebabkan oleh kemungkinan tekanan inflasi yang masih tinggi (sebagai dampak kenaikan harga minyak) dan belum pulihnya confidence terhadap perekonomian AS setelah terkena krisis subprime mortgage. Beberapa investment banks raksasa (Citigroup, Merril Lynch, dan lain-lain) bahkan menderita kerugian besar, mencapai total ratusan miliar dollar.

Meski secara umum perekonomian global akan mengalami perlambatan, negara-negara emerging markets (negara berkembang yang perekonomiannya tumbuh pesat) diyakini masih memiliki daya tahan untuk tidak melambat. Perekonomian Indonesia termasuk yang diyakini mempunyai daya tahan tidak mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi 2008.

Faktor minyak

Teka-teki terbesar tahun 2008 yang paling sulit dijawab adalah, apakah harga minyak dunia akan terus melonjak di atas 100 dollar AS per barrel, atau dapat dikendalikan? Sebagian pihak meyakini, harga minyak tidak mungkin dapat dikendalikan karena pergerakannya sudah menyerupai harga saham, yang bisa naik ke level berapa saja, the sky is the limit.

Namun, banyak pula yang optimistis, harga minyak akan bergerak sebatas mekanisme pasar, yang ditentukan oleh tarik menarik supply dan demand. Dewasa ini, supply dan demand minyak dunia berimbang pada level 84 juta barrel sehari. Kombinasi antara (1) penghematan, (2) upaya lebih agresif untuk mengeksplorasi sumur-sumur minyak baru, dan (3) penggunaan energi alternatif merupakan basis optimisme penganut skenario harga minyak masih bisa dijinakkan.

Tingginya konsumsi minyak ini, selain secara tradisional karena konsumsi AS yang amat besar (20 juta barrel sehari), juga didorong tingginya pertumbuhan ekonomi emerging countries, yang dipimpin China (11,5 persen) dan India (8 persen). Perekonomian Indonesia yang tumbuh 6,3 persen termasuk moderat. Negara-negara yang termasuk kategori ini adalah Malaysia (6,0 persen), Korea Selatan (5,0 persen), dan Vietnam (8,4 persen). Sementara Thailand hanya tumbuh 4,5 persen akibat instabilitas politik.

Proyeksi 2008

Perekonomian Indonesia dapat melalui tahun 2007 dengan cukup baik, tercermin dari indikator pertumbuhan ekonomi (6,3 persen), inflasi (6,59 persen), neraca perdagangan (surplus 40 miliar dollar AS), dan cadangan devisa di BI (rekor 56 miliar dollar AS). Pencapaian ini diakui baik karena perekonomian Indonesia harus struggling terhadap guncangan eksternal.

Dengan bantuan "sedikit keberuntungan" dari harga minyak, akibat kesadaran seluruh dunia untuk berupaya agar harga minyak stabil di level harga yang masuk akal, perekonomian Indonesia berpeluang tumbuh minimal sama dengan pencapaian 2007. Seperti 2007, pertumbuhan ekonomi 2008 akan berasal dari sumber yang sama, yakni meningkatnya investasi dan kuatnya surplus perdagangan internasional.

Kontribusi investasi terhadap pembentukan PDB kini mencapai 24 persen, atau naik secara gradual dari level sebelumnya (20 persen) dalam beberapa tahun terakhir. Ini menggembirakan karena semakin tinggi sumbangan investasi akan berdampak positif terhadap penciptaan lapangan pekerjaan, yang pada giliran meningkatkan daya beli dan mendorong permintaan agregat (aggregate demand).

Dengan segala hambatan yang selalu menjadi bagian dinamika perekonomian Indonesia, termasuk kemungkinan terimbas gejolak eksternal yang ditandai perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi 2008 minimal sama dengan pencapaian 2007, 6,3 persen. Bahkan bukan mustahil bisa lebih tinggi, di level 6,5 persen (target pemerintah 6,8 persen). Untuk inflasi, tampaknya kita masih akan berkutat pada masalah klasik yang belum terpecahkan, yakni kuatnya dorongan inflasi musiman (seasonal inflation), sehingga inflasi tahun 2008 diprediksi 6,5 persen (pemerintah menginginkan 6 persen).

Sedangkan kurs rupiah masih akan bergolak dengan volatilitas agak lebar antara Rp 9.000 hingga Rp 9.400 per dollar AS. Kurs yang lebih kuat dari Rp 9.000 per dollar AS akan menyebabkan rupiah terlalu mahal (overvalued) sehingga eksportir tidak kompetitif. Sedangkan kurs yang lebih lemah dari Rp 9.400 per dollar AS akan menyebabkan hilangnya kredibilitas rupiah dan perekonomian nasional.

Masalah suku bunga juga masih berpeluang turun, meski dengan ruang gerak penurunan yang kian terbatas. Jika inflasi terkendali (maksimal 6,5 persen), rupiah kuat dan stabil (Rp 9.200-Rp 9.300 per dollar AS), dan suku bunga luar negeri rendah (Fed Rate berpeluang turun di bawah 4,0 persen), maka BI Rate masih bisa diturunkan hingga 7,5 persen, meski tidak harus dilakukan segera, dan mungkin baru tercapai pada semester kedua 2008.

Secara keseluruhan, dengan bekerja keras dan "sedikit keberuntungan", perekonomian Indonesia masih bisa memiliki asa lebih baik pada 2008—semacam optimisme yang bersyarat.

Oleh: A Tony Prasetiantono, Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI. Sumber: Kompas, 14 Januari 2008

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox