17 October 2006

Israel - Palestina


Keharusan Perdamaian Israel-Palestina (?)
Budi Hari Wibowo

Bebasnya Yaser Arafat, setelah 34 hari dari kepungan Israel, (Kompas, 3 Mei 2002), dapat menjadi momentum sebagai entry point menuju keadaan damai tanpa konflik kembali. Dan nampaknya, harapan ini tidak semata cita-cita rakyat mereka saja, tapi juga dunia, sebab kita sudah lelah dengan berbagai konflik dan perang yang telah memakan korban jiwa, materi dan peradaban serta menyisakan derita berkepanjangan.
Posisi Israel dan Palestina bisa dikategorikan termasuk kawasan Timur Tengah (timteng). Selama ini, wilayah tersebut dikenal sebagai daerah penuh konflik. Namun, selain potensi konflik, sebetulnya timteng juga memiliki keunggulan lain, diantaranya minyak.Predikatnya sebagai surga minyak pantas disandang. Hal ini, menjadikan kawasan tersebut penting dalam konstelasi global. Seperti yang terjadi ketika krisis minyak melanda Eropa sebelum perang dunia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika timteng menjadi “rebutan” banyak negara.
Konflik Israel-Palestina
Konflik berkelanjutan yang melanda kedua negara itu, sejak lama belum menemukan jalan tepat untuk menciptakan situasi damai yang konsisten. Meski, telah beberapa kali konflik antar keduanya seringkali ada masa jedah (tunggu) dari konflik-konflik berikutnya. Namun, kembali berakhir pada tersulutnya konflik hingga mencapai eskalasi yang baru saja masuk dalam fase de-eskalasi.
Dalam melihat persoalan konflik itu, Holsti (1992) menawarkan, 4 komponen untuk mengkajinya, yaitu (1) negara yang terlibat dalam konflik; (2) bidang masalah; (3) sikap pemerintah, dan; (4) tindakan pemerintah.
Konflik tersebut, pertama, melibatkan bukan hanya dua negara saja, tapi sudah mengikut-sertakan banyak negara. Terutama negara-negara yang memiliki kepentingan di kedua negara itu. Amerika, salah satu negara yang sangat berkepentingan, sebab menyangkut strategi pertahanannya di kawasan timteng. Israel adalah buffer area Amerika untuk membatasi dan memonitor gerak negara-negara di sana.
Kedua, masalah yang melatar-belakangi konflik itu, tampaknya bukan hanya persoalan daerah kekuasaan saja, namun ternyata, faktor agama adalah substansi dari konflik tersebut. Israel dengan Yahudi-nya, dan Palestina yang menganut Islam, masing-masing dipengaruhi sentimen agama. Padahal, kedua agama itu adalah sama-sama agama monoteis. Persoalan ketiga, bahwa sikap masing-masing pemerintah Israel maupun Palestina, saling “ngotot” terhadap keinginannya. Israel bersikeras agar Palestina tidak mendapatkan daerah di wilayah yang sudah dikuasainya. Sedangkan, Palestina tetap memperebutkan wilayah yang diklaim adalah bagiannya.
Ketiga faktor itu, ternyata diperparah lagi dengan faktor keempat, yaitu bentuk tindakan pemerintah kedua negara itu. Puncak kejengkelan Israel terimplementasi dengan tindakan agresi mereka terhadap Palestina, sebaliknya, Palestina terus melakukan perlawanan, meski dengan bersenjatakan batu dan aksi bom bunuh diri.
Di samping empat faktor di atas, tampaknya tindakan Israel menyerbu Palestina, didorong dengan adanya resolusi dewan keamanan PBB 1368 dan 1373 yang menyerukan perang terhadap terorisme. Hal ini, menjadi “senjata” Israel mengusir Palestina, sebab gerakan rakyat Palestina selama ini, dianggap mengancam keamanan nasional dan tergolong gerakan teroris.
Upaya Perdamaian
“Perdamaian”, kata yang sepertinya mustahil dinikmati dan dirasakan bagi kedua negara itu, dan mungkin masyarakat dunia. Meski demikian, tidak menghentikan upaya setiap anak manusia untuk mewujudkannya. Kasus Israel-Palestina, menuntut peran aktif semua aktor internasional menggelar perdamaian di sana, sebab hal itu, paralel terhadap stabilitas dan keamanan internasional.
Dan tepat kiranya, bila model penyelesaian konflik Israel-Palestina didekati dengan usulan Kriesberg (1998), dengan melihat adanya variasi-variasi beragam tahapan konflik: variasi suatu konflik dapat dilihat dari (1) karakteristik pihak yang bertikai, (2) hubungan antara pihak bertikai, (3) konteks sosial konflik, (4) sarana dan hasil konflik.
Bila ditinjau dari karakter -seperti telah diungkap sebelumnya- keduanya saling “bersikeras” bertahan dengan keinginan masing-masing, ini dapat diasumsikan sebagai karakter dasar mereka, dan bahwa hubungan antara mereka, jika dilihat asalnya adalah sama-sama bangsa timteng dari nenek moyang yang sama, terlepas apakah mereka dibedakan oleh keyakinan.
Sedangkan, dari konteks sosial masyarakat kedua negara itu, mesti dikaitkan dengan institusi budayanya. Sebagaimana dikatakan Nawawy (dalam Online Journal of Peace and Conflict Resolution, summer 2001), konflik yang terjadi di timteng tidak terbatas karena faktor politik dan wilayah saja, tapi juga faktor perbedaan budaya antara Arab dan Israel. Hal ini, mempengaruhi politik di timteng, tetapi dikatakannya juga, bahwa budaya adalah kunci penyelesaian konflik di sana.
Budaya sebagai pendekatan bagi penyelesaian konflik sangat mungkin dilakukan, mengingat bahwa Palestina yang identik dengan Islam dan Israel dengan Yahudi-nya adalah sama-sama mempercayai sebuah the way of life. Seperti diungkap Karen Amstrong (2000) dalam bukunya The Battle for God, bahwa tiga agama monoteis yaitu Yahudi, Kristen dan Islam sama-sama mengakui adanya Tuhan dan Rasul, dan menuntun ummatnya melalui sebuah kitab suci masing-masing.
Sejak konflik keduanya berkecamuk, seringkali sarana yang menyangkut kondisi konflik ternyata, berakibat jatuhnya korban jiwa, kehilangan materi, trauma, serta balas dendam. Semua itu, yang dirugikan bukanlah pemerintah, melainkan rakyat. Di samping itu, hasil dari konflik, tidak pernah dirasakan oleh rakyat secara positif -daerah yang dijanjikan, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian- sebaliknya malah menyengsarakan.
Empat hal di atas, dapat dipastikan akan kita saksikan terus, bila tidak ada upaya mereka secara bersama untuk menghentikan. Dan bahwa, setiap konflik yang ada tidak harus diselesaikan lewat penggunaan kekuatan senjata, namun, bisa dengan jalan lain, termasuk diplomasi, meski tidak menjamin hilangnya konflik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana konflik itu dikelola.
Oleh karena itu, untuk kasus Israel-Palestina perlu melihat pertama, bahwa perbedaan di antara mereka, bukan berarti penghambat, tetapi seharusnya dijadikan faktor penyelesai konflik. Misalnya agama, meski, ajarannya tidak sama, namun, memiliki dasar filosofi yang bisa ketemu, saling mengakui adanya Tuhan dan percaya bahwa agama diturunkan bagi terciptanya kehidupan yang lebih baik.
Kedua, biasanya, ketika terjadi konflik maka, pihak yang bertikai akan sulit bertemu, oleh karena itu, dibutuhkan pihak ketiga sebagai mediator. Seperti halnya yang dilakukan Amerika, meski, sudah beberapa kali menfasilitasi Israel-Palestina, tapi tetap belum berhasil meredam munculnya konflik kembali. Sehingga, nampaknya mendesak mencari model mediasi lain, misal dengan pihak yang lebih netral, karena mungkin selama ini mediator yang ada dianggap berat sebelah.
Ketiga, selain internal mereka, patut dicermati juga masalah eksternal yang berkembang, seperti: intervensi negara lain, organisasi internasional, ketidak-adilan struktur global, hubungan industri dan lainnya. Hal ini bisa berakibat positif, sekaligus negatif, jika tidak ada kearifan aktor-aktor internasional dalam konstelasi yang melibatkan kedua negara itu.
Tampaknya, kita hanya bisa berharap, ada kejernihan melihat dan memahami untuk menyikapi konflik Israel-Palestina, mungkin dengan “berkaca” pada budaya keduanya sebagai bangsa timteng secara keseluruhan, tidak parsial. Kebesaran hati mereka mutlak dibutuhkan, agar tidak ada yang merasa menang atau kalah, tapi saling memperlakukan dan menghargai satu sama lain.*** (dapat dilihat juga di http://www.dephan.go.id/modules.php?name=Feedback&op=printpage&opid=1 tanggal 24 Mei 2002).

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox