17 October 2006

Resensi Buku


Judul : Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara
Penulis : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Tebal : xii + 272 halaman
Penerbit : Konstitusi Press, Oktober 2005

SENGKETA LEMBAGA NEGARA (?)
Oleh: Budi H. Wibowo

Ketika pertama kali melihat sampul buku ini terpampang kata ‘sengketa’. Sekonyong-konyong orang dapat menginterpretasikan makna sengketa yang berarti ‘negatif’. Akan tetapi bila kita coba membukanya lembar per lembar ternyata isi buku tersebut tidak lain membahas masalah penegakan hukum (law enforcement) bagi penyelesaian suatu sengketa yang merupakan hal penting untuk diperhatikan. Apalagi bila dikaitkan dengan konstitusi yang memang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum [Pasal 1 ayat (3) UUD 1945].

Belum lama ini sejumlah 31 orang hakim agung dari Mahkamah Agung mengajukan permohonan pengujian undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. Judicial review terhadap UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman diajukan karena dianggap oleh pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Upaya penyelesaian sengketa antara MA dan KY ini sedianya akan diputus oleh MK sehingga diharapkan tidak terus berlarut-larut dan pada akhirnya dapat menjadi masalah laten.


Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang baru berdiri tahun 2003. Pembentukannya yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil perubahan yang kemudian dituangkan melalui UU Nomor 24 Tahun 2003 ini termasuk lembaga yang kehadirannya memberi nuansa baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Meski masih berusia tiga tahun, MK telah cukup membuktikan kiprahnya dalam mengawal konstitusi.


Salah satu wewenangnya adalah menyelesaikan sengketa antarlembaga negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk..., memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,...”.


Buku yang diberi judul Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara yang ditulis oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. yang juga adalah Ketua Mahkamah Konstitusi ini tidak berlebihan bila disebut sebagai buku pertama yang membahas hal sengketa kewenangan antarlembaga negara. Menurut penulis buku, saat ini lembaga negara yang secara eksplisit ataupun implisit diatur keberadaannya dalam UUD 1945 sebanyak lebih dari 28 organ, jabatan, instansi atau lembaga. Selain itu, penulis juga menambahkan bahwa dari jumlah tersebut keberadaan dan kewenangan yang ditentukan secara tegas dalam UUD 1945 sejumlah 23 organ atau 24 subyek jabatan.


Ke-24 organ, jabatan, instansi atau lembaga yang dimaksud yaitu Presiden dan Wakil Presiden; Dewan Perwakilan Rakyat; Dewan Perwakilan Daerah; Majelis Permusyawaratan Rakyat; Mahkamah Konstitusi; Mahkamah Agung; Badan Pemeriksa Keuangan; Menteri dan Kementerian Negara; Tentara Nasional Indonesia; Kepolisian Negara Republik Indonesia; Komisi Yudisial; Komisi Penyelenggaran Pemilu; Dewan Pertimbangan Presiden; Pemerintahan Daerah Provinsi; Gubernur Kepala Pemerintahan Daerah; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi; Pemerintahan Daerah Kabupaten; Bupati Kepala Pemerintahan Daerah Kabupaten; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemerintahan Daerah Kota; Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota; dan Satuan Pemda Khusus/Istimewa.

Di samping itu, menurut penulis empat organ yang tidak secara tegas ditentukan yaitu bank sentral, duta, konsul dan badan-badan lain yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (hal. 54). Selanjutnya, pada bab ketiga penulis secara apik mencoba membahas satu persatu lembaga yang menurutnya termasuk dikategorikan sebagai lembaga negara.


Buku setebal xii + 272 halaman ini selain memuat secara teoritis soal eksistensi yang disebut sebagai lembaga negara juga memuat contoh-contoh ketika ada lembaga negara yang bersengketa. Salah satu yang dicontohkan penulis adalah saat pemerintahan Presiden Aburrahman Wahid di mana lembaga kepresidenan berselisih dengan Dewan Per­wakilan Rakyat dan MA ketika akan mengangkat Wakil Ketua MA.


Sengketa antarlembaga negara seperti halnya yang terjadi di zaman Gus Dur menurut penulis dapat diselesaikan dengan adanya Mahkamah Konstitusi. Karena memang saat itu MK masih belum terbentuk sehingga sengketa yang terjadi ngambang (baca: tak terselesaikan) dalam konteks hukum tata negara yang seharusnya dapat diperkarakan. Oleh karena itu, betapa bahwa keberadaan MK merupakan kunci perbaikan kehidupan bernegara khususnya dalam mengatur dan mengonsolidasikan lembaga-lembaga negara yang ada saat ini. Sehingga ke depan persengketaan tersebut dapat dikelola dengan baik.


Pengetahuan para pembaca juga bakal diperkaya dengan adanya bab yang membahas bagaimana beracara di MK, khususnya terkait dengan sengketa kewenangan antarlembaga negara.


Pada akhirnya, yang dapat dijadikan catatan dari buku ini bahwa definisi lembaga negara sebetulnya tidak pernah secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 bahkan dalam UU No. 24/2003 tentang MK yang semestinya memuat definisi lembaga negara sehingga multi tafsir terhadap ‘lembaga negara’ tidak sampai muncul. Upaya Prof. Jimly dengan menyusun buku ini patut diapresiasi sebab dengan demikian multi tafsir batasan yang disebut sebagai lembaga negara dapat terakomodasi untuk sementara waktu.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox