27 July 2009

Pilpres Putaran ke-2 (Kedua): Sebuah Keniscayaan?

Oleh Budi H. Wibowo

Pada 25 Juli 2009 (17 hari sejak pemungutan suara 8 Juli 2009) Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilhan umum (pemilu) presiden 2009. KPU menetapkan pasangan capres-cawapres SBY-Boediono sebagai pemenang yang memperoleh suara sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen. Disusul pasangan Mega-Prabowo dengan perolehan 32.548.105 suara (26,79 persen) dan JK-Wiranto yang berhasil mengumpulkan suara sebesar 15.081.814 atau 12,41 persen.


Berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilpres sebanyak 176.367.056 pemilih, jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan DPT Pemilu Legislatif yaitu sebesar 171.265.442, atau terdapat selisih sebesar 5.101.614 pemilih (lihat KPU). Dari jumlah itu, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sejumlah 121.504.481 (suara sah hasil pilpres dari ketiga pasangan capres-cawapres). Jika mendasarkan pada jumlah DPT yang ada dengan jumlah hasil suara pasangan capres-cawapres tersebut maka terdapat sebanyak 54.462.575 atau 31,11 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput (golongan putih).

Kisruh DPT dan Potensi Sengketa
Mencermati pengumuman hasil KPU pada 25 Juli lalu terlihat bahwa satu pasangan capres-cawapres yaitu Mega-Prabowo yang tidak hadir dalam acara tersebut. Alih-alih menyebutkan bahwa ketidakhadiran pasangan tersebut ada kaitannya dengan DPT yang dipersoalkan. Mengapa DPT dipersoalkan, mungkin itu pertanyaan yang perlu kita perhatikan. Dan alasan apa yang ada di balik ketidakhadiran pasangan itu? Apakah hasil rekapitulasi KPU terhadap pilpres akan disengketakan oleh mereka?

Beberapa pertanyaan mendasar ini patut kita lihat signifikansinya bagi keberlanjutan pilpres yang mungkin saja bakal digelar untuk tahap yang kedua. Jika benar terdapat pasangan capres-cawapres yang akan mengajukan sengeka hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi, maka pemungutan suara pilpres tahap kedua bisa dilakukan? Tentunya kita harus melihat aturan dan mekanisme yang ada.

Pasal 201 ayat (2) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) menyebutkan bahwa “Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan Calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Adapun yang menentukan terpilihnya capres-cawapres didasarkan pada Pasal 159 UU a quo, terutama ayat (1) yang menyebutkan, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.

Apabila merujuk pada ketentuan di atas maka dimungkinkan pasangan capres-cawapres yang akan mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi bakal menemui kesulitan jika yang dijadikan “alasan” adalah persoalan DPT. Akan berbeda ceritanya bila yang menjadi sengketa adalah persoalan adanya kesalahan rekapitulasi penghitungan mulai tingkat TPS sampai provinsi. Kesalahan yang dimaksud adalah terdapatnya perbedaan rekapitulasi yang didukung dengan bukti-bukti mulai dari formulir C1, C2 plano, dan lain-lain, termasuk jika mungkin disinyalir terjadi pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistemik, dan massif.

Pilpres Putaran ke-2
Melihat kemungkinan perkara yang akan diajukan oleh salah satu atau dua pasangan capres-cawapres ke Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pemilu presiden dan apabila diasumsikan perkara yang diajukan mempermasalahkan kesalahan rekapitulasi maka adalah sebuah keniscayaan untuk menggelar pilpres putaran kedua. Hal ini berdasarkan asumsi jika permohonan perkara yang diajukan memang dapat terbukti dan turut mempengaruhi secara signifikan terhadap perolehan hasil suara pasangan SBY-Boediono terutama terkait dengan 20% suara di setiap provinsi.

Jika hal ini terjadi maka Pasal 159 ayat (2) UU Pilpres dapat diterapkan. Adapun bunyi dari ayat (2), “Dalam hal tidak ada Pasangan Calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 2 (dua) Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Artinya bahwa jika perkara yang diajukan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan mempengaruhi perolehan suara pasangan SBY-Boediono di 20% provinsi maka meksipun memperoleh lebih dari 50% dari jumlah suara yang ada akan tetapi tidak memenuhi syarat seperti dimaksud pada ayat (2).

Menilik pada hasil rekapitulasi suara KPU, pasangan nomor urut 2 hanya kalah di 4 (empat) provinsi atau 12,12 persen dari 33 provinsi yang ada (lihat KPU). Artinya bahwa untuk capres-cawapres nomor urut 2 sudah lebih dari setengah jumlah provinsi. Dan dari 4 provinsi itu, pasangan SBY-Boediono –meskipun kalah— berhasil meraup suara lebih dari 20% (Bali 43,03%; Sulawesi Tenggara 45,61%; Sulawesi Selatan 31,62%, dan Maluku Utara 38,94%).

Terlepas dari semua itu, mari kita serahkan penyelesaikan sengketa pilpres ini kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang akan diajukan. Semoga Mahkamah Konstitusi dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya demi kemajuan demokrasi di Indonesia. Wallahu’alam.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox