Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) nomor perkara 108-109/PHPU.B-VIII/2009 yang diajukan oleh pasangan Capres JK-WIN dan Mega-Prabowo, Rabu (12/8) di ruang sidang Pleno MK. Dengan demikian, pemilihan umum presiden/wakil presiden yang menghasilkan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang, sah menurut hukum.
Dalam persidangan, terungkap bahwa data-data yang diajukan oleh para Pemohon banyak yang hanya berupa asumsi semata. “Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil yang hanya berupa angka-angka tanpa diiringi oleh alat bukti yuridis tidak dapat menjadi landasan Mahkamah untuk mengabulkan permohonan para Pemohon,” kata hakim konstitusi Maruarar Siahaan.
Berkaitan dengan eksepsi, Mahkamah berpendapat bahwa keberatan Termohon dan Pihak Terkait tersebut tidak beralasan sehingga harus dikesampingkan. “Eksepsi yang berkaitan dengan error in objecto tidak tepat dikarenakan Mahkamah tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan penghitungan hasil suara Pilpres tetapi juga keadilan substantifnya,” ujar hakim konstitusi Maria Farida.
Eksepsi kedua mengenai kaburnya (obscuur libel) permohohan, Mahkamah berpendapat bahwa terdapat 5 (lima) ukuran untuk menilai sebuah permohonan adalah kabur, yaitu; a). posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang mendasari permohonan; b). objek perselisihan tidak jelas, misalnya tidak memuat identitas pihak-pihak terkait, lokasi dan waktu kejadian; c). posita dan petitum bertentangan; d). petitum tidak terinci secara jelas; e).eksepsi Termohon memasuki pokok permohonan.
Berdasarkan kelima ukuran tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan tidaklah obscuur libel. Eksepsi ketiga yang berkaitan dengan pergantian permohonan oleh Mahkamah dianggap bukanlah alas an untuk menerima eksepsi Termohon. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 7 angka 3 Peraturan MK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang memperbolehkan perbaikan permohonan pada persidangan hari pertama. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Mahkamah memutuskan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak dapat diterima.
TPS dan DPT
Sementara itu, dalil Pemohon mengenai permasalahan penghilangan 69.000 TPS oleh KPU menurut Mahkamah tidak serta merta menguntungkan salah satu pasangan peserta Pilpres. “Sangat tidak rasional jika 69.000 TPS dikalikan dengan 500 orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilihnya diakui sebagai perolehan suara Pemohon I. Adapun terkait istilah “pemilih pemohon” yang didalilkan Pemohon II dianggap sebagai kader partai Pemohon II yang hanya karena memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai atau menjadi anggota tim sukses atau simpatisan partai,” kata Hakim konstitusi Achmad Sodiki.
Sedangkan untuk permasalahan DPT yakni terkait adanya pemilih dengan NIK ganda, nama dan NIK yang ganda, nama, alamat, tanggal lahir dan NIK ganda, serta softcopy yang berbeda, Mahkamah menilai tidak dapat dibuktikan keterkaitannya dengan penggelembungan suara oleh para Pemohon.
“sepanjang menyangkut masalah DPT yakni penggunaan soft copy DPT tidak dapat dijadikan pedoman akhir untuk menentukan jumlah dan rincian DPT yang sebenarnya karena seharusnya DPT dalam bentuk soft copy harus didukung dengan DPT riil yang berbasis masing-masing TPS. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak berdasar hukum dan harus dikesampingkan,” ungkap hakim konstitusi Akil Mochtar.
Menolak Permohonan Seluruhnya
Setelah mempertimbangkan dalil-dalil beserta bukti yang diajukan Pemohon dalam persidangan, Mahkamah menilai bahwa permohonan tidak memiliki nilai yuridis.
“Mengenai adanya penambahan perolehan suara Pihak Terkait dan mengenai adanya pengurangan suara baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak terbukti secara hukum. Jumlah perolehan suara yang didalilkan, baik oleh Pemohon I maupun oleh Pemohon II tidak beralasan hukum,” ujar hakim konstitusi Moh. Mahfud MD.
Terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan pidana Pemilu, Mahkamah berpendapat bahwa perkara tersebut telah ditangani oleh apparatus hukum yang berwenang. “Terhadap perkara-perkara pidana yang lain yang belum dilaksanakan proses hukumnya, dapat dilanjutkan ke Peradilan Umum,” ujar hakim konstitusi Maruarar Siahaan.
Dengan pertimbangan diatas, Mahkamah menolak permohonan Pemohon. “Dalam pokok perkara menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk seluruhnya,” Tegas Moh. Mahfud MD dalam pembacaan amar putusan.
Pemohon dalam persidangan kali ini hanya diwakili oleh para Kuasa Hukumnya. Pasangan Calon Presiden No.1 Jusuf Kalla-Wiranto diwakili oleh Victor Nadapdap, Andi M Asrun, dan Tim Advokasi JK-Win. Sedangkan pasangan Capres-Cawapres No urut 2 diwakili Arteria Dahlan, Mahendradatta, dan Tim Advokasi Mega-Pro lainnya.
Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3325