13 December 2006

ISLAM DAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

ISLAM DAN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL[1]

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.[2]

Salah satu agenda nasional yang sejak masa sebelum reformasi hingga saat ini banyak didengungkan adalah pembangunan hukum nasional, yang pasca era reformasi banyak disebut dengan istilah reformasi hukum nasional. Sebelum reformasi, pembangunan hukum nasional ditujukan terutama untuk melakukan perubahan berbagai aturan hukum produk kolonial yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan pembangunan. Sedangkan pada era reformasi, kebutuhan untuk melakukan reformasi hukum semakin kuat dengan adanya perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mencakup berbagai aspek sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, terutama demokratisasi dan perlindungan terhadap hak aqasasi manusia. Kebutuhan tersebut semakin mendesak demi terwujudnya konsolidasi hukum sebagai suatu sistem yang banyak dilupakan karena euforia reformasi nasional.

Pembangunan hukum nasional tidak berada dalam ruang kosong. Paling tidak terdapat tiga lingkungan strategis yang mempengaruhinya, yaitu lingkungan internasional, lingkungan nasional, dan tuntutan lokal. Dalam tata pergaulan dunia, bangsa Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan dan tuntutan internasional, misalnya untuk masalah-masalah demokratisasi, perlindungan HAM, lingkungan hidup, dan perkembangan ekonomi perdagangan internasional. Dalam lingkungan nasional, pembangunan hukum nasional tentu harus dilakukan secara koheren dengan politik hukum sesuai dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Selain itu, pembangunan hukum nasional juga dipengaruhi dan harus memperhatikan tuntutan dan kepentingan masyarakat lokal.

Sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhi pembangunan hukum tersebut, materi hukum dapat disusun dan dibuat dengan mengambil dari nilai-nilai internasional yang bersifat universal, dan juga nilai-nilai masyarakat, baik itu nilai budaya maupun nilai agama. Bahkan, agar dapat benar-benar berlaku secara efektif, hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.

Nilai agama, adalah nilai yang sangat kuat dipegang dan dipatuhi oleh bangsa Indonesia. Karena masyarakat Indonesia mayoritas memeluk agama Islam, maka sudah lazim jika Islam memiliki peran dan posisi tersendiri dalam pembangunan hukum nasional. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan tersebut terlebih dahulu tentu harus didudukkan secara tepat bagaimana hubungan antara agama dengan negara di Indonesia.

Hubungan Negara dan Agama

Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasa memiliki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman pemaknaan terhadap agama dan negara itu sendiri. Ada suatu masa di mana negara sangat dekat dengan agama atau bahkan menjadi negara agama. Di saat lain, terdapat pula masa-masa agama mengalami ketegangan dengan negara.

Puncak hubungan antara negara dan agama terjadi ketika konsepsi Kedaulatan Tuhan dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam diri Raja. Kedaulatan Tuhan (theocracy) dan Kedaulatan Raja berhimpit satu sama lain sehingga kekuasaan raja adalah absolut yang mengungkung peradaban manusia pada abad pertengahan.[3] Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekularisme yang berusaha memisahkan institusi negara dari institusi agama, antara negara dan gereja. Namun upaya sekularisasi tersebut hingga saat ini masih dihadapkan pada permasalahan-permasalahan krusial hubungan negara dan agama.

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa wilayah kehidupan keagamaan dan wilayah kenegaraan memang dapat dan mudah dibedakan satu sama lain, namun tidak mudah untuk dipisahkan. Penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja telah melahirkan pemerintahan absolut dan menyebabkan terjadinya kezaliman yang tidak berperikemanusiaan. Dalam dunia Islam, konsep yang merupakan penyatuan antara kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan Raja terjadi pada saat; (i) konsep Khalifah al-Rasul yang rasional dan demokratis dimanipulasikan maknanya sehingga tunduk pada warisan sistem feodal tradisi kerajaan yang bersifat turun-temurun, dan (ii) ketika perkataan “Khalifah al-Rasul” sebagai konsep politik disalahpahami dan dicampuradukkan pengertiannya dengan perkataan “Khalifah Allah” sebagai konsep filosofis.[4]

Walaupun gerakan sekularisasi telah muncul bersamaan dengan masa pencerahan (renaissance), namun hingga saat ini pemisahan urusan agama dan soal-soal kenegaraan secara empiris benar-benar dapat dipisahkan. Sebab utamanya adalah para pengelola negara adalah manusia biasa yang terikat pada beberapa norma yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma agama.[5]

Negara dan agama, bahkan di negara sekuler sekalipun, tidak dapat dipisahkan begitu saja. Sebabnya ialah para pengelola negara adalah juga manusia bia­sa yang juga terikat dalam berbagai macam norma yang hi­dup dalam masyarakat, termasuk juga norma agama. Misal­nya, meskipun negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda adalah negara yang dipermaklumkan sebagai negara sekuler, tetapi banyak kasus menunjukkan bahwa keterlibatannya dalam urusan keaga­ma­an terus berlangsung dalam sejarah.

Di satu segi, nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh pribadi para penyelenggara negara turut mempengaruhi ma­teri dan proses pengambilan keputusan di tingkat kene­ga­ra­an. Misalnya, Presiden George W. Bush ketika bereaksi terhadap peristiwa yang menimpa gedung kembar World Trade Center tanggal 11 September 2001, tanpa sadar mengaitkan upaya memerangi tero­risme di balik peristiwa itu dengan perkataan “the second crusade” (pe­rang suci kedua) setelah perang suci pertama yang dike­nal dalam catatan sejarah di masa lampau antara kaum Mus­li­min dengan bang­sa-bangsa Eropa yang beraga­ma Nasrani.

Di pihak lain, negara dan kebijakan pemerintahan mo­dern dalam sejarah juga tidak dapat melepaskan sama sekali keterikatan dan inter­ven­sinya ke dalam urusan-urusan kea­ga­­maan. Bahkan dalam masya­rakat Amerika sekalipun yang diklaim sebagai masyarakat paling bebas dan paling demo­kratis, justru kegiatan kenegaraannya dapat dianggap paling dekat dan paling mencerminkan nilai-nilai ke­agamaan yang dianut penduduknya. Alexis de Toc­queville dalam buku Democracy in America, meng­gam­barkan bagaimana pengaruh agama sangat penting dalam politik Amerika, jauh lebih substantif dan bahkan sangat berbeda dari apa yang dilihatnya di Eropa.

Dalam konteks Indonesia, karena salah satu nilai dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berda­sarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, yang diwujudkan melalui prin­sip hirarki norma dan elaborasi nor­ma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berda­sar­kan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk misalnya dari sistem syari’at Islam ataupun nilai-nilai yang berasal dari tradisi Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Pada saat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sum­ber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku untuk umum.

Di sisi lain, hukum negara yang ber­puncak pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak boleh ber­tentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau keya­kinan keagamaan segenap warga negara Indonesia yang men­jadi subjek hukum yang diatur oleh Hukum Nasional In­do­nesia yang berdasarkan Pancasila itu. Sesuai prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sudah dengan sendirinya tidak boleh ada hukum negara Indo­nesia yang bertentangan de­ngan norma-norma agama yang diyakini oleh warga nega­ra Indonesia sendiri.

Norma Hukum Nasional yang demikian itu berlaku umum untuk semua warga negara tanpa kecuali. Oleh sebab itu, nama atau sebutan bagi norma hukum yang bersifat nasional demikian itu tidak perlu disebut atau dikaitkan dengan nama norma suatu agama tertentu yang dapat me­nim­bulkan kesalahpahaman yang justru dapat menim­bulkan kesulitan dalam upaya menegakkan norma hukum itu dalam kenyataan. Sebutan resminya cukuplah sebagai Hukum Na­sional Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sedangkan isinya sangat boleh jadi atau memiliki potensi yang sangat kuat untuk ber­sumber dari esensi ajaran agama yang dianut oleh warga negara Indonesia.

Landasan Konstitusional

Salah satu dasar negara Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu dikatakan bahwa Indonesia bukan negara agama, karena tidak berdasarkan agama tertentu, dan juga bukan negara sekuler karena tidak memisahkan secara tegas antara urusan negara dan urusan agama. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, pertama-tama dirumuskan sebagai salah satu dasar kenegaraan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 “… berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa …”. Selain itu, kita juga menganut paham Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum dalam satu kesatuan sistem konstitusional modern. Paham Ketuhanan Yang Maha Esa mengharuskan kita mengakui adanya ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, Tuhanlah yang sebenarnya berdaulat atas peri kehidupan kita seluruhnya. Namun kedaulatan Tuhan tersebut tidak mewujud kedalam kedaulatan Raja, melainkan mewujud dalam konsep kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.[6]

Pandangan ini sesuai dengan prinsip tauhid menurut ajaran agama Islam serta sejalan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam ajaran tauhid, Tuhan dipahami sebagai Dzat yang Maha Esa, yang unique, tidak ada contoh dan yang menyamai-Nya dalam kehidupan (laisa kamitslihi syai-an). Ialah dzat yang suci dan mutlak. Hanya Allah saja yang bersifat Maha Kuasa, sedangkan makhluk-Nya bersifat nisbi atau relatif, lemah dan tidak berkuasa. Semua manusia sama kedudukannya diantara sesama, semuanya dha’if (lemah), tetapi sekaligus sama-sama kuat karena dianugerahi status oleh Allah sebagai bayangan atau pengganti-Nya di muka bumi (khalifatullah fil-ardh).

Keyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan Maha Kuasa menyebabkan berkembangnya doktrin persamaan kemanusiaan atau paham egalitarian dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya relatif atau nisbi, kecuali Tuhan semata yang bersifat Maha Kuasa dan Maha Mutlak. Di sisi lain, karena setiap manusia adalah Khalifah Allah, maka setiap manusia adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab. Itulah sebabnya diperlukan permusyawaratan antar manusia untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan bersama. Musyawarah menjadi keharusan sosial yang sentral dalam kehidupan publik.

Berdasarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itulah maka setiap manusia Indonesia seharusnya hanya memutlakkan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai konsekuensinya, perikehidupan bangsa sudah seharusnya bersifat egaliter, di mana setiap orang dianggap sama hak dan kedudukannya di mata Tuhan, apalagi hak dan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Prinsip egalitarianisme ini hanya dapat berjalan jika dalam pembuatan keputusan dilakukan atas dasar musyawarah, serta terwujud dalam prosedur pemilihan atau bay-at terhadap wakil rakyat sebagai ulil-amri. Setelah ditetapkan melalui prosedur musyawarah, maka semua keputusan itu mengikat sebagai hukum yang harus ditempatkan menurut prinsip supremasi hukum. Inilah bentuk pelaksanaan dari Kedaulatan Tuhan yang diwujudkan dalam prinsip Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum.[7]

Proses permusyawaratan sekaligus merupakan ruang perumusan substansi hukum dari berbagai kelompok masyarakat. Masing-masing tentu dipengaruhi oleh norma-norma sosial lain, salah satunya adalah norma agama. Bahkan memperjuangkan norma agama menjadi hukum positif dapat dipahami sebagai perjuangan di jalan Tuhan. Dan ketikan keputusan sudah dibuat, maka hukum sebagai produknya harus diterima oleh semua pihak. Selain itu, juga mungkin dibuat aturan hukum yang berlaku khusus untuk suatu daerah tertentu atau kelompok masyarakat hukum tertentu. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Sedangkan ayat (2) –nya menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.[8] Artinya UUD 1945 mengakui dan menghormati pluralisme hukum dalam masyarakat. Meskipun peradilan nasional bersifat terstruktur dalam kerangka sistem nasional, namun materi hukum yang dijadikan pegangan oleh para hakim dapat dikembangkan secara beragam. Apalagi mengingat kebijakan otonomi daerah yang memberikan ruang pada daerah untuk membentuk peraturan sesuai dengan kondisinya masing-masing, bahkan beberapa daerah memiliki status otonomi khusus seperti NAD dan Papua.[9]

Syari’at Islam, Fiqh, dan Hukum Islam

Aktualisasi Islam di Indonesia sering dikaitkan secara keliru dengan pelaksanaan Syari’at Islam. Syari’at Islam itu memang harus dan wajib diberlakukan, dan bahkan sesungguhnya ia memang berlaku sampai kapanpun di kalangan umat Islam. Kedudukan Syari’at Islam tidak perlu diperjuangkan secara politik, karena dengan sendirinya sudah berlaku seiring dengan dianutnya ajaran Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Syari’at Islam adalah jalan hidup yang berlaku bagi setiap orang yang mengimaninya. Syari’at Islam berlaku bagi setiap orang Islam, terlepas dari kenyataan ada atau tidak adanya negara. Syari’at agama menyangkut hukum tertinggi, yaitu keyakinan manusia akan kedaulatan Tuhan Yang Maha Kuasa atas dirinya, sedangkan urusan kenegaraan hanyalah sebagian kecil saja dari urusan manusia.

Syariat Islam tidak perlu dan tidak boleh direduksi maknanya sekedar menjadi persoalan internal institusi negara. Bahwa hukum negara harus mencerminkan esensi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, memang sudah seharusnya melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi norma. Sumber norma yang mencerminkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu dapat datang dari mana saja, termasuk dari sistem syari’at Islam. Tetapi sekali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya telah diadopsikan, maka sumber norma syari’at itu tidak perlu disebut lagi, karena namanya sudah menjadi hukum negara yang berlaku umum secara nasional. Namanya adalah hukum nasional berdasarkan Pancasila, meskipun isi dan esensinya adalah norma “Syari’at Islam”.[10]

Dalam konsteks sistem hirarki norma, perlu dibedakan antara pengertian syari’at dengan fiqh dan dengan qanun. Logika sistem hirarki ini adalah hukum suatu negara berisi norma-norma yang terkandung di dalam syari’at agama-agama yang dianut oleh warga masyarakat. Sedangkan elaborasi norma adalah bahwa norma-norma yang tercermin dalam rumusan-rumusan hukum negara, haruslah merupakan penjabaran atau elaborasi normatif ajaran-ajaran syari’at agama yang diyakini oleh warga negara.

Pada periode pensyari’atannya (daur al-tasyri’), Syari’at Islam identik dengan wahyu Allah dalam al-Qur’an ditambah Sunnah Rasul. Keduanya berfungsi secara langsung sebagai Hukum. Tetapi pada periode kedua, yaitu periode ijtihad, Syari’at ini tidak lagi berfungsi sebagai hukum dalam arti bersifat langsung, melainkan berkembang menjadi sumber hukum. Sedangkan pengertian konkrit tentang hukum seperti dipahami sekarang adalah fiqh. Setelah itu, baru muncul periode ketiga, ketika pemberlakuan norma-norma hukum makin disadari perlunya dilegitimasikan oleh sistem kekuasaan negara.

Periode ketiga tersebut disebut sebagai periode pengundangan atau legislasi (daur al-taqnin). Pada periode ini yang diartikan sebagai hukum adalah qanun. Sesuai dengan prinsip elaborasi norma, Qanun Islam bersumber kepada Fiqh, dan Fiqh bersumber kepada Syariat. Sedangkan sesuai dengan prinsip hirarki norma, Qanun tentu tidak boleh bertentangan dengan Fiqh, dan Fiqh tidak boleh bertentangan dengan Syari’at.

Jika dikaitkan dengan Hukum Nasional Indonesia, maka qanun itu identik dengan hukum negara berupa peraturan perundang-undangan yang bersumber dan berpuncak pada UUD 1945. Sumber inspirasinya adalah segala norma yang berkembang dan dikembangkan dari dunia ilmu hukum atau “ilmu fiqh” yang tidak boleh bertentangan dengan keyakinan-keyakinan hukum atau keyakinan keagamaan segenap warga negara Indonesia yang menjadi subyek hukum yang diatur oleh hukum nasional tersebut. Sesuai dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan sendirinya tidak boleh ada hukum nasional yang bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh warga negara Indonesia.[11]

Hukum Islam di Indonesia

Hukum Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran agama Islam, masuk dan menjadi bagian dari norma masyarakat sejak masuknya ajaran Islam mulai abad I Hijriah atau abad 7-8 Miladiyah. Bahkan Ibnu Batutah, pengembara Arab asal Maroko yang pada tahun 1345 M singgah di Samudera Pasai sempat berjumpa dengan Sultan al-Malik al-Zahir yang sangat mahir dalam fiqh Mazhab Syafi’i. Pada masa VOC pernah diperkenalkan hukum Belanda dan dibentuk lembaga peradilan yang juga berlaku bagi bangsa Indonesia. Namun upaya ini gagal dan akhirnya lembaga-lembaga yang hidup di masyarakat dibiarkan berjalan sebagaimana keadaan sebelumnya. Pada tahun 1760 diterbitkan Compendium Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang berlaku di pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan umat Islam. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat tetap diakui pada masa VOC mulai tahun 1602 hingga tahun 1800.[12]

Berakhirnya kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Pada masa kolonial Belanda, Hukum Islam mengalami pergeseran yang semakin melemah. Pada awalnya telah dibentuk Pengadilan Agama tahun 1882 yang wewenangnya meliputi masalah-masalah hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam. Hal ini diikuti oleh kesimpulan penilitian Willem Christian van den Berg yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah menerima sepenuhnya hukum Islam sebagai hukum yang mereka anut. Namun kesimpulan ini ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje yang melontarkan teori resepsi. Teori resepsi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Pada tanggal 1 April 1937 diterbitkan ketentuan yang mencabut wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Kedudukan Pengadilan Agama selanjutnya diletakkan di bawah pengawasan Pengadilan Negeri. Keputusan Pengadilan Agama hanya dapat dieksekusi jika telah mendapatkan persetujuan dari pengadilan negeri (executoire verklaring). Kebijakan hukum Islam ini berlanjut pada masa penjajahan Jepang.[13]

Pada masa kemerdekaan aktualisasi hukum Islam mulai mendapatkan tempat dalam hukum nasional. Masalah dasar negara dan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi umat Islam merupakan salah satu masalah mendasar yang dibahas mulai dari perumusan UUD 1945 hingga perumusan konstitusi oleh Konstituante. Bahkan perdebatan pelaksanaan hukum Islam masih tetap berlanjut hingga saat ini.

Aktualisasi hukum Islam adalah bagian dari proses pembangunan hukum nasional. Aktualisasi hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu upaya pemberlakuan hukum Islam dengan pembentukan peraturan hukum tertentu yang berlaku khusus bagi umat Islam, dan upaya menjadikan Syari’at Islam dan Fiqh sebagai sumber hukum bagi penyusunan hukum nasional.

Aktualisasi hukum Islam dalam bentuk peraturan khusus yang berlaku bagi umat Islam misalnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang penyebarluasannya dilakukan berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Sedangkan aktualisasi hukum Islam dalam hukum nasional yang berlaku umum misalnya ada pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria khususnya yang mengatur tentang perwakafan tanah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tentunya masih banyak produk hukum lain yang jika kita teliti akan menunjukkan aktualisasi hukum Islam sesuai dengan tingkat kesadaran hukum Islam masyarakat Indonesia dan para pembuat peraturan perundang-undangan. Apalagi dengan adanya kebijakan otonomi daerah saat ini, tentu daerah-daerah dapat membuat peraturan daerah sebagai aktualisasi hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya hukum Islam.[14]

Oleh karena itu, aktualisasi hukum Islam harus dilakukan secara sistemik dan dengan tindakan-tindakan nyata. Aktualisasi hukum Islam tidak cukup, bahkan akan merugikan, jika dilakukan sekedar sebagai aksi politik yang mengkampanyekan tuntutan pemberlakuan Syari’at Islam. Syari’at Islam, sebagaimana telah diuraikan, adalah jalan hidup yang menjadi sumber rujukan. Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya aktualisasi hukum Islam adalah belum adanya konsepsi yang jelas tentang materi hukum yang harus diaktualisasikan dalam hukum nasional, baik yang berlaku khusus bagi umat Islam maupun yang berlaku secara umum.

Agar proses aktualisasi hukum Islam dapat dilakukan dengan baik beberapa masalah yang harus diselesaikan adalah; pertama, harus terdapat kesadaran bahwa aktualisasi hukum Islam tidak dapat dilaksanakan hanya dengan pernyataan politik bahwa Syari’at Islam berlaku bagi umat Islam di Indonesia, sebab pernyataan ini adalah pengulangan tanpa makna. Walaupun tidak ada pengakuan negara, Syari’at Islam sebagai jalan hidup memang berlaku bagi umat Islam. Kedua, pembahasan pada tataran filsafat hukum Islam diperlukan untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum sebagai acuan dalam pengembangan sistem hukum nasional secara keseluruhan. Ketiga, harus dilakukan pembahasan berdasarkan prinsip hirarki makna dan elaborasi Syari’at Islam dan kaidah fiqh untuk menentukan masalah-masalah hukum yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa dan yang merupakan urusan pribadi umat Islam. Keempat, terhadap masalah-masalah hukum yang harus diatur dan ditegakkan oleh penguasa, harus dipilah-pilah mana yang berlaku khusus bagi umat Islam dan mana yang dapat diberlakukan secara umum sebagai hukum nasional yang tentu saja harus sesuai atau minimal tidak boleh bertentangan dengan norma dan kesadaran hukum masyarakat, termasuk norma agama.

Jika langkah-langkah tersebut telah dilakukan dan menghasilkan substansi aturan hukum yang bersumberkan pada Syari’at Islam dan kaidah fiqh, proses selanjutnya adalah memperjuangkannya dalam proses legislasi nasional dan daerah dan penegakkannya. Berdasarkan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia dan merupakan rahmat bagi keseluruhan alam, maka sudah seharusnya substansi aturan dalam konsepsi hukum Islam juga memberikan solusi dan rahmat bagi keseluruhan alam. Argumentasi inilah yang harus di kedepankan secara rasional dalam proses pembangunan sistem hukum nasional, bukan argumentasi ideologis dan jargon-jargon eklusif yang menimbulkan ketakutan pada kelompok-kelompok lain. Substansi nilai yang berasal dari sistem hukum Islam hendaklah dirumuskan dengan tepat dan disumbangkan secara produktif untuk kemanusiaan dan ke-Indonesiaan, terutama dalam upaya mewujudkan cita-cita negara hukum Indonesia yang berdasarkan UUD 1945. Hanya perlu dicatat, sekali nilai dan substansi yang disumbangkan telah menjadi norma hukum yang diberlakukan secara konkrit dalam sistem hukum negara, maka norma-norma dimaksud berlaku umum bagi semua orang. Karena itu, penamaan simbolisnya sebagai hukum Islam tidak perlu disebut lagi. Dengan demikian cukuplah semua warga negara yang beragama Islam menyebutnya sebagai hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.


DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Mohammed. ”Melampaui Pemikiran Dualitas: Aturan Hukum dan Masyarakat Madani dalam Konteks Muslim.” Tanwir: Jurnal Pemikiran Agama & Peradaban. Edisi Ke-2, Vol.1, No. 2. Juli 2003.

Asshiddiqie, Jimly. Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional. Makalah disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam Dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Jakarta, 27 September 2000.

-------------------------. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900); Dari Emporium Sampai Imperium. Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1988.

Muttaqin, Dadan et. Al. (eds.). Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1999.

Natsir, M. Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah, 2001.

Taher, Elza Peldi (ed.). Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi. Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994.

Wahid, Marzuki & Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001.



[1] Ceramah disampaikan pada acara Buka Puasa dan Tarawih bersama di Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya, 13 Oktober 2006.

[2] Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Guru besar (Luar Biasa) Hukum Tata negara Universitas Indonesia.

[3] Dalam peradaban barat masa ini dikenal dengan istilah abad kegelapan (the dark age) di mana raja-raja juga memegang kekuasaan spiritual tertinggi. Dalam tradisi Hindu-Jawa raja digambarkan sebagai dalang sejati yang berhak mengatur kehidupan dengan menerima mandat dari Tuhan. Lihat Serat Tjentini, VIII, 1932, hal. 212. Raja-raja Mataram menyebut diri dengan gelar “Sayyidin Panatagama” atau “Khalifatullah ing Tanah Jawa”. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1500-1900); Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid I, (Jakarta; Gramedia, 1988), hal. 48.

[4]Khalifah al-Rasul” adalah konsep pengganti Rasul sebagai pemimpin negara setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Sedangkan “Khalifah Allah” artinya konsep yang berkenaan dengan kedudukan setiap individu manusia sebagai pengganti atau bayangan Tuhan di atas muka bumi , dan berlaku bagi semua manusia.

[5] Presiden Amerika Serikat George W. Bush misalnya, ketika bereaksi terhadap aksi terorisme WTC tanggal 11 September 2001 tanpa sadar menyatakan upaya memerangi terorisme sebagai “the second crusade”. Bahkan di Eropa yang menganut sekularisme keberadaan Partai Politik berdasarkan agama juga tetap kuat, seperti pada pemilu Jerman beberapa waktu yang lalu Koalisi Kristen Demokrat pimpinan Angela Merkel (juga dipastikan menjadi Kanselir) mampu menyaingi dominasi Koalisi Sosialis Demokrat pimpinan Gerarld Schruder.

[6] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 85-102.

[7] Ibid. Bandingkan dengan pemikiran Komaruddin Hidayat, ”Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi,” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya Dan Ekonomi, (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994), hal. 189-200.

[8] Pasal 18 B merupakan hasil Perubahan Kedua UUD 1945.

[9] Jimly Asshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional, diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 27 September 2000.

[10] Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 101-102.

[11] Ibid.

[12] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa”, dalam Dadan Muttaqin et. Al. (eds.), Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hal. 7-13.

[13] Ibid. Bandingkan dengan Deliar Noer, ”Penegakan Syari’at Islam dalam Pentas Politik Nasional,” dalam Irfan Suryajardi Awwa (peny.), Risalah Kongres Mujahidin dan Penegakan Syari’at Islam, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001), hal. 32-41.

[14] Azhar Basyir, Op.Cit.


MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox