Showing posts with label demokrasi. Show all posts
Showing posts with label demokrasi. Show all posts

03 September 2009

Tolak Gugatan JK-Mega, MK Kukuhkan Hasil Pilpres

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) nomor perkara 108-109/PHPU.B-VIII/2009 yang diajukan oleh pasangan Capres JK-WIN dan Mega-Prabowo, Rabu (12/8) di ruang sidang Pleno MK. Dengan demikian, pemilihan umum presiden/wakil presiden yang menghasilkan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenang, sah menurut hukum.


Dalam persidangan, terungkap bahwa data-data yang diajukan oleh para Pemohon banyak yang hanya berupa asumsi semata. “Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil yang hanya berupa angka-angka tanpa diiringi oleh alat bukti yuridis tidak dapat menjadi landasan Mahkamah untuk mengabulkan permohonan para Pemohon,” kata hakim konstitusi Maruarar Siahaan.

Berkaitan dengan eksepsi, Mahkamah berpendapat bahwa keberatan Termohon dan Pihak Terkait tersebut tidak beralasan sehingga harus dikesampingkan. “Eksepsi yang berkaitan dengan error in objecto tidak tepat dikarenakan Mahkamah tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan penghitungan hasil suara Pilpres tetapi juga keadilan substantifnya,” ujar hakim konstitusi Maria Farida.

Eksepsi kedua mengenai kaburnya (obscuur libel) permohohan, Mahkamah berpendapat bahwa terdapat 5 (lima) ukuran untuk menilai sebuah permohonan adalah kabur, yaitu; a). posita (fundamentum petendi) tidak menjelaskan dasar hukum dan kejadian yang mendasari permohonan; b). objek perselisihan tidak jelas, misalnya tidak memuat identitas pihak-pihak terkait, lokasi dan waktu kejadian; c). posita dan petitum bertentangan; d). petitum tidak terinci secara jelas; e).eksepsi Termohon memasuki pokok permohonan.

Berdasarkan kelima ukuran tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan tidaklah obscuur libel. Eksepsi ketiga yang berkaitan dengan pergantian permohonan oleh Mahkamah dianggap bukanlah alas an untuk menerima eksepsi Termohon. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 7 angka 3 Peraturan MK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden yang memperbolehkan perbaikan permohonan pada persidangan hari pertama. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Mahkamah memutuskan eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak dapat diterima.

TPS dan DPT
Sementara itu, dalil Pemohon mengenai permasalahan penghilangan 69.000 TPS oleh KPU menurut Mahkamah tidak serta merta menguntungkan salah satu pasangan peserta Pilpres. “Sangat tidak rasional jika 69.000 TPS dikalikan dengan 500 orang jumlah pemilih yang kemudian 70% suara pemilihnya diakui sebagai perolehan suara Pemohon I. Adapun terkait istilah “pemilih pemohon” yang didalilkan Pemohon II dianggap sebagai kader partai Pemohon II yang hanya karena memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) partai atau menjadi anggota tim sukses atau simpatisan partai,” kata Hakim konstitusi Achmad Sodiki.

Sedangkan untuk permasalahan DPT yakni terkait adanya pemilih dengan NIK ganda, nama dan NIK yang ganda, nama, alamat, tanggal lahir dan NIK ganda, serta softcopy yang berbeda, Mahkamah menilai tidak dapat dibuktikan keterkaitannya dengan penggelembungan suara oleh para Pemohon.

“sepanjang menyangkut masalah DPT yakni penggunaan soft copy DPT tidak dapat dijadikan pedoman akhir untuk menentukan jumlah dan rincian DPT yang sebenarnya karena seharusnya DPT dalam bentuk soft copy harus didukung dengan DPT riil yang berbasis masing-masing TPS. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak berdasar hukum dan harus dikesampingkan,” ungkap hakim konstitusi Akil Mochtar.

Menolak Permohonan Seluruhnya
Setelah mempertimbangkan dalil-dalil beserta bukti yang diajukan Pemohon dalam persidangan, Mahkamah menilai bahwa permohonan tidak memiliki nilai yuridis.

“Mengenai adanya penambahan perolehan suara Pihak Terkait dan mengenai adanya pengurangan suara baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak terbukti secara hukum. Jumlah perolehan suara yang didalilkan, baik oleh Pemohon I maupun oleh Pemohon II tidak beralasan hukum,” ujar hakim konstitusi Moh. Mahfud MD.

Terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan pidana Pemilu, Mahkamah berpendapat bahwa perkara tersebut telah ditangani oleh apparatus hukum yang berwenang. “Terhadap perkara-perkara pidana yang lain yang belum dilaksanakan proses hukumnya, dapat dilanjutkan ke Peradilan Umum,” ujar hakim konstitusi Maruarar Siahaan.

Dengan pertimbangan diatas, Mahkamah menolak permohonan Pemohon. “Dalam pokok perkara menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk seluruhnya,” Tegas Moh. Mahfud MD dalam pembacaan amar putusan.

Pemohon dalam persidangan kali ini hanya diwakili oleh para Kuasa Hukumnya. Pasangan Calon Presiden No.1 Jusuf Kalla-Wiranto diwakili oleh Victor Nadapdap, Andi M Asrun, dan Tim Advokasi JK-Win. Sedangkan pasangan Capres-Cawapres No urut 2 diwakili Arteria Dahlan, Mahendradatta, dan Tim Advokasi Mega-Pro lainnya.

Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.BeritaInternalLengkap&id=3325

Selengkapnya.....

27 July 2009

Pilpres Putaran ke-2 (Kedua): Sebuah Keniscayaan?

Oleh Budi H. Wibowo

Pada 25 Juli 2009 (17 hari sejak pemungutan suara 8 Juli 2009) Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilhan umum (pemilu) presiden 2009. KPU menetapkan pasangan capres-cawapres SBY-Boediono sebagai pemenang yang memperoleh suara sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen. Disusul pasangan Mega-Prabowo dengan perolehan 32.548.105 suara (26,79 persen) dan JK-Wiranto yang berhasil mengumpulkan suara sebesar 15.081.814 atau 12,41 persen.


Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilpres sebanyak 176.367.056 pemilih, jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan DPT Pemilu Legislatif yaitu sebesar 171.265.442, atau terdapat selisih sebesar 5.101.614 pemilih (lihat KPU). Dari jumlah itu, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sejumlah 121.504.481 (suara sah hasil pilpres dari ketiga pasangan capres-cawapres). Jika mendasarkan pada jumlah DPT yang ada dengan jumlah hasil suara pasangan capres-cawapres tersebut maka terdapat sebanyak 54.462.575 atau 31,11 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput (golongan putih).

Kisruh DPT dan Potensi Sengketa
Mencermati pengumuman hasil KPU pada 25 Juli lalu terlihat bahwa satu pasangan capres-cawapres yaitu Mega-Prabowo yang tidak hadir dalam acara tersebut. Alih-alih menyebutkan bahwa ketidakhadiran pasangan tersebut ada kaitannya dengan DPT yang dipersoalkan. Mengapa DPT dipersoalkan, mungkin itu pertanyaan yang perlu kita perhatikan. Dan alasan apa yang ada di balik ketidakhadiran pasangan itu? Apakah hasil rekapitulasi KPU terhadap pilpres akan disengketakan oleh mereka?

Beberapa pertanyaan mendasar ini patut kita lihat signifikansinya bagi keberlanjutan pilpres yang mungkin saja bakal digelar untuk tahap yang kedua. Jika benar terdapat pasangan capres-cawapres yang akan mengajukan sengeka hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi, maka pemungutan suara pilpres tahap kedua bisa dilakukan? Tentunya kita harus melihat aturan dan mekanisme yang ada.

Pasal 201 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) menyebutkan bahwa “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Adapun yang menentukan terpilihnya capres-cawapres didasarkan pada Pasal 159 UU a quo, terutama ayat (1) yang menyebutkan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.

Apabila merujuk pada ketentuan di atas maka dimungkinkan pasangan capres-cawapres yang akan mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi bakal menemui kesulitan jika yang dijadikan “alasan” adalah persoalan DPT. Akan berbeda ceritanya bila yang menjadi sengketa adalah persoalan adanya kesalahan rekapitulasi penghitungan mulai tingkat TPS sampai provinsi. Kesalahan yang dimaksud adalah terdapatnya perbedaan rekapitulasi yang didukung dengan bukti-bukti mulai dari formulir C1, C2 plano, dan lain-lain, termasuk jika mungkin disinyalir terjadi pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistemik, dan massif.

Pilpres Putaran ke-2
Melihat kemungkinan perkara yang akan diajukan oleh salah satu atau dua pasangan capres-cawapres ke Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pemilu presiden dan apabila diasumsikan perkara yang diajukan mempermasalahkan kesalahan rekapitulasi maka adalah sebuah keniscayaan untuk menggelar pilpres putaran kedua. Hal ini berdasarkan asumsi jika permohonan perkara yang diajukan memang dapat terbukti dan turut mempengaruhi secara signifikan terhadap perolehan hasil suara pasangan SBY-Boediono terutama terkait dengan 20% suara di setiap provinsi.

Jika hal ini terjadi maka Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres dapat diterapkan. Adapun bunyi dari ayat (2), “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Artinya bahwa jika perkara yang diajukan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan mempengaruhi perolehan suara pasangan SBY-Boediono di 20% provinsi maka meksipun memperoleh lebih dari 50% dari jumlah suara yang ada akan tetapi tidak memenuhi syarat seperti dimaksud pada ayat (2).

Menilik pada hasil rekapitulasi suara KPU, pasangan nomor urut 2 hanya kalah di 4 (empat) provinsi atau 12,12 persen dari 33 provinsi yang ada (lihat KPU). Artinya bahwa untuk capres-cawapres nomor urut 2 sudah lebih dari setengah jumlah provinsi. Dan dari 4 provinsi itu, pasangan SBY-Boediono –meskipun kalah— berhasil meraup suara lebih dari 20% (Bali 43,03%; Sulawesi Tenggara 45,61%; Sulawesi Selatan 31,62%, dan Maluku Utara 38,94%).

Terlepas dari semua itu, mari kita serahkan penyelesaikan sengketa pilpres ini kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang akan diajukan. Semoga Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya demi kemajuan demokrasi di Indonesia. Wallahu’alam.

Selengkapnya.....

09 July 2009

Kupas Kilas Pilpres 2009

Oleh Budi H. Wibowo

8 Juli 2009 adalah momentum sejarah yang akan tercatat dalam lembar sejarah perkembangan demokratisasi di Indonesia. Generasi-generasi berikutnya akan selalu mengingat bahwa tanggal tersebut menjadi tonggak tersendiri bagi kemajuan dan sekaligus pengalaman berharga yang dapat menjadi pelajaran berarti di masa datang. Berbagai kontroversi yang menyeliputi pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) presiden 2009 –mulai dari awal hingga pelaksanaannya— menjadi bahan penting untuk kelanjutan masa depan kehidupan demokrasi.


Pemilu presiden (pilres) 2009 adalah pemilu kedua yang dilaksanakan secara langsung di mana rakyat Indonesia secara langsung memilih calon presiden dan calon wakil presiden pilihan mereka. Rakyat sekali lagi telah diberikan tempat “istimewa” dalam alam demokrasi Indonesia karena selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.

Peran penting rakyat dalam pilpres 2009 sempat “terganggu” dengan adanya kisruh mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, hal ini minimal dapat teratasi dengan adanya Putusan MK perihal memperbolehkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang disertakan Kartu Keluarga (KK) dan Paspor bagi warga yang tidak tercantum dalam DPT. Walhasil, warga negara pada 8 Juli 2009 –yang semula tidak dapat memilih karena tidak ada dalam DPT—dapat memilih dan menggunakan haknya sehingga warga negara/rakyat dapat berpartisipasi.

Laporan Penggunaan Dana Kampanye
Nampak jelas dalam penglihatan dan pendengaran kita, bahwa para capres-cawapres pada pilpres 2009 dengan sungguh-sungguh ingin memikat hati rakyat agar memilih mereka. Berbagai macam jenis iklan yang disungguhkan melalui media televisi, radio, internet, media cetak, dan sebagainya memberikan kesan bahwa kesungguhan tersebut memang patut diapresiasikan meskipun tidak sedikit biaya yang dikeluarkan karena iklan-iklan tersebut.

Berdasarkan data KPU (lihat www.kpu.go.id) sampai tanggal 5 Juli 2009 tercatat dana kampanye ketiga pasangan capres-cawapres masing-masing adalah 1. Mega-Prabowo sebesar Rp. 257.600.050.000,-; 2. SBY-Boediono sebesar Rp. 200.470.446.232,-; dan 3. JK-Wiranto sebesar Rp. 83.327.864.390,-. Dari jumlah dana kampanye tersebut jelas tersirat bahwa betapa besarnya modal bagi seorang capres-cawapres yang berkompetisi memperebutkan kursi kepresidenan.

Modal yang besar itu patut untuk diperiksa sehingga kecurigaan-kecurigaan seperti pada pemilu 2004 tidak terjadi. Misalnya pada pemilu 2004 sempat terdapat kecurigaan penggunaan dana kampanye yang diawali dengan adanya pengakuan Amien Rais yang menerima dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kecurigaan Amien tersebut sempat memicu ketegangan pasca pemilu 2004 (lihat Kompas, 4 Juni 2007).

Terkait dengan itu, maka pengalaman pada pilpres 2004 patut menjadi pelajaran tersendiri bagi publik untuk tidak saja hanyut dalam euforia kemenangan salah satu capres-cawapres tetapi lebih dari itu harus memperhatikan secara jelas laporan penggunaan dana kampanye sebagai wujud amanat undang-undang yang menyebutkan bahwa pasangan capres-cawapres dan tim kampanye melaporkan penggunaan dana kampanye kepada KPU paling lama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa kampanye (lihat Pasal 100 UU No. 42 Tahun 2008).

Antisipasi Perselisihan Hasil Pilpres
Bagi capres-cawapres dan para tim suksesnya yang berdasarkan perhitungan cepat (quick count) merasa telah “menang” tentunya telah bersyukur dan berucap “selamat”. Tetapi hal ini tentunya masih menunggu penetapan hasil pemilu yang diumumkan oleh KPU (30 hari sejak pemungutan suara dilakukan). Suasana gembira dan suka ria capres-cawapres yang oleh sementara perhitungan dianggap menang. Berdasarkan quick count capres-cawapres SBY-Boediono berada pada urutan nomor satu alias “pemenang” karena memperoleh hampir 60 persen lebih suara pemilih dibandingkan dengan kompetitor lainnya.

Sembari menunggu pengumuman resmi KPU mengenai hasil perhitungan suara pada pilpres 2009 maka sudah sepatutnya bagi para kontestan pilpres menyiapkan dan mempersiapkan bahan dan data jika dianggap terjadi perbedaan suara ataupun hal-hal terkait dengan suara yang diperoleh mereka. Mengapa demikian? Karena hal inilah yang mungkin kurang diperhatikan oleh para kontestan dan juga merujuk pada pengalaman pelaksanaan pemilu legislatif beberapa waktu lalu di mana bahan dan data yang dapat dijadikan bukti untuk diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi kurang memadai.

Kesiapan dan persiapan dari masing-masing kontestan baik yang sementara dianggap menang maupun yang sementara dianggap kalah adalah penting dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa berdasarkan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 capres-cawapres yang terpilih menjadi presiden adalah yang memenuhi lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Paling tidak untuk kesiapan dan persiapan mengantisipasi perselisihan hasil pilpres yang mungkin diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi para capres-cawapres perlu mengetahui pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilu presiden dan wapres, terutama yang terkait dengan alat bukti. Alat bukti dimaksud adalah surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, dan petunjuk (lihat Pasal 9 PMK No. 17 Tahun 2009).

Antisipasi perselisihan hasil pilpres ini juga seharusnya dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggaran pilpres karena ketika nantinya hasil pilpres ternyata diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi maka KPU jelas akan menjadi pihak terkait guna menguji bukti-bukti dari para pemohon (capres-cawapres).

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika ternyata putusan MK atas perkara PHPU Pilpres mengubah komposisi hasil piplres 2009? Misalkan pasangan capres-cawapres SBY-Boediono yang telah mendapatkan hasil lebih dari 50 persen suara pemilih dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia berubah karena adanya Putusan MK yang mengabulkan permohonan capres-cawapres Mega-Prabowo sehingga menyebabkan suara SBY-Boediono menjadi tetap lebih dari 50 persen suara dengan 15 persen suara di setiap provinsi. Artinya, meskipun terpenuhi lebih dari 50 persen suara tetapi ternyata akibat Putusan MK suara SBY-Boediono tidak mencapai 20 persen suara di setiap provinsi. Apa yang akan terjadi? Tentunya dapat mengakibatkan pilpres putaran kedua digelar.

Oleh karena itu, bagi para capres-cawapres antisipasi berbagai hal termasuk perselisihan hasil pilpres harus disiapkan sehingga masalah yang mungkin terjadi dapat diatasi dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan agar penetapan presiden dan wapres terpilih tidak berlarut-larut karena agenda implementasi program kerja dari presiden-wapres terpilih sudah ditunggu rakyat.

Selengkapnya.....

29 June 2009

Capres-Cawapres: Pelayanan Publik, Janji yang Terlewatkan

Oleh Budi H. Wibowo

Dari tiga pasangan capres-cawapres yang akan merebutkan tampuk kepemimpinan nasional di negeri ini masih belum ada satupun yang secara tegas “menjanjinkan” perbaikan terhadap pelayanan publik. Apakah hal ini terlupakan oleh ketiga pasangan tersebut ataukah memang sengaja tidak menjadi bahan kampanye mereka mengingat sulitnya mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik di Indonesia? Pertanyaan semacam ini pantas digelontorkan karena ternyata dari program-program yang dijanjikan lewat kampanye ketiga capres-cawapres belum nampak secara spesifik yang menyebutkan perbaikan pelayanan publik.


Meskipun pada 23/6 lalu anggota DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik untuk menjadi undang-undang namun hal ini belum menjadi jaminan terlaksananya kebijakan tersebut. Karena meskipun terdapat aturan yang mengakomodir pelayanan publik namun bila capres-cawapres yang notabene nantinya menjadi pelaksana undang-undang tidak atau belum secara tegas menjadikan program peningkatan pelayanan publik ke dalam programnya maka tidak ada guarantee yang cukup atas keberhasilan pelaksanaan dari aturan tersebut.

Mengenai program capres-cawapres terutama untuk pelayanan publik masih hanya sebatas digulirkan oleh para tim sukses dari masing-masing capres-cawapres saja. Misalkan tim pasangan Mega-Prabowo melalui Maruarar Sirait menjanjikan adanya perubahan dan kemudahan dalam pelayanan publik dengan mencontohkan untuk menyelesaikan persoalan Lapindo karena itu merupakan bagian dari tugas melayani rakyat. Sementara dari tim pasangan SBY-Boediono lewat tim suksesnya Zulkiflimansyah berpandangan bahwa reformasi birokrasi harus dilakukan sebagai upaya meningkatkan pelayanan publik. Sedangkan dari tim pasangan JK-Wiranto melalui juru bicaranya Indra J. Pilliang menjanjikan pelayanan publik yang permanen dan efisien.

Dari ketiga tim sukses masing-masing pasangan capres-cawapres tersebut dapat kita lihat bahwa belum ada blue print yang jelas dan tegas mengenai perbaikan pelayanan publik. Semua yang diutarakan dari ketiga tim sukses di atas masih merupakan bumbu dari menu kampanye para capres-cawapres. Kenapa tidak bila memang beritikad baik maka seharusnya tim sukses tersebut menyiapkan secara matang grand design pelayanan publik Indonesia 2009-2014, jangan hanya program-program yang parsial dan nyata-nyata hanya sebagai “jualan obot” belaka dalam masa kebutuhan suara seperti sekarang ini. Jika nanti benar-benar terpilih tidak menjamin pelaksanaan perbaikan pelayanan publik tersebut.

Agar grand design ataupun blue print pelayanan publik masing-masing capres-cawapres benar-benar serius maka perlu dan penting kiranya dilakukan semacam “kontrak politik” tersendiri terutama mengenai pelayanan publik beserta breakdown dari program pelayanan publik tersebut sehingga ini dapat menjadi “jaminan” bila nanti terpilih mereka akan dapat “dituntut” oleh rakyat yang notabene menjadi pemilihnya.

Bagi-bagi Kue Kekuasaan
Lagi-lagi dan sudah menjadi rahasia umum jika masa-masa kampanye seperti ini semua orang yang menjadi capres-cawapres dan sekitarnya selalu menggaungkan janji-janji kepada masyarakat untuk mendapat simpati dan kepercayaan. Namun, sudah seharusnya disadari oleh para capres-cawapres bahwa janji tidaklah sekedar menjadi janji belaka tetapi harus dilaksanakan. Begitu juga dengan pelayanan publik di Indonesia. Sudah semestinya konsentrasi mereka difokuskan pada perbaikan pelayanan publik yang memang terkenal sudah payah.

Apabila hal ini tidak secara serius menjadi wilayah garapan para pasangan capres-cawapres maka sudah dapat dipastikan bahwa yang bakal terjadi nantinya ketika kekuasaan sudah diperoleh adalah bagi-bagi kue kekuasaan. Dan untuk program-program yang pernah mereka umbar dalam masa-masa kampanye sirna begitu saja. Mengapa hal ini penting? Sederhana saja kita coba mengasumsikan dengan kondisi jika salah satu pasangan capres-cawapres tersebut terpilih nantinya maka mereka pastilah pada 100 hari pertama memerintah akan sangat disibukkan dengan pembentukan dan formasi kabinet, selanjutnya mereka akan disibukkan juga dengan menyusun agenda kerja pemerintahan ke depan plus pergeseran di seluruh lini departemen untuk diisi oleh “orang-orang kepercayaan dan yang berjasa kepada mereka”, belum lagi agenda kunjungan mereka ke luar negeri untuk menyapa para tetangga sekaligus untuk “stor” muka dan masih banyak lagi kesibukan lainnya.

Jika sudah seperti itu maka kapan waktu mereka untuk menunaikan janji-janji yang pernah mereka dengungkan kepada masyarakat. Bisa jadi tidak ada waktu sama sekali karena alasan kesibukan yang luar biasa tersebut. Oleh karena itu, penting meskipun minimal dengan adanya kontrak politik yang ditandatangani oleh para capres-cawapres di saat masa kampanye dilakukan untuk menjadikan jaminan.

Selengkapnya.....

09 June 2009

Fenomena Pemungutan Suara Ulang

Oleh: Budi H. Wibowo

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 9 Juni 2009 telah membacakan putusan selanya terkait dengan perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan oleh enam pemohon dari enam partai politik peserta pemilu. Putusan MK yang dibacakan oleh Ketua MK Mahfud MD memutuskan memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Nias Selatan. Putusan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap prosedur pemungutan dan penghitungan suara hasil pemilu di Kabupaten Nias Selatan. Salah satu yang dipermasalahkan oleh pemohon adalah telah terjadi pelanggaran ketika rekapitulasi penghitungan suara di beberapa daerah pemilihan di Kabupaten Nias Selatan.


Dalam putusan yang dibacakan tersebut, KPU diberikan waktu 90 hari kerja untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang di Kabupaten Nias Selatan. Berdasarkan putusan MK tersebut kita diingatkan kembali atas putusan MK terhadap pemilukada Jawa Timur lalu. Di mana MK juga memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang dan rekapitulasi ulang hasil pemilukada di beberapa kabupaten di Jawa Timur (lihat tulisan Supriyani). Akan tetapi, Putusan MK kali ini agak berbeda dibandingkan dengan putusan pemilukada Jawa Timur. Perbedaan terletak pada pemohon yang mengajukan perkaranya.

Jika kita mencermati putusan MK tersebut maka dapat diketahui bahwa ternyata masih banyak pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu yang terjadi di Indonesia. Sehingga patut menjadi catatan tersendiri bahwa pelaksanaan pemilu yang lebih baik masih jauh dari harapan kita. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan ini semestinya dapat dijawab oleh penyelenggara pemilu maupun oleh pemerintah. Dalam melihat persoalan karut marutnya pelaksanaan pemilu ini dapat kita lihat dari beberapa hal, yaitu pertama, dalam konteks peraturan perundang-undangan; bahwa dari beberapa kali pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan ternyata didasarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berbeda. Pada pemilu 1999 didasarkan dengan UU No. 3 Tahun 1999 sementara Pemilu 2004 merujuk pada UU No. 4 Tahun 2000 dan Pemilu 2009 berdasarkan pada UU No. 10 Tahun 2008. Dengan seringnya berubah tersebut menyebabkan pengaturan/mekanisme pelaksanaan pemilu tentu saja berubah sehingga dari ketiga pemilu itu masalah pelanggaran masih dapat dijumpai.

Kedua, imbas dari adanya perubahan atas peraturan yang mendasari pelaksanaan pemilu ternyata tidak cukup diantisipasi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan kurangnya upaya sosialisasi mengenai prosedur dan mekanisme yang telah berubah. Lambatnya respon tersebut memang cukup beralasan karena dari pemilu satu ke pemilu lainnya selalu mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam hal prosedur dan mekanisme akibat perubahan peraturannya. Sehingga hal ini mestinya juga perlu disiapkan cara-cara yang tepat misalnya saja kenapa tidak bahwa sosialisasi prosedur dan mekanisme pemilu juga ditujukan kepada para calon anggota legislatif yang notabene umumnya mereka (red. caleg) adalah wajah-wajah baru. Pentingnya sosialisasi kepada caleg sudah seharusnya menjadi hal yang utama mengingat bahwa ternyata tidak sedikit caleg yang belum mengetahui bagaimana misalnya berperkara dalam hal perselisihan hasil pemilu ( terdapat +/- 700 kasus yang didaftarkan ke MK baik itu dari parpol maupun dari calon anggota DPD).

Ketiga, kurangnya koordinasi antara stakeholders penyelenggara pemilu sehingga menyebabkan seringkali terjadi salah paham dalam menafsirkan prosedur maupun mekanisme penyelenggaraan pemilu. Memang disadari bahwa KPU secara hirarkis memiliki wakil di daerah yaitu KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, KPPS. Sebetulnya dengan model rantai komando seperti itu, KPU dimudahkan dalam melakukan koordinasi. Akan tetapi, pada kenyataannya KPU tidak cukup memiliki “taring” dalam mengatur ritme KPU di daerah-daerah.

Tiga hal tersebut merupakan penilaian paling sederhana dalam melihat pelaksanaan pemilu saat ini. Banyak pelanggaran yang terjadi dan mungkin tidak terlaporkan menjadi pintu masuk bagi perbaikan pelaksanaan pemilu berikut. Jika hal tersebut tidak cukup diupayakan untuk diubah maka walhasil fenomena pemungutan suara ulang seperti halnya putusan MK dapat terus terjadi di pemilu-pemilu berikutnya. Padahal kita tahu bahwa menyelenggarakan pemilu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara masih banyak orang miskin, kelaparan, kedinginan, kebanjiran, kebakaran yang butuh bantuan dana. Mudah-mudahan kita dapat belajar dari pengalaman pemilu legislatif 2009 yang lalu sehingga pada pemilu presiden pada Juli 2009 mendatang menjadi jauh lebih baik. Wallahu’alam.

Selengkapnya.....

Prasyarat Karakter Kepresidenan

Oleh Yudi Latif

Pada episentrum krisis kepemimpinan yang menimbulkan gempa krisis nasional bersemayam krisis karakter. Usaha kita keluar dari krisis tak bisa mengandalkan sekadar politics as usual, melainkan perlu menempatkan persoalan karakter sebagai pusat ukuran kepemimpinan.

Karakter mencerminkan kepribadian seseorang atau sekelompok orang yang terkait dengan basis moralitas, kekhasan kualitas, serta ketegaran dalam krisis. Ia merupakan jangkar jati diri karena merupakan aspek evaluatif yang menentukan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya.


Meminjam ungkapan Franklin D Roosevelt, The presidency is preeminently a place of moral leadership. Keberhasilan seorang presiden ditentukan oleh modal moral serta kemampuannya berfungsi efektif dalam suatu budaya yang mencerminkan keragaman dan ketidakpastian moralitas.

Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan sekadar potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, tetapi juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa memengaruhi perilaku rakyat.

Ketiga pasang calon presiden-calon wakil presiden Indonesia saat ini memperlihatkan basis moralitas yang berbeda. Pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto menonjol pada moralitas ”keadilan”, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada moralitas ”kebersihan”, dan pasangan Mohammad Jusuf Kalla-Wiranto pada moralitas ”pelayanan”.

Tindakan politik

Masalahnya, karena pemimpin politik dituntut menjadikan karakter moralitas perseorangan itu menjadi karakter moralitas rakyatnya, maka basis moralitas itu perlu diterjemahkan ke dalam ”tindakan politik”.

Hal ini menyangkut kinerja pemimpin dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.

Karena ukuran-ukuran perilaku itu juga masih abstrak, moralitas juga memerlukan ”keteladanan”; menyangkut contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik.

Kemampuan menularkan keteladanan ini pada akhirnya ditentukan oleh kemampuan ”komunikasi politik” untuk menyosialisasikan gagasan dan nilai moralitasnya dalam bahasa persuasif efektif yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas rakyatnya.

Sungguh pun ketiga pasang, lewat berbagai iklan politik, mulai bisa diidentifikasi basis moralitasnya, publik politik masih meragukan kemampuan mereka menerjemahkannya ke dalam tindakan politik, keteladanan, dan komunikasi politik yang efektif.

Padahal, pada titik konsistensi inilah kesejatian seorang pemimpin diuji, yakni dalam kesatuan antara janji dan perbuatan.

Selain basis moralitas, karakter pemimpin juga ditentukan oleh kualitas khasnya yang membedakan dirinya dari orang lain. Kekhasan ini menjadi titik keunggulan atau membuat kelemahan menjadi kekuatan, yang pada gilirannya harus diterjemahkan ke dalam perbedaan dalam menentukan prioritas nasional.

Ahli kepresidenan, Stephen Hess, menjelaskan, ”Ketimbang sebagai chief manager, presiden adalah chief political officer dari sebuah republik.” Sebagai pejabat politik, tanggung jawab utama seorang presiden adalah membuat sejumlah kecil keputusan politik yang amat signifikan, seperti menentukan prioritas nasional, yang diterjemahkan ke dalam anggaran dan proposal legislasi.

Presiden juga dituntut bertindak sistematis untuk mendefinisikan mandat dan watak kepemimpinannya, selain harus menempatkan orang-orang yang loyal terhadap agendanya dalam posisi-posisi kunci.

Ideologi kerja

Dalam mendefinisikan mandat kepemimpinannya, pertama-tama seorang presiden harus memiliki landasan ideologi kerja berupa seperangkat prinsip dasar sebagai haluan kebijakan. Ideologi kerja ini sudah harus dinyatakan dalam kampanye yang bisa memberikan semacam jangkar nilai dan suar arah kepada publik pemilih. Dalam hal ini, ideologi presiden terkait dengan ideologi partai politik yang mendukungnya. Situasi Indonesia hari ini justru tak menunjukkan kejelasan dalam basis ideologi partai dan pembentukan koalisi. Ketidakjelasan basis nilai koalisi bisa membuat presiden terpilih pun tak punya prinsip dasar dan watak yang jelas pula.

Jika ada kejelasan ideologis, sebuah platform bisa diturunkan dengan prioritas yang jelas. Karena presiden tidak bisa mengurus dan menyelesaikan semua urusan pemerintahan, agenda pemerintahannya harus jelas dan terbatas dengan arahan jelas. Presiden harus menunjukkan fokus dalam mendefinisikan, dan keefektifan dalam mengejar, agenda substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan sense of direction bagi aparat pemerintahan, publik, dan media. Ambisi menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.

Keberanian menentukan fokus terkait dengan karakter ketiga yang diperlukan seorang pemimpin, yakni ketegaran; kemampuan menghadapi kesulitan, ketidakenakan, dan kegawatan. Seorang pemimpin harus menjadi jangkar keyakinan dalam samudra ketidakpastian dan ketidakpercayaan.

Pemimpin pada masa krisis memerlukan kecepatan dan ketepatan untuk membidik jantung krisis. Untuk itu, perlu keberanian menentukan pilihan dan menghadapi pihak-pihak antiperubahan. Namun, ada risiko besar bagi presiden yang terlalu berhati-hati mencari jalan aman: peluang lewat, momentum lenyap, sinisme menguat.

Dengan prasyarat karakter yang diperlukan, publik bisa menilai pasangan mana yang mendekati tipe ideal yang diidamkan. Selanjutnya terserah Anda!

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/09/02531897/prasyarat.karakter.kepresidenan

Selengkapnya.....

04 February 2009

Reforming the Parliament a Losing Momentum

By Cecep Effendi

Members of the House of Representatives are currently debating whether to continue discussions on the revision of the Parliament Law (RUU SUSDUK DPR, DPD and DPRD) or delay it until after the establishment of the new House in September 2009.

The debate is a reflection of the problems that House members have to deal with: The need to reform their very own institution, on the one hand, and the difficulty of assembling House members to attend the debate session, on the other.


A commission chairman at the House complained recently about the difficulty of organizing a debate session due to the lack of participation from House members. A change in electoral legislation has forced House members to spend more time in their districts in the hopes of being elected again.

The low level of attendance has further exacerbated an image problem that the House as an institution has long suffered. Reportedly, out of 550 members, 119 did not attend the session in December last year.

The number of members who fail to show up to plenary session seems to increase as the date for the legislative elections draws closer. The lack of productivity in finishing the target of legislative products is another bad image of the House.

In 2005, out of 55 bills targeted, the House could only complete 14. In 2006, out of 43 bills targeted, only 39 were completed. Only in 2007 and 2008 could the House achieve its target of producing 40 and 64 legislative bills respectively. But the majority of bill approved by the House in 2007 and 2008 was mainly connected with regional division.

The current debate about the revision of the Parliament Law is regarded by many as the only opportunity for 2004-2009 House members to reform their institution. Members of a House working group assigned to produce a draft of reforming parliamentary institution have already completed their task. What should be the best way to reform and in what direction House reform should lead to is now available.

Majority members of Commission II and III have shown their eagerness to reform the House for the better. Discussions with the Home Ministry, which is responsible for drafting the revision of the Parliament Law, have started and show positive developments.

Everything seemed to be on the right track until the Constitutional Court issued an edict defining a new parameter in deciding winners in the general elections. Legislators regarded the edict as a severe blow that narrowed their window of opportunity to regain their seats in their electoral districts.

With no other alternative but to spend more time in electoral districts to convince their constituents amidst competition not only with candidates from other political parties, but also from colleagues of the same party in the same electoral district, legislators lost their eagerness to discuss parliamentary reform. They understand well that their political careers are at stake with the new system.

On the government’s side, the replacement of Sudarsono as director general of politics and national unity at the Home Ministry further complicates the debate about the future of reform. Though he is often regarded as ambitious and somewhat over-confident, his commitment to the importance of reforming the House is without doubt. His skill in legal drafting is unrivalled among many senior officials in the ministry. His departure has left a void in the ministry.

The uncertainty over whether the debate about the revision of the Parliament Law should be continued or delayed and the question about who is in charge on behalf of the government in discussing the law, have left many reform agendas unfinished. It is not clear whether the authority of the Regional Representatives Assembly (DPD) should be strengthened to allow regional aspirations to influence policy-making processes at the House. What about the Regional Legislatives Councils (DPRD), should they be regarded as autonomous parliaments or simply an extension of local government under the control of the Home Ministry? What about deepening the relationship between legislators and their electoral districts to strengthen the legitimacy of House members as genuine representatives of the people? All these problematic issues need to be answered in the upcoming revision of the Parliament Law.

The expectation that House members will commit to reforming their own institution is gradually diminishing as the date for the general elections gets closer. It is more likely that parliamentary reform will have to wait until the installment of new House members for the 2009-2014 period. Current House members seem to be losing their momentum.

The writer is a senior national adviser to the German Technical Cooperation Advisory Service Support for Decentralization (GTZ-ASSD) at the Home Ministry.

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/04/reforming-parliament-a-losing-momentum.html

Selengkapnya.....

02 February 2009

Forestalling Asymmetrical Logic in Democracy

By Ignas Kleden

It is no more than a political commonplace if a ruling party claims the achievements of the government as their own. However, a political dispute occurred in Jakarta recently, when the Democratic Party, to which President Yudhoyono belongs, claimed that the achievements of President Yudhoyono’s administration were equal to the success of the Democratic Party.


The decision of the government to reduce the fuel price for the third time within a relatively short space of time was believed by the Democratic Party to be the most spectacular action in the history of economic policy in Indonesia.
This claim has given rise to strong disagreements from other political parties. We all know that Yudhoyono’s Cabinet is a called the Indonesia United Cabinet, in which many important positions are assumed by politicians from other parties such as the PAN, the PPP or the PKS. Vice President Jusuf Kalla comes from the Golkar Party and is still the chairman of that party.

It is therefore an obviously inappropriate action – so the counter-argument goes – to gloss over the significant contributions of other parties to the achievements of the present government and to contend that all the success is owing to the genius of one single party, whose member happens to be the president of the country.

One might be tempted to ask: if the Democratic Party politicians dare to claim the government’s achievements as their own, will they be prepared and willing to take the failures of the present government as the fiasco of their own party?

Or will they say that the failures have resulted from the weaknesses of the whole government or even from the sloppy attitudes of the Indonesian people?

The habit of attributing success to one’s own strength while explaining away failures as the result of everybody else’s weakness reflects an obvious asymmetrical logic.

The sinking of the passenger ship Teratai Permai on Jan. 11, 2009, is a good example of this. From the 250 passengers there were only 35 who survived and 14 persons who were identified as dead.
As of today, the rest are still lost. Ironically the first information about the accident only reached the local port authority 12 hours later thanks to one of the survivors who was rescued by a fishermen boat and was brought to the local authority.

Transportation Minister Jusman Syafii Djamal, blamed the ship’s captain for being too reckless and leaving despite the bad weather. However, there have been too many boat accidents for it to be taken as merely the result of an individual error.

A press report says 80 percent of all the ships that are still operating in Indonesia are older than 30 years (Tempo magazine, Jan. 19-26, 2009). Of course this is not the mistake of the present government alone, but it reveals the hard fact that there are more complex factors troubling the maritime transportation industry.

On top of all this, had all the ships been operating well with no accidents, would the minister have acknowledged that everything was running well thanks to the individual ingenuity or personal discipline of the ship’s captain? Why is it that a success is treated as the result of a good system and an accident is attributed to individual error? Again we are faced with the bad habit of asymmetrical logic.

One has to be very careful in observing the economic behavior of retail traders. It is fairly easy to contend that the reduction of fuel prices does not necessarily lower the price of industrial goods or agricultural products.
Trade Minister Mari Elka Pangestu says this is the case because gasoline is only one of the components of the production costs in industry and agriculture, and makes up no more than 7 to 11 percent of the total cost. If the price of gasoline is reduced by 15 percent it will lower the production cost by only 0.7 to 1 percent. The explanation is quite reasonable.

On the other hand, however, we should give special attention to whether or not the increase of fuel price leads to the price increase of industrial goods and agricultural products, some of which might not use gasoline as a component in the processing.

People are wondering: Why is it that each increase in fuel price brings about a price increase of many industrial goods and agricultural products, whereas the reduction of fuel price has very little effect on the price reduction of industrial goods and agricultural products?

When the fuel price increased, the price of food and drink remained the same but the size of their packaging became smaller. Is asymmetrical logic also working in this case?

Asymmetrical logic is a mental strategy to escape responsibility when there are problems, while claiming credit (or profit) when there is success. It reflects a sort of psychological reluctance to bear the consequences of what one has done or has not done.

A good test for responsibility is to see the extent to which one is prepared to stand for and to account for bad consequences of one’s action or inaction. Otherwise one is mired in asymmetrical logic, which is another term for moral retardation or political opportunism.


The writer, a sociologist, is the chairman of the Indonesian Community for Democracy (KID)
Source: http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/02/forestalling-asymmetrical-logic-democracy.html

Selengkapnya.....

06 June 2008

Environmental Crisis, Democracy and Morality

By Yansen

The world will celebrate World Environmental Day on June 5. This day highlights the importance of conserving our environment for the future of this planet. The increased awareness of global environmental challenges is a positive signal toward better action to prevent environmental damage.

Do we really care about the environment? And are we responding adequately to environmental problems including climate change and natural disasters?

Climate change has undeniably become a major environmental issue today. After the 1992 Earth Summit in Rio de Janeiro, it took people more than a decade to wake up to the certainty of climate change. Global campaigns on climate change and its possible impacts have increased people's awareness of the issue. Today, more people believe that severe droughts in many parts of the world are the direct impact of the climate changes.

Alterations to climate patterns has led to many natural catastrophes. Australia, for example, is aware of the need to react adequately to climate change given the future of the country's water supply is threatened.

"Climate change is the most severe problem we face today, more serious than the threat of terrorism", said David King, a leading UK scientist.

About 2,300 scientists, in the first section of the Intergovernmental Panel on Climate Change report, which was released in February 2007, agreed that there had been severe changes to the environment compared to the report in 2001 and that the world must respond immediately. However, this is not the only problem. A lack of disaster management in many countries, including Indonesia, has made us unable to prevent huge devastation caused by natural disasters. The condition is worsened still by politics.

Why politics? Recently, the Myanmar military junta failed to anticipate Cyclone Nargis' impact. It is believed that the Myanmar authority was in a state of denial and, therefore, did not take any preemptive actions before the cyclone hit. The junta then rejected international hands offering help. The death toll increased because the post-disaster response was inadequate. It shows that dictatorships fail to save its citizens from tragedies.

Authoritarian governments also have suffered environmental abuses. The Chernobyl disaster is a leading example of environmental abuse by the ambitious agenda of an authoritarian government, the Soviet Union. Indonesia's repressive New Order regime also had a bad record of environmental management, some of which are still problems now.

David Shearman and Joseph Wayne Smith, however, in Climate Challenges and the Failure of Democracy (2007), insist that liberal democracy has also failed to conserve and nurture better future environments. Liberal democracy even triggers worse environmental conditions than caused by dictatorships. Is this true?

Democracy has two fundamental values: Individual freedom and liberalism. Each person is free to choose to do whatever they want. These values are then reflected by the market and capitalism. The development of the market and capitalism has caused the world to grow rapidly.

The market has turned into market fundamentalism, says Johan Galtung. With capitalism, the market is only for capitalists. The market is only aimed to feed most people in democratic welfare societies. Hence, there is no global justice. A lack of access to the market has caused millions of people to live in poverty and around 100,000 people to die every day due to famine.

Democracy offers freedom, but what is missing is collective responsibility, argues Shearman and Smith. This freedom has to be defended. Threats to the individual freedoms and welfare enjoyed by democratic states, even though they are sometimes ambiguous, should be dismissed. Things that are good for the rest of the world, but not good enough for developed democratic countries must be refused.

This is the reason why the United States declines to ratify the Kyoto Protocol. Democracy is also manipulated as mechanism for powerful nations to control the world. Building a democratic Iraq was used as an excuse to invade that country, which has caused huge devastation including environmental damage. We then see liberal democracy metamorphoses, slowly but surely, to authoritarianism, which potentially abuses power and the environment.

It is true that poverty has led to environmental destruction. This is the story of the third world. Poor people, for example, cut down the forest and cause forest degradation. The wealthy, nevertheless, causes more problems to the environment. More resources are needed to supply the demand of wealthy people.

The ecological footprints of people in welfare democratic societies need more resources than they have. These ecological deficits are filled from outside their countries, that is, from developing countries. More reserves are exploited in the third world just to meet this demand.

If poverty causes localized environmental destruction, wealth has global impacts. Consequently, poor countries are in a dilemmatic position. They face environmental destruction due to poverty on the one hand and they suffer from the indirect impacts of supplying the developed countries' demand on the other hand.

This condition is not getting better as consumption becomes higher. People consume more than they need.

In short, this global imbalance is not only causing global poverty, but also environmental degradation. Therefore, we need a new morality toward the environment.

We have to build collective responsibility to save our earth. We have to nurture global consciousness and encourage global justice. We have to reassert control over the market and capitalism. Politics should not be viewed as who gets what share of the pie, but about how and what the power is to be used. Politics and power have to be used to foster global justice.

Finally, we have to ask ourselves: are we really ready to think more about our future? This must begin with the individual. Without collective consciousness and responsibility, our hope for a better future for the earth will remain a dream. Are you ready?

The writer is a lecturer at the School of Forestry, University of Bengkulu, and a doctoral candidate at James Cook University, Australia. He can be reached at yansen.yansen@jcu.edu.au. Source: The Jakartapost, June 6, 2008.

Selengkapnya.....

15 April 2008

Guarding the Freedom of Information Act

By Warief Djajanto Basorie

Indonesia will have the law on access to public information several weeks after the House of Representatives (DPR) passed the bill on April 3.

The new law requires all public bodies to disclose public information at least every six months. They must also announce immediately information concerning threats to public safety. This may relate to natural or man-made calamities.

They must also provide timely information relating to the work plan of projects, including outlay estimates. Within 10 days of receiving a request for information, the public body is required to give a written response saying whether the requested information is in its custody. If it is not, the public body must state what public body possesses the information. State-owned enterprises, businesses owned by local governments and other businesses owned by the state are obligated to provide public information.

Information exempted from disclosure includes information on strategy, intelligence, operations, tactics and techniques relating to defense and state security, military installations and encoding/decoding systems.

Any public body that intentionally withholds public information that should be disclosed is liable to a maximum one-year prison sentence and/or a fine of Rp 5 million (US$550). Further, any person who deliberately destroys a public information document or causes its disappearance can receive a maximum two-year jail sentence and/or a Rp 10 million fine.

Any person who uses public information illegally is liable to a maximum one-year jail sentence and Rp 5 million fine. The point on illegal use of public information has to be clarified, perhaps in an implementing regulation.

Public information is defined as information produced, stored, managed, sent and received by a public body that relates to public officials and the conduct of state affairs. It is also any other information that relates to the public interest.

A public body is defined as any executive, legislative or judicial institution or any other body whose main function relates to the conduct of state affairs operating partially or wholly from the central or local government budget. Public bodies also cover nongovernment organizations that receive funding from the state budget, public donations and foreign sources.

This apparently pro-public law may face resistance from the bureaucracy, the keepers of the public information. Changing mindsets may be an initial task in the two-year transition period when the government will draw up a slew of implementing regulations and guidelines.

Agus Sudibyo, coordinator of the Freedom of Information Coalition, said the new bill should be welcomed with a critical attitude and caution. From the standpoint of a right-to-know advocate, he cited two lapses in the act.

One is Article 51 that makes it a crime for people who use public information illegally. The act should only regulate access and not the use of public information, he argues.

A second issue is the forming of an information commission to resolve disputes on public information access. Article 30 assigns the government to recruit the commissioners. This article rules out the commission of ever becoming independent and indicates the government's reluctance to have an information commission at all.

Information freedom advocates are also concerned with the pending state secrets bill that may stifle the Access to Public Information Act. Our legislators will have to work hard to keep the provisions in the act intact. They should demand the state secrets bill should in no way deform and debilitate the Access to Public Information Act.

The act benefits researchers and reporters. Public officials will realize the new law will also be to their advantage. Prosecuting agencies, for instance, have had difficulties in procuring documents from public bodies that the authorities are investigating. So have tax officials in assessing the taxable assets of public officials and institutions.

Other public officials can gain from the act. Finance officials frequently face difficulty in gathering information from line ministries to audit their budget and nonbudget funds. The state planning agency, Bappenas, often is unable to secure information for the accounting of the use of foreign grants and loans in government offices.

The public office that stands to benefit the most may well be the Corruption Eradication Commission (KPK). It already has the power to prosecute. The new act lends the independent agency added legal clout to bust graft.

If the purpose of the new law is to promote public openness, a first step is for the DPR and the ministry of communication and information technology to post the full text of the act on their websites. As of this writing, website visitors have not found it yet.

The writer is a freelance writer in Jakarta. He can be reached at wariefdj@yahoo.com. source: the jakarta post, April 15, 2008

Selengkapnya.....

13 April 2008

Judgment on Democracy

By Ignas Kleden

Democracy, as a political system, is faced with many objections, be they economic, political or cultural. This article will deal with one such cultural objection that is usually reiterated time and again in non-western countries.

It contends that democracy basically originates from western cultural values, and that treating such values as universal and trying to implement them in countries outside of the western hemisphere that already have their own cultures and traditions is the same as endorsing new cultural imperialism or western hegemony.

The Singaporean cultural offensive, armed with a proclamation of Asian values, launched by Lee Kuan Yew in early 1990s, has something to do with this objection.

There is no denying democracy has western origins, but what is wrong with that?

In politics, no one argues anymore about the republic form of the Indonesian state, the implementation of Trias Politica in the sense of Montesquieu, the functioning of the presidency as the embodiment of national leadership, the role of the ministerial cabinet as a governing body, the implementation of civil law and criminal law, or the use of mass-media as the fourth estate -- all things that are obviously the products of western ideology.

In technology, almost everything that we use today is of Western origin: from transportation to medical care, from war technology to communication, from production to processing techniques. If one looks at lifestyles, one can hardly miss the conspicuous embrace of western products: From fashion to dressing patterns, from table manners to house interiors, or from cinematographic preference to the use of leisure time.

This short description does not aim to defend or advocate Western cultures. Instead, it aims to show the embracement of foreign cultural patterns is something natural in everyday life.

It is rare to meet somebody who rejects wearing shoes or neckties simply in disapproval of their western roots.

In fact, when discussing cultural development, origin is only of secondary importance. The main question is whether or not certain spreading cultural values are relevant and acceptable to the societies embracing them.

Relevance and suitability have nothing to do with cultural origins, but rather relate to the cultural needs of the recipients.

To put it more formally: the genealogy and origin of cultural values can never become the basis on which to judge their acceptability or desirability.

A set of values is not good because it originates in the East or bad because it is pregnant of western culture. Both in the East and the West there are values worth maintaining and cherishing and those that should be better left out.

One can only say that democracy pertains good and bad values, not that it matters where those values come from, just as one can enjoy or not enjoy a piece of pizza, regardless of whether it was made in Italy.

Judgment on democracy must be made in relation to a nation's needs and to the problems it faces.

On the other hand, one is not obliged to defend democratic values assumed to be indigenous. One has to be critical enough to examine which values are worth sustaining and defending and which ones should be abandoned.

In the case of Indonesia, corruption, which increases at an astronomical rate, should be eliminated once and for all, regardless of whether it is indigenous to the nation's culture.

One need not be a post-modernist to understand the dialectical relationship between a particular culture and its cultural bearers. A man or a woman will become Javanese because the Javanese culture has made him or her Javanese.

However, it is equally true that Javanese culture is made by the Javanese, who are in the position to change and renew their culture. Culture is never final or ontological. Instead, it is constructed and reconstructed.

Everybody is in the position to make his or her culture and society more democratic in the firm belief that the universal values of democracy can help protect and foster human dignity in any country, regardless of where one lives or to which social class one belongs.

The writer, a sociologist, is chairman of the Indonesian Community for Democracy (KID), Jakarta. Source: The Jakarta Post, April, 10 2008.

Selengkapnya.....

22 January 2008

Parpol, Oligarki, dan Plutokrasi

Oligarki (kekuasaan di tangan segelintir orang) dan plutokrasi (pemerintahan oleh sekelompok orang kaya) adalah penumpang gelap berbahaya sistem demokrasi yang sering luput dari perhatian. Tanpa disadari, oligarki dan plutokrasi melekat pada sistem demokrasi, baik secara manifes maupun laten.

Orang sering tidak hirau terhadap pertumbuhan oligarki dan plutokrasi intraorganisasi atau malah dalam sistem negara yang berskala luas karena mekanisme pengisian pengurus atau pemimpin telah melalui proses pemilihan secara demokratis. Oligarki dan plutokrasi sering dimaknai sebagai ”jebakan demokrasi”.

Sindroma

Hingga kini tidak satu partai politik (parpol) pun di Indonesia—yang sudah mapan dan baru berdiri—terbebas dari sindroma oligarki dan plutokrasi. Disadari atau tidak, persekongkolan, kroniisme, dan nepotisme kini melanda hampir seluruh parpol. Orang-orang berduit juga berperan penting karena tidak satu parpol pun di Indonesia yang memiliki kemampuan keuangan mandiri dan hidup dari iuran anggota. Juga sudah menjadi rahasia umum bila parpol—utamanya yang ikut dalam pemerintahan—berupaya menempatkan orang-orangnya pada posisi ”basah” di lembaga pemerintahan dan BUMN guna menghimpun dana politik

Rapor merah parpol telah dimanfaatkan oleh mereka yang antipartai untuk mendesak pembolehan calon perseorangan dalam pemilu. Keberhasilan kelompok antipartai mengegolkan calon perseorangan sebagai peserta pemilu kepala daerah (pilkada) jika dicermati tidak memberi sumbangan bagi pengembangan sistem demokrasi, tetapi disadari atau tidak malah ikut mendorong tumbuhnya plutokrasi.

Dasar pembolehan perseorangan sebagai peserta pilkada ada pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Munculnya tuduhan terhadap parpol yang loba kekuasaan seiring usulan yang membolehkan calon asal partai politik menjadi calon anggota DPD dalam pembahasan RUU Pemilu di DPR bisa dimaknai sebagai pandangan kurang tepat. Anggota parpol selaku warga negara juga memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih dalam sistem demokrasi.

Tanpa bermaksud membela parpol yang belum berkinerja baik bahwa labelisasi calon perseorangan pasti lebih baik mengandung sesat pikir. Pendapat itu perlu diluruskan karena tidak semua orang parpol memiliki kualitas dan kapabilitas lebih rendah ketimbang calon perseorangan . Sebaliknya, tidak semua calon perseorangan memiliki kapasitas dan kapabilitas lebih baik dari orang parpol.

Kesuburan pertumbuhan oligarki dan plutokrasi dapat dihambat dengan membangun sistem kepartaian yang sederhana dan tidak kompleks sehingga rakyat mudah mengawasinya. UU Parpol yang baru juga masih memberi peluang tumbuhnya oligarki dan plutokrasi. UU Parpol juga tidak secara spesifik mengatur transparansi dan akuntabilitas karena hal itu dianggap bagian kemandirian partai mengurus rumah tangganya sendiri.

Membesarnya batas sumbangan yang dapat diberikan perseorangan dan korporasi serta ringannya sanksi bagi pelanggaran terhadap UU menjadi petunjuk masih adanya celah bagi pemanfaatan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan.

Keringat politik

Tidak adanya sanksi bagi parpol yang tidak menjalankan demokrasi internal organisasi menjadi petunjuk bahwa partai dapat digunakan sebagai alat kekuasaan oleh pengurusnya. Penerapan demokrasi internal partai diharapkan dapat menjamin peran dan fungsi utama parpol sebagai sarana pendidikan politik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik, serta agregasi kepentingan.

Implementasi demokrasi internal partai diharapkan dapat melahirkan politisi dan pemimpin berkualitas. Demokrasi internal partai menjadi pendorong pengembangan kader dengan mempertimbangkan merit system. Artinya, partai dapat mengembangkan kader untuk menduduki posisi eksekutif, lembaga perwakilan, pekerja partai, atau sekadar administratur organisasi.

Maka, parpol dapat menempatkan kadernya secara tepat untuk mengisi jabatan publik sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Artinya, mereka dapat menempati posisinya sesuai ”keringat”, bukan karena kedekatan hubungan dengan petinggi partai atau karena kemampuan keuangan. Dengan demikian, orang yang ingin sekali lancung ke ujian tanpa ”berkeringat” tidak memiliki tempat di lingkungan parpol.

Dalam sistem negara demokrasi modern kemampuan para politis lebih menjadi ukuran ketimbang label partai karena partai hanya menjadi wadah bagi mereka yang kebetulan memiliki cita-cita, platform, dan ideologi yang sama. Para pemilih yang rasional akan memilih partai yang mencalonkan orang-orang berkualitas daripada yang sekadar mengandalkan karisma atau pesona pemimpinnya.

Dalam waktu dekat, kondisi ideal ini memang sulit terwujud. Untuk itu diperlukan kerja keras, utamanya dari kalangan parpol sendiri. Partai harus bersedia dikritik dan dikoreksi minimal oleh kalangan internal dan konstituennya. Jika hal itu dapat diwujudkan, label sebagai organisasi yang penuh penumpang gelap oligarki dan plutokrasi dapat berkurang meski tak dapat dihapus sama sekali. Parpol sejati adalah wadah bagi mereka yang mau memeras keringat, bukan yang hanya ongkang-ongkang saja.

Rachmad Bahari Peneliti pada Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS) Jakarta. Kompas, 22 Januari 2008

Selengkapnya.....

08 January 2008

Demokrasi ala Rusia


Tahun 2007 mungkin dianggap tahun kemenangan Rusia. Pada 2007 Rusia dianggap lulus ujian dan kembali diakui sebagai negara adidaya lagi.

Terpilihnya Presiden Putin sebagai Person of the Year 2007 oleh majalah Time bisa dikatakan pengakuan internasional bahwa kepemimpinan Putin dinilai mampu mengangkat kembali Rusia sebagai negara kelas satu.

Padahal, bertahun-tahun para pimpinan negara dan pengamat Barat mengecam Putin yang dianggap makin otoriter. Lembaga pengamat demokrasi seperti Freedom House sejak 2006 malah menggolongkan Rusia sebagai negara yang "tidak bebas".

Namun, rakyat Rusia tampaknya tidak peduli. Dalam pemilu Majelis Rendah (Duma) awal Desember 2007, Partai Rusia Bersatu yang didukung Putin menang telak dengan mengantongi 64 persen suara. Dalam pemilu itu untuk pertama kali Putin secara terbuka mendukung Rusia Bersatu dengan menjadi calon urut pertama partai itu.

Dukungan itu menyiratkan, dalam kondisi tertentu masyarakat lebih memilih stabilitas dan kesejahteraan daripada demokrasi. Artinya, perut dianggap lebih penting dibanding kebebasan.

Kondisi masyarakat Rusia mendorong hal itu. Selama ratusan tahun, Rusia diperintah dinasti otoriter Romanov. Tsar Nicholas II lalu dijatuhkan oleh Revolusi Bolshevik dan selama 74 tahun rezim Komunis (yang otoriter) memerintah Rusia. Ambruknya Uni Soviet tahun 1991 membuat Rusia berantakan dan hampir menjadikannya negara yang gagal. Inflasi meroket, ekonomi nyaris ambruk dan dikuasai segelintir oligarch, kriminalitas dan mafia kejahatan merajalela. Sistem sosial berantakan.

Saat Perdana Menteri Vladimir Putin yang mantan letnan kolonel KGB ditunjuk Presiden Boris Yeltsin sebagai calon penggantinya pada 1 Januari 2000, mayoritas rakyat Rusia tidak mengenalnya. Tetapi, Putin ternyata bukan hanya pemimpin yang hebat. Ia juga ahli strategi.

Keberhasilan

Setidaknya ada dua hal yang membuat Putin berhasil. Pertama, kenaikan harga minyak dunia di atas 90 dollar AS per barrel membuat keuntungan Rusia berlimpah, apalagi produksi minyaknya 10 juta barrel per hari.

Kedua, kepemimpinan Putin yang tegas, tidak ragu, dan sikapnya susah ditebak membuat hampir semua kebijakannya berhasil. Ini berbeda dengan Yeltsin yang anak dan menantunya ikut campur dalam politik. Putin dikelilingi orang-orang kepercayaan yang kebanyakan berasal dari St Petersburg seperti dia.

Dalam dua kali masa jabatan (delapan tahun), sekitar 20 juta orang Rusia dientaskan dari kemiskinan, sistem pendidikan dan kesehatan diperbaiki, sejumlah industri strategis dinasionalisasi, pengangguran dikurangi, mata uang rubel menjadi kuat, korupsi berkurang, jumlah pembayar pajak meningkat, cadangan devisa menjadi 450 miliar dollar AS (nomor tiga di dunia). Utang luar negeri lebih dari 200 miliar dollar AS dilunasi lebih cepat.

Namun, yang membahagiakan rakyat Rusia adalah Putin dinilai berhasil membangun kembali Rusia Raya yang disegani dunia internasional, martabatnya dipulihkan lagi. Tingkat kepuasan publik terhadap Putin stabil: 80 persen pada 2000, 84 persen (2001), 86 persen (2002), dan 85 persen (2003). Survei The Wall Street Journal November lalu menunjukkan, dukungan terhadap Putin sekitar 85 persen.

Dukungan itu bisa diartikan, rakyat Rusia yang sudah "terbiasa" dengan pemerintahan otoriter dan takut kacau kembali seperti era 1990-an kurang peduli dengan sistem yang diterapkan Putin apakah demokratis atau tidak. Yang penting rakyat kian sejahtera dan negara Rusia makin terpandang.

Mungkin karena warisan sejarah, partisipasi politik masyarakat Rusia sejak 1991 minimal dan bersifat elitis. Diperkirakan sekitar dua pertiga rakyat Rusia kini tidak pernah langsung berpartisipasi dalam politik. Bisa dimaklumi jika hingga kini belum muncul civil society di Rusia.

Karena itu, reformasi Putin menjadikan Rusia super centralized state, dengan presiden yang mahakuat, yang menjalankan dictatorship of law diterima mayoritas rakyat. Menurut konsep Putin, Rusia memerlukan negara kuat yang bisa menjamin hak individu dan masyarakat.

Hak individu dan humanisme liberal, menurut Putin, tidak berakar kuat di Rusia. Sebaliknya, bentuk kolektivisme dan korporasi selalu di atas hak-hak individu. Maka, paternalisme negara menempatkan masyarakat di atas hak-hak individu.

Putin sering menegaskan, "Dalam sebuah negara tanpa hukum, dengan sendirinya menjadi negara yang lemah, individu tidak bebas dan tak bisa mempertahankan diri. Semakin kuat negara akan kian bebas pula individu."

Demokrasi model Rusia

Putin tampaknya sedang melakukan demokrasi model Rusia, yang berbeda dengan demokrasi liberal Barat. Ada yang menyebut demokrasi model Putin sebagai managed democracy. Tetapi, beberapa pakar Rusia menyebutnya souvereign democracy.

Langkah pertama reformasi Putin dalam melaksanakan demokrasi ala Rusia adalah mempreteli kekuasaan gubernur (yang sebelumnya memerintah bak raja kecil) dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi ditunjuk langsung oleh presiden, yang bisa disetujui atau ditolak DPRD.

Langkah itu dianggap negara-negara Barat sebagai otoriter. Kebijakan Putin menaikkan electoral threshold dari lima menjadi tujuh persen menyebabkan hampir semua partai kecil, termasuk yang proliberal dan didukung negara Barat, tersisih dan dimasukkan "daftar dosa" Putin.

Masih banyak tudingan miring ke arah Putin, termasuk kontrol negara terhadap media dan misteri tewasnya wartawati kritis Anna Politkovskaya pada 2005 yang hingga kini belum terkuak.

Demokrasi mengenal checks and balances. Hal ini belum terwujud di Rusia. Kekuasaan Presiden, menurut Konstitusi, amat dominan, di atas kekuasaan eksekutif (dijalankan perdana menteri dan kabinet), dan kekuasaan legislatif (Duma dan Majelis Tinggi/Dewan Federasi), sedangkan kekuasaan yudikatif yang dulu lebih bebas kini juga dikontrol presiden. Presiden langsung membawahi, antara lain, angkatan bersenjata, kepolisian, kejaksaan agung, dinas rahasia (FSB), dan perang melawan terorisme.

Perlu dicatat, selain kian makmur, kini rakyat Rusia bebas ke luar negeri dan melakukan kegiatan bisnis, yang di zaman Komunis dulu dilarang. Di bawah prinsip dictatorship of law (bukan supremasi hukum seperti di Indonesia) hukum ditegakkan, meski belum sepenuhnya berhasil, dan kriminalitas serta "Mafia Rusia" masih kuat. Tetapi, setidaknya telah tercipta stabilitas di Rusia di bawah Putin.

Pembela Putin mengatakan, jika penunjukan gubernur oleh presiden dianggap tidak demokratis, ternyata banyak negara Barat yang dikenal demokratis melakukan hal sama, seperti Belgia, Finlandia, dan Portugal.

Presiden Putin berkuasa tanpa saingan hingga bulan lalu memastikan calon penggantinya sebagai presiden (meski pemilu kepresidenan baru Maret 2008) adalah Dmitri Medvedev, yang kini menjabat wakil PM. Desember lalu, Medvedev mengatakan, sebagai presiden, ia akan meminta Putin menjadi PM.

Hal ini menimbulkan spekulasi, meski "hanya" sebagai PM, Putin akan tetap menjadi orang paling berkuasa di Rusia. Di antara lawan Putin kini sudah beredar lelucon. Konon Medvedev memiliki lampu Aladin. Saat ia menggosoknya, sang jin keluar dan bertanya; "Apa yang harus saya kerjakan, Tuanku?" Jawab Medvedev, "Jangan tanya saya, tanyakan kepada Putin."

Oleh: Susanto Pudjomartono Dubes RI untuk Rusia (2004-2007). Sumber: Kompas, 8 Januari 2008.

Selengkapnya.....

03 January 2008

Demokrasi Tidak, Sejahtera Tidak

Kembali Wapres Jusuf Kalla melontarkan pernyataan yang memicu komentar negatif. Banyak sekali tulisan atau wawancara yang menyalahkan pendapat JK itu dan intinya, demokrasi berjalan seiring dengan kesejahteraan. Hanya tulisan Amich Alhumami, "Mitos Demokrasi untuk Kesejahteraan" (Kompas, 27/12/2007), yang memahami pernyataan JK.

Dikutipnya pendapat Lee Kuan Yew (LKY): "I believe what a country needs to develop is discipline more than democracy. The exuberance of democracy leads to indiscipline and disorderly conduct, which are inimical to development." Kita bisa menolak pendapat LKY, tetapi ternyata apa yang dikatakannya itu memang sesuai dengan kondisi rakyat Singapura dan betul-betul mampu mewujudkan kesejahteraan.

Demokrasi uang

Demokrasi liberal umumnya digambarkan sebagai demokrasi terbaik yang pernah diterapkan di Indonesia. Tetapi, sebenarnya era saat itu tidaklah sebagus yang digambarkan. Silih berganti kabinet berdiri dan sekitar setahun kemudian harus bubar. Stabilitas politik tidak ada sehingga tidak memungkinkan berjalannya program yang sinambung. Bung Hatta dalam pidato perpisahannya saat akan mengundurkan diri (1956) mengecam perilaku partai-partai yang didasarkan atas kepentingan pribadi yang sempit. Gemas terhadap jatuh-bangunnya kabinet, Bung Karno menunjuk Juanda (tokoh nonpartai) sebagai PM pada April 1957, yang merupakan awal dari Demokrasi Terpimpin.

Dalam era Demokrasi Terpimpin, banyak tokoh yang berjasa besar pada bangsa ditangkap dan ditahan sampai akhir 1965, antara lain Sutan Syahrir, Mohammad Roem, Mohammad Natsir, Hamka, Mochtar Lubis, dan Imron Rosyadi. Ketua MPR, ketua DPR, dan ketua MA dimasukkan ke dalam kabinet, yang bertentangan dengan prinsip checks and balances. Era Demokrasi Terpimpin sebenarnya adalah rezim otoriter.

Era Demokrasi Pancasila tak banyak berbeda. Banyak tokoh mahasiswa yang ditangkap, seperti Syahrir, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Marsillam, Mahbub Djunaedi, Hariman Siregar, dan Fadjroel Rachman. Tindakan kekerasan yang dapat dianggap melanggar HAM berat terjadi terutama di Aceh dan Irian Jaya. Peristiwa penculikan tahun 1997, kerusuhan di banyak tempat yang kuat diduga sebagai rekayasa pemerintah, kasus 27 Juli 1997, dan kerusuhan Mei 1998 adalah sejumlah contoh dari betapa rawannya situasi politik dalam rezim otoriter Orde Baru.

Dalam pidato pengukuhan guru besar di UGM, Riswandha Imawan menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia mulai bergerak menjauh dari pengabdian kepada kepentingan rakyat. Demokrasi telah menjadi kendaraan efektif bagi elite untuk mempertahankan kekuasaan, bukan lagi diikhtiarkan untuk rakyat. Kalaupun ada konsep ikhtiar untuk rakyat, semua hanya lips service. Para pedagang tradisional yang tergusur dan korban Lapindo merasa bahwa partai dan tokoh politik tidak memerhatikan mereka.

Fakta menunjukkan bahwa biaya pemilu, pilkada, dan pilpres amat besar. Biaya dan mutu demokrasi yang dihasilkan tidak seimbang. Reaksi yang muncul, ada yang mengatakan bahwa demokrasi dapat dinomorduakan, yang penting kesejahteraan. Reaksi lain, gubernur sebaiknya ditunjuk oleh presiden.

Demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus berjalan bersama. Jika perekonomian hanya memberi kesempatan berkembang kepada kelompok tertentu yang jumlahnya sedikit dan mengabaikan nasib sebagian besar rakyat (contohnya pembangunan pasar di banyak kota, seperti Pasar Tanah Abang dan Pasar Blok M, pemberian HPH kepada sejumlah kroni), demokrasi tidak akan berumur panjang. Kalaupun ada, prosesnya masih demokratis tetapi sebenarnya tidak, prosedural tetapi tidak substansial.

Suara rakyat dapat dibeli sebagaimana kita lihat contohnya dalam pemilu dan pilkada di banyak tempat. Maka, yang muncul sebagai calon dalam pilkada dan pilpres adalah mereka yang punya uang dalam jumlah amat besar, walaupun mereka tidak punya integritas. Tokoh yang punya kemampuan dan karakternya baik tak bisa muncul karena tidak punya uang. Maka, demokrasi kita adalah demokrasi uang.

Tercampaknya rasa keadilan

Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari keberanian lembaga-lembaga hukum. Pemerintah yang demokratis tidak bisa dipisahkan dari konsep dasar hak asasi dan kesetaraan individu yang dijunjung tinggi. Lumpuhnya demokrasi pada 1957-1965 tidak bisa dilepaskan dari lumpuhnya rule of law dan lembaga-lembaga hukum.

Pada 1950-an, menurut Daniel S Lev, dunia hukum Indonesia masih punya integritas. Jaksa sangat kukuh dan tidak memberi ruang untuk kompromi. Ketua MA punya wibawa tinggi dan menempatkan diri sejajar dengan presiden. Lembaga MA mulai hancur saat Bung Karno mengangkat Ketua MA Wiryono Prodjodikoro sebagai Menteri Penasihat Hukum.

Pada era Orde Baru, kondisi lembaga hukum secara struktural ditempatkan posisinya sesuai UU, tetapi secara umum tidak diisi oleh pribadi-pribadi yang punya keberanian. Wakil Jaksa Agung Priatna Abdur Rasyid, yang berani menentang perintah Pak Harto untuk menghentikan pemeriksaan terhadap Dirut Pertamina, diberhentikan. Kepala Polri Hugeng yang ke rumah Pak Harto di Jalan Cendana untuk melaporkan rencana menindak pengusaha backing penyelundup ternyata berjumpa sang pengusaha itu di sana.

Lembaga hukum saat ini masih jauh dari harapan masyarakat, walaupun sudah ada kemajuan. Banyak keputusan hakim yang dianggap masyarakat tidak memenuhi rasa keadilan, seperti yang terkait pembalakan liar. Ketidaksediaan MA diperiksa oleh BPK dan adanya rekening liar MA membawa citra kurang baik. Komisi Yudisial yang tugasnya mengawasi para hakim justru seorang anggotanya tersangkut kasus.

Seorang guru besar ilmu hukum menulis bahwa teori tentang hukum sebagai peranti rekayasa pembaruan masyarakat (law as a tool of social engineering) di Indonesia telah bergeser menjadi alat rekayasa pembenaran korupsi (law as a tool of corruption engineering). Itu adalah salah satu kesimpulan dari forum Experts Meeting saat membedah PP No 37/2006 di Pusat Studi Antikorupsi FH UGM. Menurut dia, paham natural law yang menekankan bahwa hukum harus berdasar moral, memuat budi baik, dan penuh rasa keadilan telah tercampak dari proses pembuatan hukum dan digantikan oleh aliran positivisme yang mengatakan bahwa hukum adalah apa pun yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang membuatnya.

Kenyataan pahit

Amich Alhumami menyimpulkan bahwa hubungan demokrasi-kesejahteraan tidak bersifat linier-kausalistik, melainkan nonlinier-kondisional yang melibatkan banyak faktor, seperti pengalaman sejarah, basis sosial, struktur masyarakat, pendidikan penduduk, penegakan hukum, kemantapan/kelenturan institusi politik.

Sejumlah catatan di atas membenarkan kesimpulan Amich Alhumami itu. Kita masih perlu banyak belajar dan memperbaiki banyak hal untuk bisa mewujudkan demokrasi. Kalau harus menjawab mana yang dipilih kalau kita harus memilih demokrasi atau kesejahteraan, JK mengikuti LKY dan memilih kesejahteraan. Banyak tokoh lain tetap bersikeras bahwa kita tidak harus memilih, kita bisa memperoleh keduanya.

Sayang kenyataan pahit menunjukkan bahwa kita justru tidak memperoleh keduanya. Kita tidak memperoleh demokrasi dan kita tidak memperoleh kesejahteraan. Tetapi, kita tidak mungkin kembali kepada otoritarianisme karena sejarah menunjukkan bahwa sistem itu tidak mampu memberi kesejahteraan. Jadi, kita harus terus memperjuangkan demokrasi dengan memenuhi syarat-syaratnya, yaitu penegakan hukum dan keadilan secara nyata dan memperbaiki kehidupan kepartaian dengan menampilkan politisi yang berkarakter, berbudaya, bertanggung jawab, dan punya rasa malu.

Oleh: Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng. Sumber: Kompas, 3 Januari 2008.

Selengkapnya.....

02 January 2008

Fragmentasi Kekuasaan

Satu dekade reformasi menciptakan kondisi terbaginya kekuasaan politik ke dalam fragmen- fragmen kekuasaan secara "liar". Fragmentasi kekuasaan yang mencolok adalah "keterbelahan kekuasaan" (split of power) antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang cenderung dilihat oleh berbagai kalangan bukan sebagai sharing of power dalam mengurus negara, tetapi sebuah medan "pertarungan simbolik" dalam mendapatkan perhatian, simpati, dan penerimaan publik (public consent).

Melalui frekuensi penampilan di muka publik yang lebih tinggi; ucapan, komentar, dan opini publik yang lebih "keras"; perintah, koordinasi, dan pengaturan aneka urusan publik yang lebih "cekatan", serta pengusulan peraturan dan kebijakan publik yang lebih "ngotot", ada kesan umum bahwa wakil presiden tidak sekadar memosisikan dirinya "membantu" presiden, tetapi sedang membangun "kekuatan simbolik" (symbolic power) sebagai "bahan baku" dalam medan perebutan kekuasaan di dalam pemilu presiden mendatang.

Fragmentasi kekuasaan politik bahkan tidak hanya pada tingkat puncak kekuasaan, tetapi jauh menyebar ke dalam wilayah politik yang lebih luas dan kompleks. Angin kebebasan yang dibawa reformasi memberikan "adrenalin" pada diri setiap orang atau kelompok untuk menunjukkan "taring kekuasaan" pada tingkat politik mikro: daerah-daerah, kelompok suku, kelompok agama, aliran "kepercayaan", kelompok subkultur (punk, underground), mahasiswa, buruh, bahkan geng-geng motor.

Reformasi meninggalkan sebuah ruang kekuasaan yang di dalamnya bermunculan "bola liar kekuasaan", yang tanpa kendali. Tanpa pengelolaan struktural dan formal, kekuasaan-kekuasaan mikro itu berkembang menjadi fragmen-fragmen kekuasaan plural yang "mengelola dirinya sendiri" (self-organizing system). Dengan semakin susutnya ruang kekuasaan negara di dalam era otonomi dan globalisasi, berbagai fragmen kekuasaan itu (seperti suku, subkultur, aliran kepercayaan) berupaya memaksimalkan ruang kekuasaannya di dalam negara.

Fragmen-fragmen kekuasaan

Pandangan Hobbes, bahwa "kekuasaan itu tak terbagi" (power ough not to be divided), mungkin adalah pengalaman kelam bangsa ini di masa lalu ketika kekuasaan dipegang oleh rezim "totaliter". Akan tetapi, angin reformasi telah membawa perubahan radikal, yaitu ketika gelombang kebebasan berembus sangat kencang sehingga tidak saja kekuasaan terbagi seperti "liliput-liliput kekuasaan" sebagaimana dikatakan Rousseau, malahan berkembang biak bagai "bola liar kekuasaan", yang setiap orang ingin menjadi bagian dari kekuatan liarnya.

Reformasi menciptakan "bilik-bilik kekuasaan" berupa kekuasaan-kekuasaan mikro yang terbagi, terbelah, atau terpecah. Fragmentasi kekuasaan yang terbentuk adalah "fragmentasi berlapis" (stratified fragmentation). Pada tingkat makro ada fragmentasi kekuasaan menjadi kekuasaan-kekuasaan otonomi daerah yang plural dan desentralistik. Pada tingkat lebih mikro ada fragmentasi kekuasaan ke tangan para pemangku kekuasaan mikro (individu, kelompok, subkultur, kelas, golongan) yang mengembangkan ruang "kekuasaan" masing-masing.

Sebagaimana dikatakan Foucault di dalam Power/Knowledge (1980), bahwa "kekuasaan atas tubuh" (power over body) yang bersifat represif dan membungkam kini diambil alih oleh "kekuasaan dari tubuh" (power of body) yang subversif dan membebaskan, baik tubuh individu maupun tubuh sosial. Bila dulu kekuasaan merupakan sebuah metode represif dalam "pendisiplinan tubuh" (pikiran, kesadaran) yang menghasilkan tubuh yang patuh (docile body), kini kekuasaan-kekuasaan mikro (individu, kelompok, golongan) menjadi alat perlawanan terhadap segala bentuk pendisiplinan.

Akan tetapi, hasrat berlebihan menampakkan taring kekuasaan itu dapat menjadikan kuku kekuasaan itu kehilangan dimensi-dimensi sublimnya, yaitu dimensi-dimensi "kebaikan" (goodness), "keadilan" (justice), dan "kebajikan" (virtue), sebagaimana dilukiskan para pemikir politik klasik. Terbuai dalam pesona kekuasaan menjadikan orang melupakan "etika kekuasaan", yaitu pandangan baik/buruk atau pantas/tak pantas dari setiap tindak penggunaan kekuasaan. Kekuasaan menjadi cara untuk memuaskan ego dan melupakan orang akan fungsi sosial kekuasaan.

Mengelola kekuasaan

Ada sesat pikir yang tumbuh di kalangan masyarakat bahwa setelah berlangsung fragmentasi kekuasaan, setelah kue kekuasaan dibagi-bagi ke dalam fragmen-fragmen kekuasaan yang plural, maka proses demokratisasi dianggap telah selesai. Padahal, demokrasi bukan sekadar pembagian kekuasaan oleh penguasa pada demos, tetapi bagaimana mengelola fragmen- fragmen kekuasaan itu sehingga jelas teritorial, batas, dan otoritas di dalamnya. Membiarkan "fragmen-fragmen kekuasaan" tanpa batas sama artinya dengan "anarkisasi demokrasi".

Pengalaman pembagian kekuasaan pada tingkat puncak kekuasaan sejauh ini tidak menunjukkan hasil yang positif, konstruktif, dan produktif. Di dalam rezim Orde Baru, kekuasaan wakil presiden terbatas pada "mewakili presiden" dalam kondisi darurat, genting, atau berhalangan. Di dalam era Reformasi, wakil presiden semestinya diposisikan sebagai "mitra" presiden dalam mengurus negara. Akan tetapi, alih-alih menjadi mitra, kini ia cenderung menjadi "pesaing" presiden dalam hal penggunaan otoritas kekuasaan, pembentukan kekuatan simbolik, dan penggalangan penerimaan publik.

Pengelolaan kekuasaan di dalam era Reformasi menghadapkan bangsa ini pada sebuah situasi dilematis: bila kekuasaan dikembalikan sebagai "kekuasaan tak terbagi" sebagaimana dikatakan Hobbes, ketakutan akan taring "totalitarianisme baru" akan menghantui setiap orang. Sebaliknya, membiarkan kekuasaan menjadi medan "pertarungan bebas" akan membuka ruang bagi persaingan tak sehat, tak konstruktif, dan tak produktif karena jiwa demokratis "lebih mendahulukan kepentingan negara" (bukan ego dan golongan) itu belum kunjung terbangun.

Dalam kondisi belum adanya "kedewasaan demokrasi", ada baiknya konsep Hobbes tentang "kekuasaan tak terbagikan" dilirik kembali secara parsial, paling tidak pada tingkat pucuk pimpinan negara. Konkretnya, di dalam pemilu presiden mendatang, sebaiknya yang dipilih bukan lagi "pasangan presiden" (presiden dan wakil presiden), tetapi "hanya" presiden, yang setelah terpilih menunjuk wakilnya, yang dianggap cakap dan dapat diajak bekerja sama. Membagi kekuasaan pada presiden dan wakil presiden sejauh ini cenderung menjadikan kekuasaan menjadi "gadis rebutan".

Oleh: Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-Institut Teknologi Bandung. Sumber: Kompas, 2 Januari 2008

Selengkapnya.....

29 December 2007

Demokrasi dan Trauma Sejarah

Demokrasi punya banyak musuh: korupsi, kolusi, nepotisme, ekstremisme, sifat tidak peduli kepada kaum miskin, dan salah mengartikan inti demokrasi. Tetapi, juga luka jiwa berat seluruh bangsa sebagai akibat malapetaka sejarah bisa membahayakan konsolidasi demokrasi.

Penelitian Lembaga Survei Indonesia sudah membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi. Walaupun secara rata-rata 72 persen warga Indonesia mendukung demokrasi, dibandingkan dengan negara Eropa persentase itu masih rendah.

Mengapa demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi? Masih ada banyak kasus korupsi, kolusi, nepotisme, dan ketidakadilan hukum. Juga masih terlalu besar jumlah orang miskin. Adalah korelasi sangat kuat antara kemiskinan, korupsi, dan kelemahan demokrasi. Kebanyakan negara berpenghasilan rendah masuk kelompok negara yang dinilai amat korup dan kurang demokratis.

Demokrasi itu tujuan
Demokrasi bukan hanya alat atau cara untuk mencapai sesuatu. Demokrasi adalah tujuan itu sendiri. Nilai-nilai demokrasi mengandung pada pokoknya keadilan hukum, tanggung jawab sosial, dan pembelaan hak-hak asasi manusia untuk semua warga negara, kaya atau miskin, sipil atau militer.

Tetapi tak ada gading yang tak retak. Tiada demokrasi yang sempurna. Apa mungkin sistem politik yang diciptakan oleh kaum manusia bisa lengkap, tanpa kelemahan dan tanpa kesalahan? Bahkan demokrasi Amerika Serikat (AS) bisa melahirkan presiden pembohong dan penghasut perang seperti Bush, presiden korup yang didalangi oleh perusahaan minyak bumi AS. Dan warga kaya raya AS punya seribu kemungkinan untuk menghindarkan diri dari pengadilan. Walaupun begitu, di luar demokrasi, tiada sistem politik yang secara sama efisien bisa menjaminkan hak-hak asasi manusia.

Demokrasi hanya bisa berhasil baik jika empat susunan keamanannya bekerja tanpa hambatan: pemerintah (eksekutif) yang merasa bertanggung jawab kepada seluruh bangsa, parlemen (legislatif) yang bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang memilih anggotanya, lembaga-lembaga pengadilan (yudikatif) yang setia kepada keadilan hukum dan pers bebas dan berani.

Di samping itu, demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik pada bangsa yang sudah mengakui semua fakta masa lalunya, termasuk kesalahan buruknya. Sebaliknya, menekan hal-hal buruk ke bawah sadar tidak bisa membebaskan dari rasa bersalah. Sampai sekarang AS belum mau mengakui kejahatan-kejahatan perangnya di Vietnam dan di negara lain. Hal itu dianggap sebagai salah satu sumber kasus kekerasan yang berulang-ulang terjadi di AS. Negara yang tidak mengutuki kekerasan dalam sejarahnya sendiri tidak punya dasar bersusila untuk melawan kekerasan sekarang.

Trauma kekerasan
Demokrasi Indonesia masih sangat muda, tetapi sudah menderita beberapa trauma kekerasan. Yang paling berat tentu saja pembunuhan massal orang Indonesia berhubungan dengan G30S. Pembantaian itu terjadi setelah pembunuhan enam pejabat tinggi Angkatan Darat.
Sampai sekarang tidak jelas siapa dalang pembunuhan enam perwira itu. Ada yang menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI), ada juga yang menuduh badan intelijen AS (CIA). Sangat jelas bahwa hanya Washington yang menarik keuntungan dari G30S. AS pada waktu itu sedang terlibat dalam perang dingin Uni Soviet dan perang panas Vietnam dan takut sekali Indonesia akan jatuh ke tangan komunisme.

Dalam enam bulan setelah peristiwa G30S, banyak anggota dan pendukung PKI, ormas buruh dan petani lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan di mana sebagian mereka disiksa sampai mati. Juga banyak orang yang hanya dianggap sebagai anggota atau simpatisan PKI dan juga warga Tionghoa dibantai. Di samping itu, ada orang yang menuduh tetangganya sebgai PKI hanya untuk meraih istri atau hartanya, atau membalas dendam.

Semua orang itu dibunuh tanpa perkara pengadilan. Semuanya dibantai tanpa bukti-bukti bahwa mereka sudah melakukan kejahatan. Banyak di antara mereka, kaum buruh atau petani, yang tidak tahu siapa Karl Marx atau apa komunisme itu, apalagi tentang G30S. Kebanyakan korban pembantaian tidak pernah melakukan kejahatan apa-apa terhadap pemerintah atau masyarakat.

Sampai hari ini jumlah korban pembunuhan massal tidak jelas. Diduga setidak-tidaknya satu juta orang atau lebih menjadi korban dalam malapetaka itu. Jika begitu, jumlah korban pembantaian selama enam bulan pasca-G30S lebih banyak dari jumlah korban pembantaian oleh kolonialis Belanda selama tiga setengah abad. Itulah trauma sejarah Indonesia paling berat yang juga mempersulit konsolidasi demokrasi di negara ini.

Peristiwa itu sudah terjadi lebih dari 40 tahun lalu. Mungkin sudah terlambat untuk menghukum semua pembunuh yang dipesan atau yang sukarela itu. Juga, dalam demokrasi dewasa ini, kurang cocok memikirkan pembalasan dendam. Hanya jika ditemui bahwa ada dalang Indonesia di belakang peristiwa G30S, dia sekarang harus diadili tanpa memerhatikan umurnya dan tanpa ampun.

Situasi sangat lain dengan kaum korban. Masih pada waktunya menunjukkan rasa keadilan kepada semua mereka. Tahap pertama adalah mendaftarkan semua nama korban, umur mereka, dan kapan mereka dibunuh. Hanya dengan begitu orang bisa mengetahui berapa persis jumlah korban dan siapa saja mereka. Jauh lebih sulit meneliti apakah alasan pembunuhan mereka.

Kerusuhan Mei 1998 merupakan malapetaka lebih kecil, tetapi yang lebih baru. Sampai hari ini belum jelas siapa yang menunggangi massa yang mengamuk. Tetapi dengan nyata kerusuhan itu terarah dan terorganisasi. Banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk dan toko-toko serta perusahaan-perusahaan mereka dihancurkan. Tak sedikit perempuan yang diperkosa, tetapi fakta ini selalu disangkal oleh pemerintah dan sebagian masyarakat lainnya.

Penyusun dan pelaku aksi-aksi kejahatan ini barangkali masih punya jabatan tinggi dan tugas yang berpengaruh. Mereka merupakan bahaya serius untuk demokrasi Indonesia. Itu alasannya mereka harus dituntut ke muka pengadilan secepat mungkin. Dalam demokrasi sejati, anggota militer yang melakukan kejahatan sipil harus tunduk pada yurisdiksi sipil.

Kekerasan antidemokrasi pada zaman pasca-G30S dan pada Mei 1998 tidak hanya merupakan lembaran hitam sejarah Indonesia. Itu adalah utang jiwa yang belum terbayar, sebuah trauma yang tidak disembuhkan. Hanya dengan mengakui semua fakta pahit sejarah, Indonesia bisa menghindarkan lanjutan kekerasan dan mengonsolidasikan demokrasinya.

Peter Rosler Garcia Ahli Politik dan Ekonomi Luar Negeri, Hamburg, Jerman
(Kompas, 29 Desember 2007)

Selengkapnya.....

28 December 2007

Demokrasi dan Kesejahteraan

Memang ada pendapat yang menyatakan keraguan mereka atas demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Mereka menyatakan, demokrasi kurang, bahkan tidak, membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat sehingga dapat saja diabaikan dulu demi menjangkau peningkatan dan pencapaian kesejahteraan.

Keraguan itu wajar saja mengingat perkembangan politik pascareformasi, negara atau pemerintah menemui kesulitan dalam menggerakkan sumber daya ekonomi dan politik untuk memajukan kesejahteraan umum atau rakyat.

Namun, keraguan itu tanpa didasarkan langkah untuk mendalami persoalan. Apa saja kesulitan yang dihadapi? Siapa yang paling menghalangi upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat? Pernahkah diatasi faktor-faktor penghalang bagi pencapaian kesejahteraan rakyat?

Pendapat lainnya justru berpandangan bahwa demokrasi dapat membuka jalan menuju kesejahteraan. Meski begitu, harus diakui bahwa kesejahteraan rakyat yang diharapkan memang belum tercapai karena banyak halangan yang membendung pencapaian tersebut.

Teruskan demokratisasi
Kita perlu memetik pelajaran pahit dari masa lalu. Lebih dari 32 tahun Orde Baru mendominasi politik tanpa demokrasi—didukung penghasilan migas yang melimpah dan kekayaan alam lain ataupun investasi asing dan utang luar negeri—tetap saja gagal mencapai kesejahteraan rakyat.

Persoalan yang diderita sebagian rakyat di antaranya kesejahteraan pegawai, polisi, dan prajurit TNI yang minim, upah buruh yang rendah, penggusuran yang memiskinkan penduduk, gagalnya industrialisasi, kesenjangan pusat dan daerah, utang luar negeri yang menumpuk, serta pencemaran dan perusakan lingkungan dan hutan yang tinggi.

Rezim otoriter saat itu bukanlah cara, alat, atau proses untuk peningkatan dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Pengekangan dan penghukuman atas kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul mengakibatkan rezim otoriter tak dapat dikontrol. Parlemen pun tak dapat berbuat apa-apa.

Jalan otoritarianisme telah gagal untuk memajukan kesejahteraan umum karena segelintir orang menikmati "kue ekonomi" yang sangat besar. Mereka berkerumun di sekitar Istana Cendana di bawah pola hubungan patronase bisnis (business patronage) yang sangat protektif.

Kini terbentang jalan menuju demokrasi dan pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah bisa dikontrol parlemen. Tak hanya itu, partai-partai juga terbuka melancarkan kritik, bahkan rakyat pun dapat berpartisipasi dalam proses politik dan peletakan kebijakan pemerintah di pusat ataupun daerah.

Haruskah demokrasi dirampas demi mencapai kesejahteraan? Apa benar tujuan yang dikumandangkan berkomitmen kuat demi kesejahteraan rakyat dan tidak pemupukan kekayaan untuk segelintir orang?

Tanpa jaminan kesejahteraan secara konkret, demokrasi justru sangat berguna untuk menyuarakan orang kelaparan, kemiskinan, pengangguran, tanpa perumahan, dan anak putus sekolah untuk diatasi. Namun, tanpa demokrasi, bagaimana menyuarakan semua itu dan mengusulkan langkah untuk mengatasinya?

Maka, jalan demokrasi haruslah diteruskan. Jalan ini dapat digunakan untuk mempersoalkan: apa kesulitan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat? Apa halangan yang dihadapi? Siapa saja penghalangnya? Apakah ada upaya untuk mengatasinya? Dapatkah semua itu diungkapkan?

Menggandeng kesejahteraan
Demokrasi memang mendorong pemerintah lebih transparan agar bisa menjalankan fungsi dan mengemban tugas secara bertanggung jawab. Dalam kaitan ini termasuk proses penegakan hukum di mana "mafia peradilan"—korupsi, suap, dan pemerasan—menjadi faktor penghalang bagi pencapaian keadilan.

Lebih lanjut, demokrasi tak bisa hanya diprosedurkan setiap lima tahun sekali melalui pemilu atau pilkada. Proses demokratisasi terus berlanjut setiap hari. Terkadang ia diperlemah karena pendangkalan dan sebaliknya, dapat pula berjalan lebih maju karena terjadi pendalaman.

Pertama, proses politik yang dapat meningkatkan partisipasi rakyat memperdalam demokratisasi. Ia melampaui demokrasi sekitar elite politik belaka karena partisipasi yang lebih luas dapat menggali dan mengaktualkan berbagai sumber daya politik yang masih terpendam. Lambat laun memajukan kecerdasan bangsa.

Kedua, demokratisasi yang dijalankan haruslah menggandeng tujuan mencapai kesejahteraan rakyat. Cara seperti ini memperkuat komitmen untuk menentang jalan pendek yang mementingkan kepentingan segelintir orang. Partisipasi rakyat juga dapat menunjang pencapaian kesejahteraan.

Ketiga, demokratisasi juga dapat memberikan jalan pengawasan oleh nonnegara untuk mengungkap berbagai penyelewengan anggaran, penyaluran proyek investasi, dan eksploitasi sumber daya alam yang tak jujur, hingga "mafia peradilan". Lagi-lagi partisipasi rakyat dan LSM dapat berguna untuk memperbaiki tanggung jawab pemerintah dan para pejabat, baik di pusat maupun daerah.

Benny K Harman Pendiri SETARA Institute dan Anggota Komisi III DPR
(Kompas, 27 Desember 2007)

Selengkapnya.....
MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox