03 January 2008

Perdamaian Sebagai Sebuah Proses


Selama 50 tahun terakhir, konflik telah merenggut korban jiwa sebanyak 45 juta orang. Pada tahun 1994, sekitar 43 juta penduduk dunia harus mengungsi, kebanyakan dari mereka dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka disebabkan karenan konflik bersenjata. Walaupun perselsihan masih merupakan karakteristik utama dari era pasca perang dingin, usaha-usaha untuk menghentikan perang telah mencapai keberhasilan parsial di negara-negara seperti Angola, Bosnia-Herzegovina, Kamboja, El Savador, Ethiopia, Haiti, Mozambique, Namibia, dan Nikaragua.

Kebanyakan dari konflik tersebut berlangsung dalam waktu yang lama dan mengganggu struktur sosial, ekonomi dari negara atau kawasan di mana konflik tersebut berlangsung. Jutaan nyata manusia terbunuh, terluka atau dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka dan mengungsi ke tempat lain. Sementara itu, perekonomian tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan struktur politik harus dibangun kembali dari awal.

Untuk memahami istilah “perdamaian”, bertolak dari tiga prinsip sederhana, yaitu: (a) istilah perdamaian akan dipergunakan oleh banyak orang, walaupun tidak semuanya, untuk tujuan-tujuan sosial, (b) tujuan-tujuan sosial ini mungkin rumit dan sulit, namun bukanlah berarti tidak dapat dicapai, (c) pernyataan bahwa perdamaian berarti tidak adanya kekerasan, akan dianggap sebagai pernyataan yang benar.1

Teori yang dipergunakan untuk mendukung pernyataan bahwa perdamaian adalah suatu proses dan dapat didorong melalui peranan institusi, maka kami akan menggunakan teori yang dikemukakan oleh Nicole Ball dan Tommy Halevy, menganggap bahwa perdamaian tersebut merupakan suatu proses. Sedangkan teori yang mendukung bahwa perdamaian dapat didorong melalui pelibatan institusi, dikemukakan oleh John W. Burton. Burton mengungkapkan bagaimana menciptakan suatu institusi yang efektif untuk menyelesaikan konflik, salah satunya adalah mengembangkan prosedur resolusi konflik yang di dalamnya terdapat: (1) upaya untuk mengembangkan proeses fasilitasi, (2) merancang keterlibatan pihak ketiga, dan (3) memulai proses perubahan struktural yang diperlukan untuk menghilangkan sebab-sebab fundamental konflik.2

Proses perdamaian yang dikemukakan oleh Nicole Ball dan Tommy Halevy itu sendiri dapat dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu: tingkat resolusi konflik, dan tingkat peace building. Resolusi konflik bertujuan untuk mencapai persetujuan isu-isu kunci agar pertempuran dapat berakhir. Tingkat ini terdiri dari dua tahapan yaitu negosiasi dan penghentian permusuhan secara formal. Dalam tingkat ini aktor-aktor internasional harus membantu pihak-pihak yang bertikai untuk dapat mengurangi perbedaan yang ada, menekan pihak-pihak yang bertikai secara diplomatik, serta memberikan bantuan teknis dalam bernegosiasi.

Sedangkan tingkat peace building terdiri dari dua tahap yaitu, transisi dan konsolidasi. Kedua tahap ini bertujuan untuk memperkuat institusi politik, serta membangun kembali struktur ekonomi dan sosial suatu negara.

Namun, sebelum abad ke-19, konsep perdamaian lebih diartikan sebagai kondisi di mana perang berakhir dengan kemenangan militer mutlak dari suatu negara terhadap negara lain atau ketika salah satu pihak menyerah karena berbagai alasan. Kadang-kadang jika konflik yang sedang berkembang dinilai sebagai ancaman terhadap stabilitas atau keamanan negara-negara yang lebih kuat, suatu penyelesaian akan diterapkan secara eksternal dan perang itu sendiri akan dipaksa untuk mencapai tahap akhir.

Dewasa ini, negosiasi semakin banyak digunakan sebagai alat untuk mengakhiri perang. Dapat diambil contoh misalnya antara tahun 1800 dan tahun 1980, dari 60 peperangan antar negara 2/3-nya diakhiri dengan negosiasi.3 Namun, tidak ada proses yang menjadi standart dalam negosiasi untuk mengakhiri sebuah konflik atau diusulkan dan terjadi pada saat itu juga –perang dunia I— dalam kasus lainnya pembicaraan berlangsung selama bertahun-tahun sebelum proses awal berupa tahap tawar menawar mengenai syarat-syarat yang spesifik dimulai (perang Vietnam tahun 1962-1971).

Dalam beberapa kasus, negosiasi dimulai hampir bersamaan dengan perang (Suez) namun mengalami kebuntuan ketika kedua belah pihak melakukan persiapan untuk mengeskalasi konflik (Falkands/Malvinas). Namun, tahap-tahap dalam proses negosiasi tetap perlu diindentifikasi. Dalam setiap tahapnya, keputusan kunci harus dapat dicapai. Tahap-tahap proses negosiasi dapat diidentifikasi sebagai berikut:4
1). The Decision to Negotiate: pada tahap ini pihak-pihak yang terlibat konflik mempelajari kemungkinan menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka melalui negosiasi atau dapat disebut pra negosiasi. Kegiatan-kegiatan pra negosiasi tersebut dapat berupa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pengambil keputusan dan pemimpin untuk mempertanyakan apakah perang benar-benar diperlukan atau beberapa pengorbanan serta kerugian yang harus diderita untuk meneruskan peperangan. Kegiatan-kegiatan lainnya dapat berupa perkembangan dan diterimanya sumber-sumber informasi baru mengenai kekuatan, motif dan sasaran musuh.
2). Getting the Beligerents to The Table: pada tahap ini adalah tahap di mana para diplomat dan pemimpin berusaha untuk menetapkan waktu, tempat dan agenda bagi suatu pertemuan. Negosiasi untuk mengakhiri sebuah perang dapat berlangsung dalam cara yang berbeda-beda dan dalam lokasi yang beragam. Misalnya, tempat yang ditetapkan bagi sebuah pertemuan dapat berupa bangunan temporer yang didirikan dekat garis pertempuran atau dapat berupa bangunan permanen di sebuah negara netral. Perwakilan-perwakilan diplomatik dapat tinggal di suatu tempat selama pertemuan berlangsung atau mereka dapat berpindah-pindah dari negara satu ke negara lainnya.
3). The Decisions Required to Break Deadlocks in Bargaining: dalam negosiasi untuk mengakhiri perang sangat jarang berlangsung lancar, sering pula terjadi di mana semakin dekat para perunding mencapai kesepakatan, semakin sulit untuk mengamankan kesepakatan akhir tersebut. Perundingan dapat terganggu jika peperangan terjadi kembali atau jika kredibilitas para perunding dikecilkan oleh para pemimpin pemerintahan. Salah satu pihak juga dapat memanfaatkan proses negosiasi untuk menguji sikap lawan berundingnya. Kebanyakan dalam proses negosiasi, ada saat di mana kedua belah pihak tidak menginginkan atau tidak dapat melanjutkan proses negosiasi. Kebuntuan ini harus dapat dipecahkan jika perang akan diakhiri melalui negosiasi.

Banyak harapan yang muncul jika sebuah persetujuan perdamaian tercapai setelah adanya penandatanganan sebuah persetujuan perdamaian dan kesepakatan gencatan senjata. Hal semacam ini banyak dilihat sebagai tanda bahwa semua permasalahan akan segera selesai dan penghormatan terhadap persetujuan yang telah dicapai akan menghasilkan pemikiran bahwa persetujuan perdamaian merupakan petunjuk lengkap ke arah perdamaian abadi. Namun, pada kenyataannya pemikiran tersebut tidaklah benar. Sangat sulit bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk menerima hasil-hasil persetujuan perdamaian. Persetujuan perdamaian hanya menyediakan kerangka kerja bagi pengakhiran pertikaian dan petunjuk untuk menangani tahap-tahap awal dari keadaan pasca konflik. Setelah persetujuan perdamaian disepakati, pembicaraan-pembicaraan masih perlu dilakukan tentang bagaimana ketetapan-ketetapan yang terdapat dalam persetujuan tersebut dapat diimplementasikan dan bagaimana isu-isu kritis yang tidak tercakup dalam persetujuan akan dapat dibicarakan kembali.

Implementasi ketetapan-ketetapan terbatas yang telah disepakati dalam persetujuan perdamaian saja memakan waktu satu atau dua tahun lamanya. Dengan pertimbangan banyaknya masalah-masalah yang harus dibicarakan dan panjangnya proses serta jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai rehabilitasi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi, dapat diperkirakan bahwa komunitas internasional harus tetap terlibat selama 10 tahun, menyusul penandatanganan persetujuan perdamaian. Sifat dan intensitas dari keterlibatan akan bervariasi seiring dengan waktu.

Agar dapat berhasil, sebuah proses perdamaian memerlukan keterlibatan beragam institusi dalam komunitas internasional yang terus menerus dan masing-masing aktor eksternal memainkan peranan yang spesifik dalam proses perdamaian. Komunitas internasional tersebut terdiri atas badan-badan pemerintah bilateral, sperti Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Departemen Kehakiman, institusi multilateral seperti PBB, organisasi regional seperti NATO dan ASEAN, anggota international development community, dan organisasi HAM internasional.

Pada salah satu tahap dalam peace building, yaitu tahap transisi, usaha-usaha dilakukan untuk mendirikan suatu pemerintahan yang memiliki legitimasi cukup untuk memerintah. Banyak persetujuan perdamaian seperti di Kamboja, El Savador, dan Mozambique mencakup periode transisi yang berlangsung selama satu atau dua tahun dan berakhir dengan pemilihan umum.

Sedangkan selama tahap konsolidasi, proses perdamaian dilanjutkan dengan mengemukakan masalah-masalah yang menyebabkan konflik itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan agar suatu keadaan yang kondusif dapat diciptakan bagi penyelesaian konflik secara damai di masa yang akan datang.

Jadi institusi-institusi internasional diperlukan bantuannya bukan hanya pada saat menegosiasikan persetujuan damai, tetapi juga dalam mempertahankan dan mengkonsolidasikan perdamaian. Untuk mengimplementasikan persetujuan perdamaian, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik harus dapat melakukan beberapa hal seperti melucuti senjata dan menarik mundur pasukan-pasukan tempur, menegakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, memulangkan kembali perekonomian, dan lain-lain. Dalam melaksanakan hal tersebut kemampuan domestik terbatas yang antara lain disebabkan oleh kelemahan institusional, keterbatasan sumber daya manusia dan finansial. Oleh karena itu, diperlukan institusi internasional untuk memberikan bantuan baik itu berupa bantuan finansial, teknis, maupun dukungan politis.

Pada tanggal 2 April 1982, dunia telah dikejutkan dengan berita bahwa pasukan tentara Argentina menyerbu dan menduduki kepulauan Falklanda, sebuah pulau kecil jajahan Inggris di sebelah selatan laut Atlantik yang berpenduduk 1.800 jiwa.

Di Buenos Aires, pemerintah Argentina dengan gembira menyatakan bahwa telah mengklaim suatu wilayah kepulauan baru, yang sebelumnya dinamakan kepulauan Malvinas. Sebaliknya di Londong, pemerintah Inggris terkejut dan merasa dipermalukan dengan berita tersebut. Pemerintah Inggris mengumumkan untuk mengembalikan wilayah tersebut dengan berbagai kemungkinan termasuk dengan cara kekerasan.

Sedangkan reaksi yang sangat kuat dirasakan oleh pemerintah Amerika Serikat, di mana sengketa tersebut dapat mempengaruhi kebijakan luar negerinya. Karena kedua negara mempunyai hubungan yang baik dengan Amerika Serikat. Inggris merupakan salah satu sekutu tertua Amerika Serikat dan sebuah negara besar dalam NATO. Sedangkan Argentina merupakan negara sekutu yang paling dipercaya di kawasan Amerika Latin oleh Amerika Serikat. Dukungan yang diberikan kepada salah satunya akan merusak dengan yang lainnya. Pada peristiwa tersebut, Amerika Serikat memilih untuk menjadi mediator dengan melakukan usaha-usaha untuk mencegah dan mengakhiri konflik tersebut.

Walaupun akhirnya mediasi tersebut tidak sepenuhnya berjalan dengan baik, namun usaha-usaha tersebut berhasil memperlunak sikap Inggris, hal ini terjadi ketika proposal yang diajukan oleh Amerika Serikat menyangkut sebuah pemerintahan interim yang akan dijalankan oleh Inggris dan Argentina dengan partisipasi Amerika Serikat di dalamnya disetujui oleh Inggris.***

Oleh: Budi H. Wibowo

Endnote:
1Johan Galtung,”Violence, Peace and Peace Research”, dalam Journal of Peace Research No. 3, 1969, h. 167-169
2John W. Burton,”The Procedures of Conflict Resolution”, dalam Edward E. Azar and John Burton, International Conflict Resolution: Theory and Practice, Sussex: Wheatsheaf, 1986, h. 101
3Paul R. Pillar,”Negotiating Peace:War Termination as a Bargaining Process”, Princeton University Press, 1983, h. 9-25
4Allan E. Goodman and Sanra Clemens Bogart,”Making Peace, The United State and Conflict Resolution”, 1992, h. 6-7

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox