19 December 2006

PILKADA

PILKADA DAN MASA DEPAN DEMOKRASI

Oleh:

Budi H. Wibowo

Pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ternyata memunculkan persoalan jika dikaitkan dengan momentum yang sebentar lagi akan digelar yaitu pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). UU ini sebetulnya merupakan revisi dari UU sebelumnya –UU No. 22 Tahun 1999— namun, hasil amandemen tersebut tidak cukup menjawab masalah yang tentu saja tidak sempat terpikirkan atau sengaja tidak diperdebatkan ketika UU tersebut dirancang dan ditetapkan.

Masalah yang timbul pasca penetapan UU Pemda sebagaimana yang saat ini sedang diperkarakan oleh beberapa KPUD dan juga oleh organisasi pemantau pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk di-judicial review-kan. Beberapa pasal dalam UU Pemda menurut para pemohon tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1), dan ayat (5) UUD 1945.

Pada dasarnya, UU Pemda merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya. Akan tetapi, problem yang sama juga muncul seperti pada saat UU No. 22/1999 ditetapkan. Dan masih terkait dengan masalah-masalah administratif, politis, sosial, ekonomi, dan hukum.

Mengapa hal ini sampai bisa terulang kembali, padahal pembuatan UU tersebut telah melibatkan banyak pihak. Bagaimana juga suasana kebathinan para perumus UU Pemda ketika mereka merancang UU dimaksud.

Namun, penulis tidak akan bermaksud lebih jauh menelusuri secara kronologis pembuatan UU Pemda ini. Akan tetapi, penulis akan lebih mengelaborasi keterkaitan antara keberadaan UU Pemda dengan konstelasi politik daerah bilamana UU tersebut tetap dan tidak mengalami perubahan.

Tidak sedikit pendapat dan argumentasi muncul menanggapi keberadaan UU Pemda, khususnya terkait dengan pelaksanaan pilkada. Proses pilkada di daerah-daerah yang rencanannya bakal digelar pada bulan Juni 2005 tentu saja menyimpan segudang harapan sekaligus potensi konflik.

Apalagi bila Pasal 57 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan bahwa “pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD”. Maka kemungkinan upaya-upaya manipulasi, korupsi, kolusi dan nepotisme mendapatkan peluang sangat besar di dalam pesta demokrasi lokal tersebut.

Ada beberapa pertimbangan untuk mencermati terbukanya peluang-peluang terjadinya kemungkinan di atas secara besar-besaran pada pelaksanaan pilkada jika berdasar UU Pemda yang ada saat ini. Yaitu pertama, sebagai pelaksana pilkada ditunjuklah KPUD setempat untuk mempersiapkan hal-hal mulai dari persiapan hingga penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah menurut suara yang diperoleh. Artinya, KPUD satu-satunya aktor yang memiliki kewenangan tersebut. Sementara panwas hanya mengontrol saja, tidak lebih.

Kedua, KPUD bertanggungjawab kepada DPRD. Dalam hal ini DPRD-lah yang memiliki kewenangan secara langsung maupun tidak langsung melakukan kontrol sekaligus menilai pelaksanaan pilkada oleh KPUD. Jika DPRD memperoleh hal-hal yang menyimpang maka DPRD berhak untuk menegur KPUD. Atau sebaliknya, DPRD dan KPUD memiliki peluang melakukan komitmen-komitmen tertentu dalam meloloskan satu orang atau lebih calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Artinya, pilkada ini akan menjadi ladang jual-beli yang dikomandoi oleh DPRD dan KPUD.

Ketiga, bila ada pembedaan bahwa KPUD bertanggungjawab secara finansial kepada DPRD saja, maka itupun tidak menutup kemungkinan terjadi manipulasi dan kemungkinan lainnya yang dapat menodai pilkada jujur, adil, demokratis dan jauh dari korupsi. Di atas kertas bisa saja itu dicantumkan, namun pada tataran teknis-operasional di lapangan tentu tidak semudah apa yang diinginkan di atas kertas.

Tiga hal tersebut sebenarnya merupakan pandangan pesimistis penulis pribadi, namun pandangan ini semakin pesimis ketika pada 11 Februari 2005 lalu PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Di dalam PP tersebut pada bab III Pasal 4 ayat (4) menyatakan bahwa KPUD bertanggungjawab kepada DPRD. Walhasil, meski pemerintah telah mengeluarkan PP Pilkada tetapi isinya masih tidak berbeda jauh dengan UU Pemda di mana pertanggunggjawaban KPUD adalah kepada DPRD.

Selain itu, PP Pilkada juga masih terdapat banyak kekurangan. PP tersebut belum mengatur secara eksplisit bagaimana penanganan hukumnya (law enforcement) bila para calon kepala daerah itu melakukan pelanggaran dalam hal mencuri start waktu kampanye. PP ini hanya menyebutkan tidak boleh ada money politic, tidak boleh mencuri start, pilkada harus berlangsung secara fair dan sebagainya.

Semangat yang diusung pemerintah melalui UU Pemda dapat dipahami merupakan bagian dari pelaksanaan demokratisasi di Indonesia. Perkembangan demokrasi khususnya di Indonesia sangat lekat dengan proses politik. Secara umum penyelenggaraan Pilkada langsung adalah gambaran dari perkembangan demokrasi di Indonesia yang mengikut sertakan para peserta pemilu, tidak lain yaitu partai politik. Karena calon kepala daerah dan wakil kepala daerah nantinya diusulkan dari partai politik.

Semangat berdemokrasi yang digambarkan melalui Pilkada ini oleh banyak kalangan dinilai merupakan langkah tepat dari implementasi mewujudkan negara demokrasi. Namun, jangan sampai semangat tersebut menutup mata hingga merusak semangat itu.

Dengan biaya yang tidak sedikit tentunya pelaksanaan Pilkada diharapkan dapat sesuai dengan keinginan masyarakat agar terpilih pemimpin yang memahami rakyat. Apalagi Pilkada di tiap daerah seluruh biayanya dialokasikan ke dalam APBD masing-masing. Sehingga alokasi yang sedianya untuk pembangunan tersedot untuk pelaksanaan Pilkada. Waktu empat bulan merupakan waktu yang tidak panjang. Apalagi jika dihitung dari mulai persiapan sampai pelaksanaan. Kesiapan teknis perangkat pelaksanaan Pilkada mutlak sudah dipenuhi untuk mengantisipasi keterlambatan. Akan tetapi, hal ini tidak kemudian menjadi alasan untuk memasakkan pelaksanaan Pilkada.

Pemerintah dalam hal ini sudah semestinya bersifat lebih arif dalam melihat berbagai perkembangan perihal Pilkada. Tidaknya masyarakat dalam negeri yang akan memonitor proses Pilkada, masyarakat internasional pun tentunya mengambil bagian dalam menilai demokratisasi di Indonesia. Karena pada akhirnya jika demokrasi dipaksakan atas nama kepentingan sesaat, walhasil demokrasi yang bakal lahir sangatlah prematur dan rawan dari konflik kepentingan yang tidak bertanggungjawab.

Sekali lagi, sikap arif pemerintah dalam menyikapi masa depan demokrasi di Indonesia sangat dibutuhkan. Apa yang telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan PP Pilkada patut dihargai, meski membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan PP tersebut. Mengutip tulisan Mendagri berjudul “Optimisme Menghadapi Pilkada Langsung” –yang dimuat di salah satu media cetak— yang mengutarakan lima alasan mengapa Pilkada harus tetap dilaksanakan. Salah satu alasan yang disebutkan yaitu Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education).

Dari tulisan Mendagri M. Ma’ruf tersebut mengisyaratkan niat baik pemerintah melakukan pendidikan demokrasi kepada masyarakat. Namun, niat baik ini belum selaras dengan PP yang dikeluarkan. Bahwa pasal mengenai tanggungjawab pelaksanaan Pilkada (KPUD) kepada DPRD seperti di sebutkan di atas sangat mungkin menjadi ajang praktek korupsi, kolusi dan nepotisme gaya baru yang bertentangan dengan kebijakan Presiden Yudhoyono yang menginginkan percepatan pemberantasan korupsi.

Mudah-mudahan cita-cita membentuk Indonesia sebagai negara demokrasi sesuai amanat UUD 1945 dan the founding fathers kita tidak tercerabut dari akarnya. (dimuat di Duta Masyarakat, Kamis, 3 Maret 2005).

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox