27 April 2007

UUD 1945 Pasca Amandemen


KEABSAHAN UUD 1945 PASCA AMENDEMEN

oleh:

R.M. Ananda B. Kusuma

UUD 1945 setelah amendemen adalah sah, baik formil maupun materiil. Menurut teori konstitusi, UUD adalah keputusan politik tertinggi dari rakyat. UUD 1945 setelah amendemen sah karena diputuskan oleh lembaga perwakilan rakyat yang dipilih secara demokratis. Selain itu, amendemen adalah upaya untuk menyempurnakan UUD 1945, yang merupakan amanat dari pendiri negara.

Amendemen UUD 1945 sah karena dilakukan oleh MPR yang berarti telah sesuai dengan mekanisme konstitusional. Adalah sah meskipun mengandung sangat banyak kelemahan;[1] dan dapat dinyatakan legitimate karena diterima dan dipatuhi oleh rakyat. Penerimaan dan kepatuhan rakyat terlihat dari mulusnya jalan untuk pembentukan lembaga negara dan mulusnya pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta pemilihan presiden secara langsung. Dunia internasional juga menganggap bahwa pemerintahan yang didasarkan pada UUD 2002[2] lebih demokratis dari pemerintahan sebelumnya. Sebetulnya UUD 2002 tidak layak dinamakan UUD 1945 karena prinsip dasarnya berbeda dengan UUD 1945,[3] tetapi dalam kenyataan bahwa UUD 2002 telah dipatuhi oleh rakyat Indonesia dan diakui oleh dunia internasional. Sehingga dalam pandangan penulis perdebatan akan penyebutan nama yang layak untuk UUD kita dapat dikesampingkan untuk sementara karena masih ada permasalahan lain yang lebih besar yang mengemuka pada saat ini.

Permasalahan itu adalah adanya argumen dari golongan yang menyatakan bahwa UUD 2002 tidak sah karena tidak dimuat di Lembaran Negara, bahwa UUD 2002 tidak sah karena belum dicabut, dan adanya keinginan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan “dekrit untuk kembali ke UUD 1945” juga tidak dapat dibenarkan. Tulisan di bawah ini adalah argumentasi yang penulis rumuskan sehingga sampai pada kesimpulan bahwa UUD setelah amandemen adalah sah.

Tentang Pencantuman UUD 1945 dalam Lembaran Negara

Selama revolusi, UUD 1945 tidak pernah diundangkan dalam Lembaran Negara (Statute-book –bahasa Inggris-; Staatsblad –bahasa Belanda-) yakni terbitan yang khusus memuat perundang-undangan. UUD 1945 baru tercantum di Lembaran Negara No.75 pada tahun 1959.

Pendapat beberapa pakar bahwa UUD 1945 diundangkan di Berita Republik Indonesia (BRI) tidak dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut.

1. Sebelum UUD 1945 dicantumkan di BRI, pada akhir Agustus 1945, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa UUD 1945 berlaku bila telah disiarkan di surat kabar, setelah ditempelkan di papan pengumuman kantor pemerintah atau kantor Komite Nasional Pusat dan Komite Nasional Daerah. Pemerintah Republik Indonesia berpendapat bahwa tanpa harus dicantumkan di Lembaran Negara, UUD 1945 telah berlaku.

2. BRI bukan Lembaran Negara. BRI semacam Gazette, bukan Statute-book, bukan Staatsblad. BRI adalah majalah terbitan Departemen Penerangan yang beralamat di Jalan Tjilatjap 4 Jakarta. Departemen Penerangan bukan lembaga yang berhak mengundangkan suatu undang-undang. Lembaga yang berhak mengumumkan undang-undang adalah Sekretariat Negara.

3. Menurut Undang-Undang No. 1 tanggal 23 November 1945, undang-undang dan peraturan pemerintah harus ditanda tangani oleh Presiden Sukarno dan Sekretaris Negara Mr. A.G. Pringodigdo yang berkedudukan di Yogyakarta. UUD 1945 yang dimuat di BRI pada 15 Februari 1946, hampir 3 bulan setelah Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 terbit, tidak ada otentifikasi dari Sekretariat Negara.

4. Pemuatan UUD 1945 di BRI bukan dalam rangka pengundangan UUD tetapi dalam rangka mengubah UUD 1945. Perdana Menteri Sutan Syahrir dan Menteri Kehakiman Mr. Suwandi menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Jadi tidak mungkin mereka mengundangkan UUD 1945. Di BRI, Batang Tubuh UUD dicetak terpisah dari Penjelasan UUD. Selain itu, ada catatan dari redaksi yang berbunyi:

“Untuk memberikan kesempatan lebih luas lagi kepada umum mengenali isi UUD Pemerintah yang semulanya (huruf tebal dari penulis), di bawah ini kita sajikan penjelasan selengkapnya”.

Hal itu menunjukkan bahwa penerbitan itu digunakan dalam rangka mengubah UUD.

Tentang tidak adanya ketentuan mengenai pencabutan UUD 1945

Di Konstitusi RIS tidak ada ketentuan pencabutan UUD 1945. Di UUD Sementara 1950 juga tidak ada ketentuan mengenai pencabutan Konstitusi RIS. Undang-undang dengan sendirinya tidak berlaku karena adanya asas lex posterior derogat legi priori (undang-undang yang kemudian membatalkan undang-undang yang terdahulu). Asas tersebut dengan sendirinya mencabut Konstitusi RIS, menyebabkan Konstitusi RIS tidak berlaku. Sistem pemerintahan federal dengan sendirinya tidak berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tentang kesementaraan UUD 1945

Sejarah Konstitusi kita menunjukkan bahwa semua anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)[4] yang sempat mengemukakan pendapatnya, kecuali Mr. M. Yamin, bermaksud menyusun UUD 1945 yang bersifat sementara yang akan disempurnakan bila keadaan sudah aman.

Penyusunan UUD yang bersifat sementara itu antara lain dikemukakan oleh Mr. Wongsonagoro yang menyatakan bahwa mengingat prinsip “keputusan terakhir dan tertinggi ada pada suara rakyat” (in de laatste en hoogste instantie, pada votum rakyat),[5] maka seyogyanya “hukum dasar” bersifat sementara.

Pidato Mr. Wongsonagoro tersebut ditanggapi oleh Mr. Yamin yang menyatakan setuju dengan prinsip kedaulatan rakyat, tetapi mengingatkan bahwa rakyat telah menyatakan pendapatnya, orang yang tidak mendengar suara rakyat yang gemuruh itu kupingnya sangat tuli. Tanggapan Mr. Yamin yang sarkastis itu dijawab oleh Mr. Singgih dengan nada yang setimpal, yaitu bahwa

“sekalipun telinga kita ditambah lagi sepuluh, tidak mungkin kita mendengarkan suara murni dari pada rakyat”…. “harus dijamin bahwa kedaulatan rakyatlah yang akan menetapkan bentuk terakhir”.[6]

Perdebatan di Panitia Perancang UUD juga menunjukkan bahwa semua anggota mengeluarkan pendapatnya dengan asumsi bahwa UUD akan berlaku sementara, sampai keadaan aman. Perdebatan menjadi hangat ketika Mr. Latuharhary meminta agar “hukum dasar” dengan tegas memuat ketentuan yang menyatakan UUD bersifat sementara. Namun, beliau tidak setuju kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dimuat di “hukum dasar”, meskipun bersifat sementara. Beliau mengemukakan bahwa syariah Islam berbeda dengan adat-istiadat di Maluku yang menegaskan bahwa tanah bukan saja diwariskan pada anak-anak yang beragama Islam, tetapi juga kepada yang beragama Kristen.

Sifat sementara UUD 1945 juga terlihat di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bersidang pada 18 Agustus 1945. Ki Bagus Hadikusumo yang semula berkeras agar sila pertama berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariah Islam” (tanpa kata “bagi pemeluk-pemeluknya”) ternyata dapat dibujuk oleh Bung Hatta dan Mr. T. Hasan agar menerima rumusan sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dengan alasan bahwa rumusan itu hanya bersifat sementara.[7]

Pada sidang PPKI tersebut sifat sementara juga disinggung oleh 3 orang anggota, yaitu Ir. Sukarno yang mengucapkan bahwa “ini adalah sekedar UUD sementara, UUD kilat, bahkan barangkali dapat dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat UUD yang lebih sempurna dan lengkap”.[8] Dr. Ratulangi mengatakan bahwa grondwet ini perlu disempurnakan dan Mr. Iwa Kusuma Sumantri berkata bahwa “benarlah bahwa ini adalah suatu UUD kilat”.[9] Kemudian, sifat sementara UUD dikukuhkan di Aturan Peralihan yang berbunyi: “Dalam enam bulan sesudah MPR dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD”.

Upaya untuk menyempurnakan UUD 1945

Upaya untuk menyempurnakan UUD sudah dimulai sejak 5 Desember 1945. Pada hari itu, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) mengeluarkan Pengumuman No. 10 yang menyatakan akan melakukan persiapan untuk melakukan perubahan UUD dengan alasan,

“kenyataanya UUD yang sekarang belum sempurna, seperti diakui oleh pemerintah sendiri dalam maklumat politiknya. Persiapan untuk melakukan perubahan UUD akan dilakukan oleh Komisi yang diangkat oleh Pemerintah dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada khalayak ramai untuk menyampaikan usul-usulnya”.[10]

Pernyataan itu kemudian ditindak lanjuti oleh Kementerian Kehakiman dengan jalan membentuk Perancang Undang-Undang Negara yang diketuai oleh Prof. Mr. Dr. Supomo dengan Sekretaris Mr. Subardjo dan beranggotakan 21 orang ahli Hukum, 19 di antaranya bergelar Sarjana Hukum (Mr.).[11] Panitia ini dibentuk pada 9 Februari 1946.

Selama tahun 1946 sampai akhir tahun 1949, di Linggarjati, di perundingan dengan Belanda yang diawasi oleh Komisi Tiga Negara,[12] di Renville dan di konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di negeri Belanda, Republik Indonesia terpaksa menerima desakan pemerintah Belanda dan dunia internasional untuk membentuk negara federal dan menyusun konstitusi yang bersifat federal.

Dalam komisi untuk merancang Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Prof. Supomo, delegasi Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO, Negara Bagian yang dibentuk Belanda) diwakili oleh Mr. Kosasih Purwanegara dan delegasi Belanda antara lain diwakili oleh Mr. Enthoven yang pernah menjadi anggota Komisi Visman bersama Prof. Supomo. Konstitusi RIS sarat dengan hak asasi manusia, sesuai dengan Declaration of Human Rights yang dicanangkan PBB pada 10 Desember 1948. Umur RIS dan konstitusinya tidak sampai delapan bulan. Pada 17 Agustus 1950, Negara Federal RIS berubah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konstitusi RIS berubah menjadi UUD Sementara 1950 dengan mendudukkan kembali semangat Pasal 33 UUD 1945.

Sistematika UUDS 1950 berbeda dengan UUD 1945. Perbedaan terletak pada pengelompokan di Bab I tentang Bentuk dan kedaulatan, Daerah Negara, Lambang dan Bahasa Negara, “Kewarga-negaraan dan Penduduk Negara, Hak-hak dan Kebebasan Dasar Manusia, dan Azas-azas Dasar menjadi satu bab.[13]

Penyempurnaan UUD oleh Konstituante

Setelah berdebat selama hampir tiga tahun, Konstituante telah berhasil merumuskan sejumlah pasal, tetapi tidak dapat mencapai persetujuan mengenai dasar negara. Pemungutan suara yang dilakukan sebanyak tiga kali menunjukkan hasil yang sama. Lima persembilan anggota Konstituante menyetujui dasar negara seperti yang disahkan oleh PPKI, yakni tanpa anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Empat perlima anggota menyetujui dasar negara seperti yang dirancang oleh BPUPK, yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dengan demikian ketentuan bahwa UUD dapat disahkan bila disetujui oleh dua pertiga anggota, tidak mungkin tercapai. Kebuntuan itu menyebabkan sebagian besar anggota menyatakan mogok, tidak mau menghadiri sidang Konstituante.

Melihat keadaan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945 dengan konsiderans bahwa “Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian-kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Konsiderans itu menegaskan bahwa UUD 1945 didasarkan pada Piagam Jakarta, bukan pada “cita negara integralistik”.[14] Konsiderans itu juga menunjukkan bahwa undang-undang harus memperhatikan syariah Islam.

Sejak tahun 1967 sampai dengan tahun 1997, MPR menyatakan “tidak punya keinginan untuk mengubah UUD 1945”. MPR menetapkan akan mengabadikan UUD 1945. Ketetapan MPR tesebut jelas melanggar amanat para pendiri negara.

Teori Hans Kelsen, Hans Nawiasky dan Notonagoro tentang Jenjang Norma Hukum

Menurut teori Hans Kelsen, Grundnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan (presupposed), tidak tertulis; ia tidak ditetapkan (gesetz), tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif, sifatnya meta-juristic.

Hans Nawiasky setuju dengan teori Hans Kelsen mengenai Grundnorm. Kemudian, dia mengembangkan teori mengenai Die Stufenordnung der Rechtsnormen tentang adanya tiga lapis norma hukum yakni, Grundnorm (norma dasar), Grundgesetz (aturan dasar), dan Formelle Gesetz (peraturan perundang-undangan). Selain itu ada Verordnungen dan autonome satzungen yang dapat digolongkan pada peraturan pelaksanaan.

Teori Notonagoro agak berbeda dengan teori Kelsen-Nawiasky. Notonagoro menyatakan bahwa Grundnorm bisa juga tertulis. Pancasila mengandung norma yang digali dari bumi Nusantara, semula tidak tertulis tetapi kemudian ditulis. Sama dengan teori Hans Kelsen, Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila tidak termasuk dalam UUD, tidak termakan oleh Pasal 37 UUD.

Notonagoro menyebut Pembukaan UUD 1945 sebagai Staatsfundamentalnorm yang diterjemahkan menjadi “pokok kaidah fundamental negara”. Staatsfundamentalnorm memberikan landasan bagi aturan dasar berupa Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain, “pokok kaidah fundamental negara”, merupakan norma yang menjadi dasar pembentukan Undang-Undang Dasar.

Grundnorm atau Staatsfundamentalnorm masih bersifat abstrak, masih merupakan pokok pikiran yang harus dijabarkan dalam pasal-pasal UUD. Staatsfundamentalnorm masih bersifat filsafat, masih non justiciable, baru menunjukkan arah dan tujuan negara, nilai-nilai yang ingin dilaksanakan harus dituangkan di pasal-pasal UUD dan kemudian dijabarkan di undang-undang dan perundang-undangan lainnya. Di UUD, norma hukum lebih ditujukan pada struktur dan fungsi dasar negara.

Norma hukum yang mempunyai kekuatan mengikat terjadi melalui undang-undang, dengan demikian terjadi suatu sistem norma hukum yang mengikat, suatu sistem Rechtsordnung. Undang-undang merupakan norma hukum yang mengikat dan dapat memaksa, mengandung sanksi. Di bawah undang-undang terdapat peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan selanjutnya.

Pakar konstitusi tidak selalu menempatkan norma dasar di luar tatanan hukum positif. Di UUD 1950, “Azas-azas dasar” (Pasal 35 sampai dengan Pasal 43), yang merupakan prinsip untuk menentukan kebijakan nasional (directives principles of state policy) meskipun dapat digolongkan dalam norma dasar (grundnorm/basic norm), ternyata dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD.[15]

Perbedaan antara Hukum (Ius) dan Undang-Undang (Lex)

Prof. Supomo menjelaskan bahwa ada perbedaan antara istilah “Hukum” dan “Undang-Undang”. “Hukum” dapat disamakan dengan Recht dalam bahasa Belanda; artinya hukum itu bisa tertulis dan bisa tidak tertulis. Undang-Undang dapat disamakan dengan Wet, yakni hukum yang tertulis. Sebab itu beliau menyarankan untuk mengubah istilah hukum dasar yang tercantum di Piagam Jakarta menjadi Undang-Undang Dasar karena yang dibicarakan adalah hukum tertulis.[16]

Bahasa Jerman juga membedakan antara Recht dan Gesetz, Perancis membedakan antara Droit dan Loi.[17] Tetapi Inggris hanya mengenal satu istilah yakni Law. Jadi kalau orang Inggris ingin memakai kata yang sinonim dengan Ius, maka perlu tambahan kata common, just atau true menjadi common law, just law atau true law.

Ius adalah “hukum sebagai jelmaan akal sehat atau jelmaan hati nurani” (law-as-reason), ius selalu sesuai dengan “keadilan”. Lex adalah “hukum sebagai jelmaan kekuatan yang ada di masyarakat” (law-as-power), jadi bisa menzalimi sebagian dari masyarakat yang tidak termasuk dalam golongannya. Lex dapat disebut sebagai law-as-statute atau objective ius dan ius adalah law-as-principle atau subjective ius.

Undang-undang, wet, gesetz, loi, atau lex adalah buatan otoritas politik artinya buatan Badan Legislatif atau Pemerintah. Jadi ada kemungkinan bahwa undang-undang (wet, gesetz, loi, lex) ternyata menzalimi sebagian dari rakyat, umpamanya salah satu gesetz Nazi Jerman yang menzalimi kaum Yahudi.[18] Sebab itu, timbul ajaran bahwa undang-undang harus tunduk pada UUD dan UUD harus tunduk pada “pokok kaidah negara yang fundamental”. Lex yang tergantung kepada kepentingan partai politik, kepentingan kaum kapitalis, kepentingan kaum militer atau Lembaga Swadaya Masyarakat, harus tunduk kepada Ius yang selalu mengacu pada hati nurani.

Hubungan Lex dan Ius terlihat juga di ajaran Prof. Notonagoro yang menyatakan bahwa “kebaikan hukum positif Indonesia, termasuk (tubuh) UUD, harus diukur dari asas-asas yang tercantum dalam Pembukaan. Dan karena itu, Pembukaan dan Pancasila harus dipergunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia”.

Perbedaan antara Lex dan Ius terlihat juga dari ucapan Lord Coke bahwa “a statute was invalid because it violated the principle of ‘common Right and reason’” (undang-undang tidak berlaku bila melanggar prinsip hukum dan akal sehat). Law berasal dari Lex dan Right berasal dari Recht. Kemudian law diberi arti yang baik dengan menambahkan kata common, good, just atau true menjadi common law, good law, just law atau true law, yang dapat diartikan sebagai law as reason.

Hirarkhi Sumber Hukum

Perbedaan Ius dan Lex menimbulkan ajaran mengenai hirarkhi sumber hukum. Di Indonesia hirarkhi sumber hukum ditetapkan oleh MPR. Ketetapan MPR adalah Lex dan merupakan keputusan otoritas politik. Sebab itu, Presiden Suharto dapat menjaga kepentingannya dengan jalan menetapkan Surat Perintah 11 Maret sebagai sumber hukum yang berada diatas undang-undang. Menurut Ketetapan MPR, hirarkhi sumber hukum adalah: UUD, Ketetapan MPR, Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan seterusnya.[19] Kemudian, setelah reformasi, peraturan pemerintah pengganti undang-undang diletakkan di bawah undang-undang.[20] Tidak ada ketentuan mengenai perjanjian Internasional yang penting (Treaty) maupun istilah dekrit di hirarkhi sumber hukum.

Di Jerman, hirarkhi sumber hukum (Gesetzesvorrang) menempatkan perjanjian Internasional yang penting (UUD Masyarakat Eropa dan Hukum Internasional), di bawah UUD (Grundgesetz). Urutan selanjutnya adalah undang-undang yang dibuat oleh Parlemen Pusat, Peraturan Pemerintah Pusat, Peraturan Menteri Federal, diikuti oleh UUD Negara Bagian dan seterusnya. Tidak ditemui istilah dekrit di Gesetzesvorrang.

Di Finlandia, ada istilah dekrit pada hirarkhi sumber hukum yang terdiri dari: Konstitusi, undang-undang yang dibuat oleh parlemen, dekrit yang dibuat oleh presiden, kabinet atau menteri, dan terakhir adalah peraturan lainnya yang dibuat oleh pejabat di bawah menteri.

Tentang Dekrit

Dekrit adalah Order atau keputusan eksekutif yang berkekuatan seperti undang-undang. Dekrit harus sesuai dengan UUD dan mendapat persetujuan DPR. Dekrit dapat dibenarkan bila negara dalam keadaan bahaya dan sifatnya sementara.

Pengertian negara dalam keadaan bahaya sering disalah-gunakan oleh Kepala Negara/Kepala Pemerintahan yang otoriter untuk melanggengkan kekuasaannya. Konstitusi Weimar yang demokratis hancur karena adanya Pasal 48 yang membolehkan Kepala Pemerintahan bertindak tidak demokratis bila “Negara dalam keadaan bahaya”. Kebakaran di Reichstag digunakan oleh Hitler untuk menerbitkan Ermachtigungsgesetz (Enabling Act; undang-undang yang dibuat tanpa keikut-sertaan Reichstag). Dengan demikian Hitler dapat menjadi diktator melalui jalan demokratis.

Di Perancis, decret adalah istilah hukum yang dirumuskan sebagai keputusan eksekutif yang penting. Decret dapat dibatalkan oleh conseil d’ etat. Di Amerika ada semacam dekrit yang dinamakan Executive Order, yang dapat dibatalkan oleh Supreme Court seperti Executive Order Presiden Truman No. 10340 tentang Youngstownsheet Sheet and Tube Co. versus Sawyer.[21]

Pada waktu PPKI mengesahkan UUD 1945, istilah dekrit belum dikenal. Bila negara dalam keadaan bahaya, penyelesaiannya dilakukan dengan Pasal 12 yang menyatakan: “Presiden menyatakan keadaan bahaya”. “Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Bila “Negara dalam keadaan genting”, penyelesaiannya dilakukan dengan Pasal 22 yang berbunyi: ”Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Dekrit 5 Juli 1959 dikeluarkan pada masa Undang-Undang No. 74 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya masih berlaku. Tindakan Presiden Sukarno dibenarkan oleh Dr. Wirjono, Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, dengan alasan adanya hukum tidak tertulis,[22] yang dalam bahasa Belanda dinamakan Staatsnoodrecht.

Dekrit 5 Juli 1959 diterbitkan atas desakan Angkatan Perang. Uniknya, pada 22 Juli 1959, Dekrit diterima dengan aklamasi oleh DPR hasil Pemilihan Umum. Kemudian disahkan dengan TAP MPRS dan TAP MPR. Presiden Sukarno memakai prosedur yang keliru tetapi tindakannya tetap legitimate, diterima sepenuhnya oleh rakyat. Kharisma Presiden Sukarno yang sangat besar memungkinkan Dekrit 5 Juli 1959 diterima sepenuhnya oleh generasi masa itu. Tetapi, generasi sekarang memang berhak untuk menilainya kembali.

Di dunia internasional, pemerintahan yang melaksanakan dengan rule by decree, akan dianggap sebagai pemerintahan yang otoriter. Sebab itu, Presiden Yudhoyono sebaiknya jangan mengeluarkan “Dekrit untuk kembali ke UUD 1945 yang asli”. Pertimbangan lain adalah Indonesia pada saat ini tidak dalam keadaan bahaya.

Kekurangan Yang Belum Diperbaiki

Pada UUD 1945, ketentuan agar pemerintah tidak tidak melakukan tindakan sewenang-wenang kepada rakyat tidak digariskan secara tegas. Di sidang BPUPK, Haji Agus Salim menyarankan agar di UUD ada ketentuan bahwa “seseorang tidak boleh ditahan bila tidak ada peraturan perundangan yang mengaturnya”.[23] Saran Agus Salim tidak muncul di UUD 1945, namun meskipun “negara dalam keadaan bahaya” para Penyelenggara negara pada waktu itu menerbitkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 yang menyatakan bahwa “jika seseorang merasa diperlakukan melampaui batas, ia atau orang lain berhak mengadu dengan lisan atau surat kepada Ketua Pengadilan Negara pada tempat itu”.[24] Hal itu menunjukkan bahwa sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang merupakan Grundnorm dipakai sebagai norma untuk menyusun undang-undang meskipun di UUD tidak menyatakan dengan tegas mengenai hal tersebut.

Konstitusi Amerika Serikat 1789 belum mencantumkan hak asasi manusia (Bill of Rights), tetapi sudah ada ketentuan mengenai Habeas Corpus, Ex Post Facto Law dan Bill of Attainder yang dapat mencegah kesewenang-wenangan. Writ of Habeas Corpus adalah keputusan pengadilan yang memerintahkan kepada petugas yang menangkap seseorang untuk membawa orang yang ditangkap ke depan hakim agar dapat ditentukan apakah penangkapan itu sah atau tidak. Ex Post Facto Law atau retroactive law adalah undang-undang yang dibuat setelah suatu peristiwa terjadi. Penggunaan retroactive law melanggar asas nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege. Tetapi sejak perang dunia kedua berakhir, para ahli hukum berpendapat bahwa asas itu boleh dilanggar bila si pelanggar melakukan kejahatan luar biasa, umpamanya pelanggaran berat terhadap HAM atau melakukan genocide.[25] Bill of Attainder adalah undang-undang yang menghukum seseorang atau segolongan orang tanpa melalui pengadilan.

UUD 1945 tidak mempunyai tiga ketentuan seperti di atas. Hal itu menyebabkan terjadinya tragedi 1965 dan tragedi-tragedi lainnya. UUD yang sudah di amendemen sudah melarang penggunaan retroactive law tetapi perumusannya kurang tepat. Di Pasal 28I ditegaskan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” padahal dunia internasional sudah menerima bahwa retroactive law berlaku untuk kejahatan yang luar biasa kejamnya, bom Bali umpamanya.

UUD 1945 yang telah di amendemen juga belum mencantumkan ketentuan seperti Bill of Attainder. Hal itu menyebabnya terjadinya penganiayaan kepada keturunan orang yang dicap sebagai anggota PKI atau organisasi bawahannya. Mereka tidak dapat menjadi pegawai negeri, anggota TNI/Polri, dan lembaga yang strategis. Tidak adanya ketentuan tentang Habeas Corpus juga menyebabkan kesengsaraan rakyat yang menyebabkan adanya penahanan yang tidak legal dan adanya penculikan oleh aparatur negara. Seyogyanyalah, Habeas Corpus menjadi materi UUD.



[1] Kelemahan itu adalah akibat dari kurang matangnya konsep yang hendak diterapkan. Hal itu antara lain terlihat di perdebatan di MPR mengenai Congress di Amerika Serikat. Ketika itu, pemahaman mengenai Congress adalah bahwa Congress hanya suatu forum yang dinamakan joint session. Menurut Konstitusi Amerika, Article I section 2, Congress terdiri dari dua lembaga yakni House of Representative dan Senate. Kedua lembaga itu saling melakukan checks and balances karena mewakili kepentingan yang berbeda. Joint session (Article II section 3) adalah rapat bersama kedua lembaga tersebut untuk mendengarkan State of the Union Address. Joint session juga diadakan untuk mendengarkan pidato Kepala Negara/Pemerintahan yang dianggap penting. Presiden Sukarno pernah menerima kehormatan itu. Sedihnya, akibat tidak matangnya pengetahuan dalam melakukan perbandingan mengenai sistem pemerintahan di Amerika Serikat dan arti joint session menyebabkan wewenang MPR digerogoti dan DPD tidak diberi wewenang untuk melakukan checks and balances dengan DPR.

[2] Istilah yang penulis ambil untuk menyebutkan UUD 1945 setelah amandemen. Nama resmi yang telah ditetapkan MPR untuk menyebut UUD 1945 setelah amandemen adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[3] Akan disampaikan pada kesempatan yang lain.

[4] Tanpa kata “Indonesia”. BPUPK di Jawa dibentuk oleh Tentara ke-16 Rikugun (Angkatan Darat) yang mendduduki Jawa; BPUPK Sumatera dibentuk oleh Tentara ke-25 Rikugun pada bulan Juli 1945, belum sempat bersidang. Di Kalimantan dan Indonesia Timur yang dikuasai Angkatan Laut (Kaigun), belum dibentuk BPUPK karena penguasa Jepang menganggap rakyat “belum matang” untuk merdeka.

[5] Prinsip kedaulatan rakyat. Lihat Yamin,1959:162 ; Sekretariat Negara,1995:103; Kusuma,2004:220.

[6] Yamin,1959: 168-174; Sekretariat Negara,1995:109-116 ; Kusuma, 2004:225-230.

[7] Wawancara penulis dengan Mr.T.Hasan pada 30 Mei 1994 di Jl. Pegangsaan Timur 56 (Yapeta).

[8] Yamin, 1959:410 ; Sekretariat Negara, 1995:426; Kusuma,2004:479

[9] Yamin, 1959: ; Sekretariat Negara, 1995:427; Kusuma,2004: 480

[10] lihat Kusnodiprodjo, 1951:153.

[11] Anggota: Mr. Dr. Kusumah Atmadja, Mr. Kasman Singodimedjo, Mr. R.P. Notosubagyo, Mr. Satochid Kartanegara, Mr. R. Sastromulyono, Mr. M.M. Djojodiguno, Mr. M. Husin Tirta Atmadja, Mr. R.Sudiman, R. Moh. Hamid, Mr. R. Sumardi, Mr. Zainal Abidin, Mr. R. Mulyanto, Mr. R. Djokosutono, Mr. Razif Sutan Andjung, Mr. R. Kusumadi, Mr. M. Sutikno, Mr. R. Sahardjo, Mr. R. Hardjono, Mr. R. P. Notosusanto, Mr. Alwi Sutan Usman dan R. Srihuno Kusumodirdjo; Majalah Panca Raja, 15 Februari 1946.

[12] Komisi Tiga Negara yang dibentuk oleh PBB terdiri dari Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih Belanda dan Amerika Serikat yang dipilih oleh Australia dan Belgia. Salah seorang wakil Amerika, Prof. Frank Graham dari North Carolina University adalah pakar Hukum Konstitusi.

[13] Di sidang BPUPK, Mr. Yamin mengecam dengan pedas sistematika UUD1945 yang disebutnya sebagai melanggar tertib hukum. Menurut beliau, artikel mengenai “kelengkapan umum” bertebaran. Prof. Supomo menolak saran Mr. Yamin untuk mengubah sistematika UUD 1945. Tetapi di UUD 1950, Bentuk dan Kedaulatan di Bab I, Warga Negara di Bab X, dan Bendera dan Bahasa di Bab XV dijadikan satu Bab.

[14] Di sidang BPUPK tanggal 15 Januari.

[15] Lihat R.L.Park, India’s Political System, 1967:78 (The Philosophy of the Constitution is embodied in its Preamble, and in the ‘Directive Principles of State Policy’, that, while being non justiciable, do established the goals toward which the Government of India is expected to strive). Di UUD Myanmar juga terdapat “Asas-Asas Dasar” - ”Directive Principles of State Policy”

[16] Lihat Yamin,1959; Risalah BPUPKI/PPKI, Sekneg, 1995; Kusuma, 2004.

[17] Penjelasan UUD 1945 juga membedakan antara hukum dasar (droit constitutionnel) dan pasal-pasalnya (loi constitutionnelle).

[18] Undang-undang APBN kita sejak tahun 1998 sampai sekarang juga menzalimi rakyat. Hak rakyat untuk mendapat pendidikan dikurangi karena APBN mengalokasikan dana untuk mensubsidi perbankan yang bertugas untuk membayar hutang konglomerat hitam yang dananya lebih besar dari anggaran pendidikan.

[19] lihat Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966.

[20] lihat Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000.

[21] Pada waktu perang Korea sedang berkecamuk, Presiden Truman mengambil alih pabrik baja karena khawatir pemogokan akan mengganggu produksi baja yang diperlukan untuk memenangkan perang. Tindakan Truman oleh Supreme Court dianggap melampaui wewenangnya karena membuat Executive Order yang berkekuatan sebagai Hukum tanpa persetujuan Congress. Lihat William H.Rehnquist, The Supreme Court, 1987: 41-67.

[22] Kedudukan hukum tidak tertulis lebih lemah daripada hukum tertulis.

[23] Berdasar adagium Nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege (seseorang tidak boleh dihukum, bila tidak ada undang-undang yang dibuat sebelumnya). Magna Carta, 1215, sudah mencantumkan ketentuan semacam itu di pasal 39 yang berbunyi: “No Freeman can be arrested, imprisoned, deprived of his property, outlowed, exiled, or ‘in any way destroyed’ except by ‘legal judgement of his peers or the law of the land’”.

[24] Pasal 22 Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.

[25] Mulai dilaksanakan pada waktu mengadili penjahat perang di Nurenberg, Jerman.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox