17 October 2006

Terorisme

Terorisme, Makhluk Apa (?): Potret Kegagalan Tata Dunia Baru
Budi Hari Wibowo

Pasang surut politik nternasional, terutama pada periode perang dunia II sampai pasca perang dingin, lebih banyak dipengaruhi oleh isu-isu konvensional dan lebih pada tarik-menarik kepentingan deologis antara AS sebagai kiblat ideologi kapitalis dengan Uni Soviet yang berhaluan komunis.

Selama masa perang dunia II, ketika Jerman dan Jepang menjadi musuh bersama, hubungan Uni Soviet dan AS dapat dikatakan akrab. Hal itu ditunjukkan dengan keterlibatan mereka dibantu Inggris memerangi Jerman, serta adanya kesepatakan antara Stalin, Roosevelt, Churchill, mengenai konfigurasi Eropa pasca perang yang dibuat pada bulan Februari 1945 di Yalta.

Namun, keharmonisan itu hanyalah sementara, ketika keserakahan Stalin yang berniat mencaplok Eropa Barat akhirnya membuat AS terpaksa mengeluarkan ancaman berupa penggunaan senjata nuklir. Demikianlah, perang dingin antara AS dan Soviet dimulai.

Dunia mulai melihat masa depan yang lebih baik saat perang dingin usai, ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin tahun 1989 dan bubarnya Soviet awal tahun 1992, yang kemudian diikuti terbentuknya Uni Moneter dan Ekonomi di Eropa tahun 1991 melalui perjanjian Moostricht. Rentetan sejarah itu tidak lepas dari peran AS yang turut menorehkan catatan penting dalam sebuah pengaturan sistem dunia.

Oleh karena itu, AS segera setelah perang dingin berakhir, terus melancarkan program-programnya, seperti liberalisasi ekonomi dunia, demokratisasi, hak-hak asasi manusia, dan isu non-konvensional lainnya, termasuk terorisme.

Isu Terorisme Global
Istilah "terorisme" mulai digunakan pada akhir abad ke-18, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat (Charles Thomas, International Terorism and Political Crimes, 1975).

Konsep ini, pendeknya, cukup menguntungkan bagi para pelaku terorisme negara yang karena memegang kekuasaan, berada dalam posisi mengontrol sistem pikiran dan perasaan. Dengan demikian, arti aslinya terlupakan, dan istilah "terorisme" lalu diterapkan terutama untuk "terorisme pembalasan" oleh individu atau kelompok-kelompok.

Meski, perang terhadap terorisme sempat memunculkan pro dan kontra di organisasi internasional, seperti PBB dan juga di masing-masing negara yang mau tidak mau meratifikasi ke dalam undang-undang internalnya, namun, sebagian besar negara-negara menyambut hangat dalam bentuk dukungan.

Perang melawan terorisme global, telah mendapat sambutan luar biasa. Di tingkat diplomasi, contohnya, telah ditandatangani resolusi dewan keamanan PBB 1368 dan 1373, yang mewajibkan ke-189 anggotanya untuk mengakhiri semua aksi teroris dan bantuan terhadap teroris, serta membawa pelaku teror untuk diadili.

Collin Powell, Menlu AS, mengatakan tidak ada yang lebih penting daripada resolusi perintis tersebut, teroris tanpa sumber dana dan perlindungan, akhirnya sama dengan menghadapi jalan buntu. Sebaliknya, Brian Becker, aktivis International Answer (Act Now to End War and Racism) menyerukan, "perang bukanlah jawaban, karena serangan 11 September bukan serangan perang, melainkan telah terjadi eskalasi dalam lingkaran kekerasan".

Kehancuran WTC adalah sebuah kritik keras atas wacana hegemonik yang dikembangkan dalam periode yang panjang, sekaligus penegasan ulang bahwa penindasan, apa pun bentuknya, harus dihentikan. Dengan ini, banyak negara, khususnya negara dunia ketiga mendeklarasikan kekecewaan bernada gugatan terhadap timpangnya tatanan yang gagal menjawab berbagai soal kemanusiaan. Kapitalisme --saudara kembar liberalisme-- pun ikut menghadapi tantangan yang sama atas persoalan yang tengah dihadapi umat manusia.

Tesis Francis Fukuyama mendapatkan peninjauan ulang dalam dialektika gagasan. Simbiosis kapitalisme dengan demokrasi tidak semata-mata mengindikasikan kegagalannya sebagai the end of history, tetapi sekaligus merekonstruksi paham yang selama ini berkembang dalam tatanan dunia global.

Dalam banyak segi, tragedi kemanusiaan --baik yang jatuh akibat penyerangan WTC maupun akibat ketidakadilan global-- akan mengubah banyak hal. Bukan sekadar mempertanyakan ulang pemahaman yang telah telanjur baku sebelumnya, tetapi lalu menuntun umat manusia mencari bentuk baru yang lebih mampu memenuhi rasa keadilan umat manusia.

Karena itu, tantangan terbesar bagi Pemerintah AS kini bukanlah melampiaskan kemarahannya secara emosional. Selain tidak sesuai dengan watak yang selama ini diklaimnya, rasional, hal itu juga tidak mencerminkan watak reflektif atas musibah yang baru terjadi. Selain itu, AS kini dihadapkan pada musuh yang tidak memiliki wilayah (teritory) tetapi bersifat internasional.

Indonesia - Amerika
Indonesia saat ini berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara bangsa (nation state) lemah yang bergerak menuju negara bangsa yang gagal, seperti yang diungkap oleh Robert I. Rotberg (Kompas, 28 Maret 2002). Pernyataan ini bukan tanpa dasar dan analisa pada kenyataan yang dihadapi Indonesia saat ini. Sebagaimana diketahui bahwa krisis berkepanjangan telah memaksa itu terjadi.

Pergantian kepemimpinan nasional ternyata bukan jaminan ke arah perubahan yang lebih baik, sebab, menjadi catatan bahwa faktor lain juga ikut andil dalam berhasil atau tidak Indonesia mengatasi masalah. Di antara persoalan itu, seperti isu dis-integrasi bangsa, hal ini ditunjukkan dengan konflik di daerah-daerah yang belum tuntas; penegakan hukum yang ambivalen; pemberantasan KKN yang setengah hati; dan upaya perbaikan ekonomi yang belum menandakan keberhasilan.

Di samping itu, pengaruh tekanan pihak luar negeri terhadap kebijakan Indonesia terasa semakin memberatkan di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, perdagangan, bahkan militer.

AS sebagai motor penggerak memposisikan diri untuk mengawal kawasan Trans-Atlantik (Amerika Utara dan Eropa Barat), khususnya dimensi politik dan militer. Kemudian RRC dan Jepang sebagai lokomotif di kawasan Asia Pasifik pada bidang ekonomi perdagangan. Dan Inggris sebagai simbol pemersatu Uni Eropa, meski tidak menggunakan Euro sebagai mata uangnya.

Bila multipolarisasi di atas yang terbentuk, maka pertanyaannya, di mana posisi dan sebagai apa negara-negara berkembang (Indonesia) yang notabene jumlahnya lebih banyak dari negara berkategori maju?

Untuk menjawabnya dibutuhkan instrumen sebagai indikator mengukurnya. Pertama, berdasar tingkat income per kapita. Indonesia jelas masih jauh dari standar pendapatan rata-rata dunia, di samping hutang yang begitu besar. Kedua, iklim demokratisasi yang masih jauh dari baik. Hal ini ditunjukkan masih kuatnya dominasi negara di semua sisi; politik, ekonomi, HAM, militer dan hukum. Ketiga, yang lebih spesifik, yaitu tidak jelasnya konsep politik luar negeri Indonesia. Bebas-aktif sebagai model pilihan, menghambat Indonesia untuk melakukan aliansi strategis dengan negara-negara tertentu.

Yang disebut terakhir, menjadi menarik, ketika dikaitkan dengan konsep new world order ala Amerika. Meski Mega terbukti telah mendapat dukungan Bush yunior, khususnya bagi proyek perang terhadap terorisme global, serta semakin baiknya hubungan Indonesia-RRC dengan kunjungannya, tidak serta merta membawa Indonesia pada wilayah aman. Namun sebaliknya, hal ini menimbulkan prasangka negatif Amerika "Mega menggunakan gaya politik bapaknya (baca: Soekarno)" walaupun dianggap strategis dalam perspektif Indonesia.

Oleh karena itu, mesti dilakukan re-interpretasi model politik luar negeri Indonesia, untuk menyakinkan dunia perihal posisi dan sikap Indonesia. Dan itu tidak cukup meski dengan dibuatnya UU pemberatasan terorisme saja.

New World Dis-order
Global grand design yang dirancang AS, menempatkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia sebagai negara komponen pendukung bagi kepentingannya. Hal ini paralel dengan konfigurasi multipolarisasi. Namun, sebetulnya sekilas tampak ambigu, sebab, AS lebih menginginkan model uni-polar.

Hasrat menjadi hegemon tunggal, tampak semenjak perang dingin berakhir. Ini juga dapat dilihat dari beberapa peristiwa seperti perang Vietnam, perang Teluk (Iraq-Amerika), dan terakhir perang Afghanistan. Dominasi AS dalam organisasi-organisasi internasional, misalnya PBB begitu kental, dengan memaksa dewan keamanan mengeluarkan resolusinya untuk memerangi terorisme.

Gencarnya kampanye perang melawan terorisme global, mendesak setiap negara untuk menyatakan dukungannya, bahkan RRC sekalipun, demi kepentingan pasar, akhirnya memberi restu, demikian pula Rusia, memastikan di belakang Amerika, karena hubungan yang mulai baik antara keduanya.

Mencermati perkembangan dan perubahan yang terjadi, bisa dikatakan bahwa konsep balance of power yang ingin dibangun pasca perang dingin mengalami dis-orientasi, sebab kenyataannya, AS menjadi satu-satunya kekuatan tak tertandingi sampai kini. Di samping itu, beredar pula asumsi bahwa, kondisi dunia saat ini tidak sesuai dengan obsesi AS, sebab telah keluar dari prinsip utama AS untuk melindungi semua kepentingan nasionalnya dan mempertahankan AS sebagai pemimpin dunia.

Warren Christopher dalam tulisannya "America's Leadership, America's Oppurtunity" (Jurnal Foreign Policy No. 95, Spring 1995) mengungkapkan, ada 4 prinsip utama politik luar negeri AS pasca perang dingin. Pertama, mempertahankan kepemimpinan global AS di bidang politik, keamanan dan ekonomi. Prinsip ini adalah yang terpenting dalam upaya membentuk tata dunia baru yang lebih baik.

Kedua, mempertahankan pola interaksi yang konstruktif dengan negara kuat lainnya, di kawasan Eropa, Asia Pasifik, Timur Tengah dan Amerika Latin, khususnya bagi kepentingan ekonomi AS. Ketiga, memperkuat institusi-institusi internasional sebagai mekanisme penyelesaian konflik internasional secara damai, dan keempat, mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi ke seluruh dunia sebagai prasyarat utama terciptanya perdamaian internasional.

Program besaran itu dapat diterjemahkan sebagai strategi politik luar negeri AS. Dalam arti luas, strategi politik luar negeri menurut Lovell (1975) adalah rencana dari suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional dengan mencegah aktor negara lain dalam meraih kepentingan tersebut.

Hal ini menjadi relevan, ketika muncul negara-negara "pembelot", sebut saja seperti Iraq dan Korea Utara, yang menentang setiap kebijakan AS. Belum lagi, negara-negara yang secara diam-diam dan pragmatis memanfaatkan AS. Semua itu, menjadi pertimbangan serius bagi AS, untuk mengklasifikasi negara-negara tersebut; musuh, setengah musuh setengah kawan, atau kawan.

Bila penilaian AS, bahwa konstelasi dunia saat ini lebih tidak menguntungkan bagi masa depan keberlangsungannya sebagai pemimpin dunia, maka lambat laun tapi pasti, AS akan melancarkan aksi berikutnya untuk merevolusi dunia. Sebab, AS cenderung menganggap tata dunia yang diinginkan telah gagal, dan menjadi sebuah keniscayaan bahwa isu terorisme sebagai angle yang tepat untuk melakukan itu. (tulisan bisa dilihat juga di http://www.dephan.go.id/modules.php?name=Sections&op=printpage&artid=36)

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox