21 November 2007

Desentralisasi

HAKIKAT DESENTRALISASI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN RI

Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi RI


Pembukaan
Sejak mula dibuatnya konstitusi pertama, UUD 1945, telah di-adopted model negara kesatuan (‘eenheidsstaat’) yang disusun berdasarkan desentralisasi. UUD 1945 yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di kala tanggal 18 Agustus 1945, memuat dalam Pasal 18 UUD 1945 (redaksi lama), di bawah Bab VI, bertajuk Pemerintahan Daerah, bahwasanya “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang sifatnya istimewa”.

Ketua Ir. Soekarno dalam pengantarnya berkenaan dengan pasal pemerintahan daerah itu, berkata :
‘Tentang Pemerintah Daerah, di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi: ”Pemerintah Daerah disusun dalam Undang-Undang “. Hanya saja, dasar-dasar yang telah dipakai untuk negara itu juga harus dipakai untuk Pemerintah Daerah, artinya Pemerintah Daerah harus juga bersifat permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Daerah. Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, Kooti-Kooti, Sultanat-Sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara; jangan sampai ada salah paham dalam menghormati adanya daerah “Zelfbesturende landschappen”, hanyalah daerah saja, tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “Zelfstandige Gemeenschappen” seperti desa, di Sumatera negeri (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”. Susunannya asli itu dihormati”.

Di kala itu, yang disahkan PPKI adalah Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh (37 pasal), Aturan Peralihan (4 pasal), dan Aturan Tambahan (2 butir angka), dan belum ada Penjelasan. Penjelasan, yang kelak dikenal dengan penamaan Penjelasan UUD 1945, baru dimunculkan kurang lebih enam bulan kemudian, dimuat dalam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari 1946, disertai pengantar redaksi, sebagai berikut.
“Oentoek memberikan kesempatan lebih loeas lagi kepada oemoem mengenai isi Oendang-Oendang Dasar Pemerintah jang semoelanya, di bawah ini kita sadjikan pendjelasan selengkapnja”.

Penjelasan tersebut memang tidak dimaksudkan sebagai bagian naskah otentik konstitusi, apalagi penjelasan itu tidak dibuat serta tidak disahkan oleh PPKI. Pemuatan Penjelasan UUD 1945 pada halaman 51 sampai dengan 56 Berita Repoeblik Indonesia terpisah dari pemuatan UUD 1945 (halaman 45 sampai dengan 48), di antarai dengan pemuatan nama-nama daerah (provinsi) dalam lingkungan republik serta Makloemat Pemerintah Repoeblik Indonesia, bertanggal 1 November 1945, yang ditandatangani Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta. Menelaah rumusan bagian ‘Oemoem’ dari Penjelasan UUD 1945 serta Penjelasan tafsir setiap pasal UUD dapat disimpulkan bahwasanya naskah Penjelasan UUD 1945 hampir seluruhnya disusun oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo, Menteri Kehakiman di awal Pemerintahan RI.

Pada Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah, dikemukakan:
I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.
Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeen-schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Beberapa pakar hukum tata negara, antara lain Harun Alrasid, memandang Penjelasan UUD 1945 bukan merupakan bagian dari konstitusi karena tidak dibuat oleh PPKI. Tatkala UUD 1945 diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden RI, tanggal 5 Juli 1959, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 150 Tahun 1959, dimuat dalam Lembaran Negara RI Nomor 75. Tahun 1959, Penjelasan UUD 1945 merupakan bagian otentik dari konstitusi yang didekritkan itu. Kelak, berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945, Penjelasan UUD 1945 tidak lagi menjadi bagian dari UUD 1945 yang diamandemen. De Penjelasan is geen meer !

Desentralisasi: Bagian Dari Bentuk Negara (Staatsvorm)
Bentuk Negara (Staatsvorm) berpaut dengan negara secara keseluruhan. Der Staat als Ganzheit. Negara dalam wujud entitas (kesatuan). Negara dilihat dari luar, kata Djokosutono (Harun Alrasid, 1985:50). Menurut Djokosutono, bentuk negara (staatsvorm) harus dibedakan dengan regeringsvorm atau regierungsformen, lazim disebut bentuk pemerintahan. Regeringsvorm atau regierungsformen berpaut dengan struktur negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dengan alat perlengkapan negara lainya, hubungan antara staatsinstellingen. Negara dilihat dari dalam.

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, di bawah Bab I, bertajuk Bentuk dan Kedaulatan, menetapkan bahwasanya “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Pasal konstitusi dimaksud masih perlu menjawab constitutionele vraagstuk yang dimunculkan manakala suatu negara kesatuan (eenheidstaat) merupakan bagian dari bentuk republik, apakah negara kesatuan dimaksud disusun berdasarkan sistem sentralisasi ataukah desentralisasi.

Menurut Sri Soemantri Martosoewignyo [1984, (42, 45)], bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah negara kesatuan berbentuk republik, kemudian diikuti dengan sistem desentralisasi, menurut Pasal 18 UUD 1945 (redaksi lama).

Dalam pada itu, Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Pertama, berbunyi, ”Negara Kesatuan Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Kedua, berbunyi, “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dibaca secara terpisah dengan Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).

Bagi penulis, bentuk negara (de staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami– dalam makna: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang disusun berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-luasnya, menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).

Bentuk negara kesatuan yang berbentuk republik, dan disusun berdasarkan desentralisasi itu merupakan constitutionele kenmerken dari de staatsvorm van Republik Indonesia.

Penyerahan Secara Delegasi
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI, menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004).

Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority.

Dalam pada itu, pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dalam kaitan dekonsentrasi, menurut Pasal 1 angka 8 UU Nomor 32 Tahun 2004, merupakan pelimpahan wewenang berdasarkan mandatum, atau mandat.

Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi. Dalam hal pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator.

Dengan demikian, dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah otonom, artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri, b. pertahanan, c. Keamanan, d. Yustisi, e. moneter dan fiskal nasional, f. agama.

Secara harfiah, kata desentralisasi berasal dari dua penggalan bahasa Latin, yakni: de berarti lepas, centrum berarti pusat. Desentralisasi memang merupakan staatskundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan), bukan ambtelijke decentralisatie, seperti halnya dengan dekonsentrasi (RDH Koesoemahatmadja, 1979).

Pemerintahan pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan RI.

Rakyat Bersebar di Daerah-Daerah Otonom
Rakyat adalah pemegang kedaulatan. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (redaksi baru) Perubahan Ketiga, berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD. Rakyat yang berdaulat tidak boleh menyimpang dari konstitusi, artinya rakyat sendiri selaku pemegang kedaulatan harus tunduk pada UUD. Di sinilah hakikat konstitusionalisme. Manakala Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan, “Negara Indonesia adalah negara hukum” maka pasal-pasal konstitusi dimaksud menyimpulkan bahwasanya negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis.

Secara hukum dan administratif, rakyat banyak nan berdaulat itu bersebar dan menempati segenap daerah otonom, termasuk rakyat penduduk ibukota Jakarta adalah pula penduduk daerah otonom DKI Jakarta Raya.

Rakyat banyak dalam wilayah negara RI adalah penduduk di segenap daerah otonom. Hukum dan konstitusi harus pertama-tama dipatuhi dan ditegakkan di daerah-daerah otonom itu. Membangun pemerintahan daerah harus dibarengi dengan pematuhan dan penegakan hukum, konstitusi dan demokrasi. Pemerintah daerah dan DPRD merupakan avant–garde mempelopori dan meneladani hal pematuhan dan penegakan hukum, konstitusi dan demokrasi itu.

Sistem Pemilihan Kepala Daerah dan DPRD
Manakala hakikat desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom guna mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, seyogyanya sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan DPRD di daerah-daerah otonom harus mencontoh sistem pemilihan presiden dan wakil presiden dan DPR pada tataran pemerintahan pusat.

Tatkala Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Ketiga, menetapkan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat” maka pemilihan kepala daerah dan wakl kepala daerah (Pilkada) tepat manakala dipilih pula secara langsung, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (5) juncto Pasal 56 Ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung menciptakan strong government sebagaimana halnya dengan pemilihan presiden dan wakil presiden yang pada gilirannya mencapai pemerintahan yang stabil.

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana halnya dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yang dipilih secara langsung tidak dapat dijatuhkan secara politis, kecuali kelak didapati melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat memangku jabatan publik tersebut, melanggar sumpah atau janji jabatan. Seperti halnya dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dicalonkan oleh partai politik atau golongan partai politik.

Dalam pada itu, pemilihan anggota DPRD dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilihan anggota parlemen lokal dimaksud dinyatakan tergolong pemilihan umum atau general election. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Ketiga, berbunyi, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 (redaksi baru), berbunyi pula, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Constitutionele vraagstuk: manakala pemilihan anggota parlemen lokal (DPRD) dinyatakan tergolong pemilihan umum (pemilu), apakah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah juga tergolong pemilu, ataukah merupakan pemilihan lokal yang merujuk belaka pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 (redaksi baru)?

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 (redaksi baru), berbunyi, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupeten, dan kota dipilih secara demokratis”, namun tidak –secara expressis verbis- menetapkan bahwa Pilkada tergolong pemilu. Hal dimaksud pernah dipertanyakan melalui pengujian undang-undang oleh 5 LSM, Yayasan Pusat Reformasi Pemilu (CETRO) dkk dan 16 KPU-D, KPU Provinsi DKI dkk kepada Mahkamah Konstitusi, didaftarkan sebagai Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004.

Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004, tanggal 22 Maret 2005, antara lain berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilihan umum, sebagaimana dimaksudkan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, Pilkada langsung adalah pemilihan umum secara materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalam penyelenggaraan Pilkada dapat saja berbeda dengan Pemilu sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada, meskipun tetap didasarkan atas asas-asas pemilihan umum yang berlaku.

Dalam menjabarkan makna konstitusional ‘dipilih secara demokratis’ dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, pembuat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara langsung. Asas-asas penyelenggaraan pemilihan umum, sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (1) UUD NRI tahun 1945, niscaya tercermin dalam penyelenggaraan Pilkada yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) yang diselenggarakan oleh lembaga yang independen.

Oleh karena pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) tergolong pemilu maka ke depan, perselisihan hasil Pilkada seyogyanya diperiksa, diadili dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi.

Post Scriptum
Undang-undang pemerintahan daerah yang dibuat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasi hakikat desentralisasi. Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom harus berlangsung secara delegasi. Tidak tepat Peraturan Daerah (Perda) ditempatkan pada hierarki Peraturan Perundang-undangan terbawah, di bawah Peraturan Presiden (= UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Locale wet atau Perda dibuat guna melaksanakan undang-undang, wet atau Gesetz.

UU Nomor 32 Tahun 2004 belum sepenuhnya menerangkan hakikat desentralisasi. Produk Perda seyogyanya tidak dibatalkan oleh perangkat pemerintah pusat. Perda yang menyimpang dari hukum dapat setiap saat dibawakan ke Mahkamah Agung dan pada ketikanya perda yang menyimpang dari hukum itu dapat dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh MA-RI.

APBD dan anggaran DPRD harus didasarkan Perda dan merupakan kewenangan badan legislatif daerah sendiri.



Daftar Pustaka
Alrasid, Harun, 1982. Kuliah-Kuliah Hukum Tata Negara dari Prof. Mr. Djokosutono, Jakarta: Ghalia Indonesia.
___________, 1985. Kuliah-Kuliah Ilmu Negara dari Prof. Mr. Djokosutono, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Koesoemahatmadja, RDH, 1979. Pengantar Ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bandung: Bina Cipta.
Kusuma, RM, A.B., 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Martosoewignyo, R. Sri Soemantri, 1984. ”Bentuk Negara dan Implementasinya Berdasarkan UUD 1945”, dalam Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini (Padmo Wahyono ed.), Jakarta: Ghalia Indonesia.
Marzuki, M. Laica, 2006. ”Hukum dan Pembangunan Daerah Otonom”, dalam Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Buku Kesatu, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
___________, 2006. ”Otonomi Daerah Yang Seluas-luasnya : Taruhan Terakhir Negara Kesatuan RI”, dalam Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Buku Kesatu, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
___________, 2006. ”Peradilan dan Otonomi Daerah”, dalam Berjalan-Jalan di Ranah Hukum, Buku Kesatu, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Riekerk, GHM, 1953. Satu Dua Aspek Desentralisasi, Dilihat Dari Sudut Ilmu Politik, Jakarta: Timun Mas, NV.
sumber: Jurnal Konstitusi vol 4 no. 1 (maret 2007) hal. 7-14

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox