02 January 2008

Struktur Pemerintahan dan MPR

Ada perbedaan kerangka berpikir antara penyusun UUD 1945 yang asli dan para anggota MPR yang mengamendemen UUD 1945. Para penyusun UUD 1945 yang asli ingin menyusun sistem pemerintahan berdasar budaya politik Indonesia. Beliau-beliau itu berpendapat bahwa perbuatan meniru sistem pemerintahan dari negara lain seperti Belanda, Inggris, Amerika Serikat ataupun Jepang adalah suatu kebijakan yang tidak bijaksana. Sebaliknya, kebanyakan anggota MPR yang mengamendemen UUD 1945 sangat getol untuk meniru sistem presidensial di Amerika Serikat yang memakai trias politika (separation of powers, yaitu pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif). Mereka mengubah sistem pemerintahan kita yang khas, yang tidak memakai asas trias politika menjadi sistem presidensial seperti di Amerika Serikat. Mereka tidak sadar bahwa menurut penelitian Riggs , negara berkembang yang memakai sistem presidensial lebih banyak yang gagal dibanding negara berkembang yang menggunakan sistem kabinet yang menggabungkan kekuasaan legislatif dan eksekutif (fusion of powers). Penelitian Riggs yang dilakukan di 76 negara itu menunjukkan bahwa sistem presidensial yang ditiru oleh anggota MPR kita, ternyata tidak lebih unggul daripada sistem kabinet seperti di Inggris yang di Indonesia lebih dikenal sebagai sistem parlementer.

Sebagaimana diketahui, sebelum tahun 1950, dunia hanya mengenal sistem pemerintahan presidensial dan sistem parlementer. Tetapi kalau kita menyimak sejarah konstitusi Indonesia, maka akan terlihat bahwa upaya Pendiri Negara untuk menyusun sistem pemerintahan sendiri tidak terbatas di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) saja. Pada masa Perang Kemerdekaan, kita telah mengembangkan sistem semi-presidensial seperti terlihat dari adanya pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Sejak kabinet Sjahrir, sistem pemerintahan kita telah beralih dari single executive ke sistem semi presidensial (plural executive), yaitu kepala negara bertanggung jawab ke MPR, bukan ke DPR, sedangkan kepala pemerintahan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP adalah DPR Sementara).

Gambaran sistem pemerintahan sendiri yang khas Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Presiden adalah Kepala Negara merangkap Kepala Pemerintahan (single executive) .
2. Lama jabatan presiden ditentukan oleh UUD (fixed government) agar pemerintahan stabil.
3. Presiden tidak dapat dilengserkan oleh DPR. Imbangannya, DPR tidak bisa dibubarkan oleh Presiden.
4. Presiden bertanggung jawab kepada MPR, tidak bertanggung jawab kepada DPR.
5. Presiden dipilih oleh MPR, bukan dipilih secara langsung oleh rakyat. Artinya hanya satu lembaga, yakni DPR yang dipilih langsung oleh rakyat.
6. Presiden adalah mandataris MPR, artinya presiden harus menjalankan kebijakan tertinggi yang ditentukan oleh MPR. Kebijakan yang digariskan Presiden bukan kebijakan tertinggi. Presiden harus menjalankan kebijakan MPR yang telah ditentukan di Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
7. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, dalam arti menjalankan GBHN , kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon the president).
8. Menteri bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR.
9. Menteri bukan pegawai tinggi biasa karena menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executif). Menteri dapat mewakili pemerintah di DPR.
10. Menteri tidak boleh merangkap jabatan sebagai anggota DPR.
11. Dalam menentukan APBN, kedudukan DPR lebih kuat daripada Presiden.
12. Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR (pasal 5). Artinya, lembaga pembuat undang-undang (legislatif) terdiri dari 2 Badan yaitu Pemerintah dan DPR.

Setelah Amendemen terjadi perubahan sebagai berikut:
1. Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR maupun DPR.
2. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Hal itu berarti bahwa setelah Amendemen ada dua lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat.
3. Presiden boleh membuat kebijakan sendiri yang berstatus kebijakan tertinggi, yang mungkin berbeda dengan suara pemegang kedaulatan rakyat di MPR.

Bila dibandingkan dengan sistem presidensial Amerika Serikat, persamaan UUD 1945 yang asli ada empat yaitu:
1. Kepala Negara merangkap sebagai Kepala Pemerintahan
2. Lama jabatan presiden ditentukan oleh UUD
3. Presiden dapat dipilih kembali selama rakyat menghendaki
4. Menteri bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPR.

Setelah amendemen, presiden hanya boleh menjabat selama dua kali masa jabatan, sama dengan Amendemen XXII tahun 1951 Konstitusi Amerika Serikat.

Hal yang hampir sama, dengan nuansa yang berbeda, ada dua yaitu:
1. Pemilihan presiden dilaksanakan secara tidak langsung ; di Amerika oleh lembaga elektoral (electoral college), bukan oleh Congress, sedangkan di Indonesia oleh MPR, bukan oleh DPR
2. Di Amerika Serikat maupun di Indonesia, pengangkatan menteri (secretary) merupakan hak prerogatif presiden dengan perbedaan sebagai berikut: Di Amerika harus mendapat nasehat (advice) dan persetujuan (consent) dari Senat sedangkan di Indonesia hanya tergantung kepada Presiden. Selain itu, secretary tidak diperkenankan hadir di ruang sidang congress, apalagi mewakili presiden. Sedangkan di Indonesia, menteri dapat mewakili presiden dan secara rutin mengadakan rapat kerja bersama DPR.

Setelah amendemen, pemilihan presiden di Indonesia dilaksanakan secara langsung. Di Amerika Serikat tetap dilaksanakan oleh Electoral College. Presiden Amerika Serikat dipilih berdasar electoral vote, bukan popular vote.

Perbedaan dengan UUD 1945 yang asli ada enam yaitu:
1. Indonesia Negara Kesatuan, Amerika Serikat Negara Federal,
2. Indonesia tidak memakai trias politika, Amerika memakai trias politika. Menurut asas trias politika, lembaga yang membuat undang-undang. Legislatif, harus berbeda dengan lembaga yang melaksanakan undang-undang (Eksekutif).
3. Indonesia mengikuti ajaran Jean Bodin bahwa kedaulatan (sovereingnty) tidak bisa dibagi, sedangkan Amerika mengikuti ajaran Madison yang menyatakan bahwa kedaulatan bisa dibagi, baik secara vertikal (pembagian secara teritorial, yaitu antara pemerintah pusat (states) dan pemerintah negara gagian (federal) maupun secara horisontal, yaitu antara legislatif, eksekutif dan judisial,
4. Di Indonesia, Badan Perancang Undang-Undang, Legislatif, terdiri dari dua lembaga yaitu Lembaga Perwakilan dan Lembaga Kepresidenan. Rancangan undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama diserahkan kepada presiden untuk ditanda tangani dan kemudian diundangkan, dimuat di Lembaran Negara. Pembentukan undang-undang tidak sesuai dengan asas trias politika.
5. Di Amerika Serikat yang dinamakan legislatif hanya satu lembaga, yaitu congress. Rancangan undang-undang hanya dibahas oleh congress yang terdiri dari House of Representative dan Senate; presiden atau menteri-nya tidak boleh hadir di ruang sidang congress. Presiden hanya diperkenankan merekomendasikan rancangan undang-undang setiap permulaan tahun yang dinamakan State of the Union Address. Presiden punya hak veto. Rancangan undang-undang harus mendapat persetujuan bersama House dan Senate sebelum diserahkan kepada presiden. Bila presiden setuju maka rancangan undang-undang ditanda tangani oleh presiden dan sah menjadi undang-undang. Bila presiden tidak setuju, presiden berhak memveto rancangan undang-undang. Tetapi veto presiden bisa dibatalkan oleh congress bila dua pertiga anggota congress menolaknya (two third rule). Bila veto presiden dibatalkan oleh congress maka rancangan undang-undang sah menjadi undang-undang meskipun tidak ditanda tangani oleh presiden.
6. Amerika Serikat tidak mempunyai lembaga tertinggi sedangkan Indonesia mempunyai lembaga tertinggi, yaitu MPR, yang khas Indonesia, dan agak berbeda dengan lembaga tertinggi di Inggris serta juga berbeda dengan lembaga tertinggi di negara sosialis/komunis.

Setelah Amendemen, pembuatan undang-undang berubah sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) yang semula berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”, berubah menjadi: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang”.

Pasal 20 ayat (1) yang semula berbunyi: “Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR”, berubah menjadi 4 ayat yaitu: ayat 1) “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”; ayat (2): “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”; ayat (4): “Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang” dan ayat (5): “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Sedangkan Pasal 20 ayat (2) yang semula berbunyi: “Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat pesetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”, berubah menjadi ayat (3) yang berbunyi: “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”.

Perubahan itu nampaknya besar, tetapi pada kenyataannya asasnya tidak beralih ke trias politika. Pembuatan undang-undang tetap dilakukan oleh dua lembaga karena Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”, dimentahkan oleh ayat (2) yang berbunyi: “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Jadi, asasnya tetap sama, rancangan undang-undang harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Kiranya perlu dikemukakan bahwa ada kemungkinan ketentuan itu akan menimbulkan kemacetan (deadlock). Bila Presiden tidak menyetujui suatu rancangan undang-undang maka persetujuan bersama yang bersifat materiil tidak akan tercapai, apalagi persetujuan formil. Hal itu akan mengakibatkan ayat 5 yang berbunyi: “Dalam hal undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”, tidak dapat dijalankan. Klausul untuk memecahkan kebuntuan perlu diadakan.

Amendemen UUD 1945 telah menimbulkan kontroversi karena perubahan distribusi kekuasaan lembaga-lembaga negara kita hanya didasarkan pada teori yang berasal dari Amerika Serikat . Kontroversi antara lain tentang lembaga tertinggi yang tidak dikenal di sistem pemerintahan Amerika Serikat tetapi dikenal di sistem pemerintahan Inggris. Konsep MPR tidak tercipta dari “ruang hampa”. Tokoh penyusun UUD 1945 mendapat ilham dari sistem pemerintahan Inggris yang mempunyai lembaga tertinggi, yaitu parlemen, tempat kedaulatan rakyat (locus of sovereignty) berada. Penyusun UUD 1945 tidak punya niat sedikitpun untuk menjiplak struktur pemerintahan negara lain, sebab itu keberadaan MPR disesuaikan dengan budaya politik Indonesia.

Lembaga Tertinggi di Indonesia adalah MPR
Di rancangan UUD 1945 yang pertama, ada tiga pasal tentang MPR yaitu: Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Souvereigniteit berada di tangan rakyat, yang dilakukan sepenuhnya oleh Badan Permusyawaratan Rakyat”. Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi: “Badan Permusyawaratan Rakyat terdiri dari angauta-anggauta Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, dan ayat (2) berbunyi: “Badan Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam 5 tahun di Ibu kota negara”. Pasal 19 berbunyi: “Badan Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan garis-garis besar dari haluan negara. Pasal 1 berdiri sendiri sedang Pasal 18 dan 19 tergabung bersama Pasal 20 sampai dengan 23 dan diberi judul “Tentang Badan Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Setelah dibahas di Panitia Penyusun UUD terjadi perubahan sebagai berikut:
1. Kata “souvereigniteit” diganti menjadi “kedaulatan”.
2. Kata “Badan” diganti menjadi “Majelis”.
3. Rumusan Pasal 1 ayat (2) menjadi: “Kedaulatan adalah (“berada” diganti “adalah”) dan (“yang diganti “dan”) dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Pasal 1 yang terdiri dari 2 ayat menjadi Bab 1 dengan judul “Bentuk dan kedaulatan negara”.
4. Kata “Badan” di Pasal 18 dan 19 diganti menjadi “Majelis” dan pasal-pasal tersebut berubah menjadi Pasal 17 dan 18 karena Pasal 14 yang berbunyi “Presiden menetapkan pembikinan uang” dihilangkan.
5. Pasal 17 ditambah dengan ayat (3) yang berbunyi: “Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak”.
6. Pasal 17 dan 18 tetap tergabung di Bab VI bersama dengan pasal tentang DPR dengan judul “MPR dan DPR”.

Rancangan UUD 1945 kedua itu diajukan ke sidang pleno BPUPK pada 15 Juli 1945 dan pada 16 Juli 1945 terjadi pemisahan Pasal 17 dan 18 tentang MPR dari Bab VI menjadi Bab II dengan judul MPR sedangkan Pasal VI hanya berisi empat pasal tentang DPR. Rancangan ketiga UUD 1945 bertambah satu ayat yang berbunyi: “Segala putusan MPR ditetapkan dengan suara yang terbanyak”.

Rancangan ketiga BPUPK itulah yang diajukan ke sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 dan menjadi UUD 1945. Tidak ada perubahan redaksi dari rancangan BPUPK yang ketiga.
Kiranya perlu dikemukakan bahwa sebelum rancangan ketiga itu disetujui, telah terjadi perdebatan sengit mengenai kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Perdebatan itu berlangsung sampai larut malam dan setelah dicapai kompromi tidak ada waktu bagi Prof. Supomo untuk menjelaskan struktur pemerintahan yang meletakkan locus of sovereignty di MPR.

Perbandingan Lembaga Tertinggi di Inggris dan Indonesia
Lembaga Tertinggi di Inggris adalah parlemen. Sistem pemerintahan Inggris didasarkan pada dua asas pokok yaitu: Rule of Law dan Souvereignty of Parliament. Di Inggris, setiap undang-undang yang dibuat oleh parlemen (Act of Parliament) selalu dapat menghapuskan undang-undang sebelumnya. Act of Parliament selalu menjadi undang-undang yang tertinggi (supreme law of the land). Asas Lex posterior derogat legi priori selalu berlaku. Inggris tidak mempunyai UUD Tertulis.

MPR dapat dianggap lembaga tertinggi karena fungsinya adalah membuat atau mengubah UUD (supreme law of the land). Undang-undang, yang hirarkhi-nya di bawah UUD, dibuat oleh DPR, suatu lembaga legislatif yang “lebih rendah” daripada MPR dalam arti bila undang-undang yang dibuatnya tidak selaras dengan UUD maka akan terkena asas lex superiori derogat lex infiriori. Selain itu, MPR mempunyai kemampuan untuk membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi dengan cara membuat ketentuan baru yang dapat memberikan keputusan terakhir (final say). Demikian pula dalam masalah melengserkan presiden. Meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa presiden bersalah, tetapi keputusan akhir berada di MPR. Kata “sepenuhnya” dari kalimat “kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” artinya MPR yang mempunyai final say.

Di Inggris, supreme law of the land setiap waktu bisa berubah. Di Indonesia, menurut UUD 1945 yang asli, UUD (supreme law of the land) dapat diubah setiap lima tahun, bukan setiap waktu seperti di Inggris. Budaya politik di Inggris sudah mantap. Jadi, meskipun menurut ketentuan setiap waktu undang-undang bisa diubah tetapi rakyat Inggris memahami asas kepastian hukum yang menolak asas undang-undang setiap waktu bisa berubah jika parlemen memutuskannya.

Parlemen di Inggris terdiri dari tiga lembaga yaitu: raja/ratu (kepala negara), House of Lords dan House of Commons. Selain itu, kepala pemerintahan (perdana menteri) juga menjadi bagian dari parlemen. Artinya unsur eksekutif menjadi bagian dari parlemen.

Lembaga tertinggi Indonesia, MPR, tidak mengandung unsur eksekutif. MPR terdiri dari anggota-angota, bukan lembaga. Menurut UUD 1945 yang asli, MPR terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan. Setelah amendemen, terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).


Daftar Pustaka
Alrasid, Harun, 1982. Kuliah Hukum Tata Negara dari Prof. Mr. Djokosutono, Jakarta:Ghalia Indonesia.
_______, 2004. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali diubah oleh MPR, Jakarta, Universitas Indonesia Press.
Asshiddiqie, Jimly, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Tata Negara.
Bagehot, Walter, 1952. The English Constitution, London.
Barend, E,1998. An Introduction to Constitutional Law, London:Oxford University Press.
Berman,Larry, Bruce Allan Murphy, 1999. Approaching Democracy, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Burns, James MacGregor, J.W.Peltason, Thomas E.Cronin, 1989. Government By The People, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Corwin, Edward S., J.W.Peltason. 1967. Undestanding the Constitution, New York: Holt, Rinehart and Wilson.
Dicey, A.V. 1952. Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London: Macmillan.
Friedrich, Carl J. 1967. Constitutional Government and Democracy, Massachusets: Blaishdell Publishing Company.
Hague, Rod, Martin Harrop. 2001. Comparative Government and Politics, New York: PALGRAVE.
James, Simon. 1999. British Cabinet Government. New York: Ruthledge.
Jennings, Ivor. 1969. Parliament. London: Cambridge University Press.
_______, 1946. The Law and The Constitutions, London: University of London Press.
Kusuma, RMAB, 2004. Lahirnya UUD 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakulas Hukum Universitas Indonesia.
Lijphard, Arend, 1984. Democracies. New Haven:Yale University Press.
_______, 1999. Pattern of Democracies, New Haven: Yale University Press.
Lijphard, A. Ed. 1992. Parliamentary versus Presidential Government, Oxfod and New York: Oxford University Press.
Manuel, Paul Christofer, Anne Marie Camissa. Checks and Balances. Boulder, Colorado: Westview Press.
Nasution, A.B. 2001. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Padmo Wahjono. Ed. 1984. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sekretariat Negara, 1995. Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI. Jakarta.
Soepomo, R. 1950. Undang-Undang Dasar Sementara Sementara Republik Indonesia. Jakarta: Noordhoff- Kolff.
Strong, C.F. 1967. Modern Political Constitutions. London: Sidgwick & Jackson.
Sumantri, Sri, Bintan Saragih Eds. 1993. Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Yamin, M. 1959. Naskah Persiapan UUD 1945. Jakarta: Yayasan Prapantja.
_______, 1951. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Jambatan.

Oleh: R.M.A.B. Kusuma, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. sumber: Jurnal Konstitusi, Vol. 4 No. 2.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox