27 May 2008

Janji Presiden dan Masyarakat Pelupa

Oleh Laode Ida

Pernyataan mengingatkan dan sekaligus bergaya kampanye Jenderal TNI (Purn) Wiranto di berbagai media massa agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menepati janjinya untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak telah membuat pihak Istana merasa terusik.

Reaksi keras dan seolah lepas kontrol pun dilontarkan. Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, misalnya, tegas menyatakan bahwa Presiden tidak pernah berjanji untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), seraya menyerang balik Wiranto sebagai sangat tendensius. Namun, Wiranto bukan saja tak mau mundur, melainkan justru semakin bersemangat dengan mengeluarkan ”iklan baru” berupa imbauan terhadap Presiden SBY agar tidak menaikkan harga BBM dengan beberapa alasan.

Ternyata memang peringatan dan kritik Wiranto itu memiliki bukti kuat. Janji Presiden SBY untuk tidak menaikkan harga BBM ditemukan, baik dalam situs resmi Presiden maupun dari dokumen pemberitaan berbagai media massa.

Pertanyaannya, mengapa pihak Istana secara tergesa-gesa mengeluarkan bantahan terhadap pernyataan Wiranto dan sejumlah pihak itu?

Kredibilitas Presiden

Masalahnya tidak sederhana, sekadar melakukan pembelaan terhadap atasan. Mengapa? Pertama, terkait erat dengan kredibilitas Presiden SBY. Kata-kata, kalimat, atau pernyataan yang keluar dari mulut seorang pejabat, apalagi setingkat presiden, pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang sudah pasti dinantikan perwujudannya oleh rakyat. Oleh karena itu, seorang pejabat tidak boleh mudah dan boros mengeluarkan kata-kata manis berupa janji, juga akan menjadi ukuran apakah yang bersangkutan bertindak konsisten dan dapat dipercaya atau tidak.

Kedua, berkait dengan profesionalisme dan moralitas para pembantu presiden. Mereka yang berwenang untuk menyampaikan keterangan kepada publik seharusnya tetap menunjukkan keprofesionalannya berdasarkan data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena, kita semua percaya bahwa pihak Istana tidak kekurangan sumber data dan teknologi serta tenaga dan dana untuk mengumpulkan segala informasi yang terkait dengan kebijakan, termasuk pernyataan atau janji-janji pemerintah/presiden.

Para pembantu presiden, termasuk juru bicara, memang tak salah jika melakukan pembelaan terhadap pimpinannya. Namun, harus juga tidak disalah mengerti bahwa presiden bukan hanya merupakan atasan langsung mereka, melainkan sudah menjadi pemimpin semua lapisan masyarakat bangsa ini. Karena itulah, ia harus dilindungi dengan cara menghindarkannya untuk tidak disebut ”tak konsisten dengan janji-janjinya” atau ”bohong”.

Tepatnya, para pembantu seharusnya sekaligus juga bertindak sebagai penasihat yang bisa setiap saat dari dekat memberikan saran atau langsung mengingatkan presiden. Bukan seperti sekarang ini yang hanya menjadi ”juru bela”, padahal sesungguhnya sudah melakukan kebohongan kepada publik yang ganda.

Semua pihak memang memahami bahwa tensi politik sekarang ini sedang meninggi. Tensi politik seperti itu dipicu oleh para figur ataupun kelompok politik yang satu sama lain bersaing bahkan berlawanan. Utamanya, dalam menghadapi Pemilu Legislatif dan Presiden/Wapres 2009, setiap pihak berupaya menunjukkan diri bahwa mereka akan lebih baik memimpin bangsa ini ketimbang presiden atau pemerintahan yang sedang eksis.

Kendati demikian, perilaku para pembantu presiden seperti itu kemungkinan terkait dengan beberapa faktor. Pertama, terkait dengan watak atau budaya asal bos/bapak senang (ABS) penyelenggara birokrasi kita. Kedua, kemungkinan juga karena kita sudah telanjur menganggap bahwa masyarakat kita pelupa, memori sosial politik rakyat terhadap janji-janji pejabat tidak mampu lagi tertampung, apalagi problem yang dihadapi bangsa ini kian hari kian banyak dan rumit.

Ketiga, masyarakat kita juga dianggap berwatak pemaaf (permisif) sehingga, meskipun para pejabat atau pemimpin berbuat salah dan ingkar janji, toh, masyarakat akan dengan gampang memaafkannya. Makanya, tak perlu heran kalau pada akhirnya janji presiden untuk tidak menaikkan harga BBM tak ditepati juga tak dianggap sebagai dosa karena dianggap sebagai hal biasa saja. Para pejabat dan pemimpin bangsa ini bukan mustahil akan terus memanfaatkan watak masyarakat kita yang permisif ini.

Laode Ida Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah. Sumber: Kompas, 27 Mei 2008.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox