26 November 2008

Sistem Negara Kerajaan Majapahit

Oleh: Dr. Purwadi, M.Hum

(Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta)

Abstrak

This research aim to describes governance system of Majapahit Kingdom. Intellectuals of Majapahit give a lot of cultural herritage. One of idiomatic expressions from Majapahit Kingdom that fills morality and spirituality is Bhinneka Tunggal Ika. This slogan becomes world view of the Indonesian Country. That mean is unity in diversity referring to the unity of Nusantara as the national and its ethnic diversity. This idiom is taken from the Kitab Sutasoma, created by Sang Pujangga Agung Empu Tantular. Its interpretation are indicated of the perception and imagined by ancient Javanese community in the Kraton Majapahit. The old Javanese literature has full wisdom and traditional education that can be considered as one of the edutainment local genius. Pujangga Empu Prapanca writes Kitab Negara Kertagama that consist about governance, law, art, and society system completely.
Key words: governance system, Majapahit, Negara Kertagama



A. Pendahuluan
Kerajaan Majapahit sangat berpengaruh di nusantara. Ketika nusantara dipersatukan kembali dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, gagasan warisan Majapahit tampil dalam konsep kepemimpinan nasional. Ciri kepemimpinan nasional pun terpengaruh ide-ide kerajaan nasional kedua itu. Dengan demikian, dalam rangka memajukan kebudayaan nasional, kebudayaan Majapahit memberikan sumbangsih yang besar maknanya. Misalnya saja, semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, adalah berasal dari kata mutiara yang dirangkai oleh Empu Tantular, seorang pujangga istana Majapahit pada abad ke-13 Masehi.

Pada zaman Majapahit perkembangan kitab-kitab kesusasteraan pesat sekali. Misalnya Parthayadnya, Nitiçastra, Nirarthaprakrêta, Dharmaçunya, Hariçraya, Tantu Panggêlaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawaçrama, Pararaton, Déwaruci, Sudamala Kidung Subrata, Panji angrèni dan Sri Tanjung (Brandes, 1896). Karya sastra pada zaman Majapahit itu terdiri dari kitab-kitab Jawa Kuno yang tergolong muda dan sebagian lagi berbahasa Jawa Tengahan. Kitab-kitab ini juga memberi pedoman tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan moralitas kenegaraan.

Filsafat kenegaraan yang hingga kini tetap populer adalah motto kebangsaan bhinneka tunggal ika yang dikutip dari kitab Sutasoma buah karya Empu Tantular. Menurut kajian Toru Aoyama (1991), ahli sastra Jawa Kuno berkebangsaan Jepang dikatakan sebagai berikut, “Bhinneka tunggal ika”, a national slogan of the Republic of Indonesia, is customarily translated into English as “unity in diversity” referring to “the unity of Indonesia as the national and its ethnic diversity”. The phrase is taken from the kakawin Sutasoma, composed by the fourteenth century poet mpu Tantular.

Kerajaan Majapahit terletak di lembah sungai Brantas di sebelah tenggara kota Majakerta di daerah Tarik, sebuah kota kecil di persimpangan Kali Mas dan Kali Porong. Pada akhir tahun 1292 tempat itu masih merupakan hutan belantara, penuh dengan pohon-pohon maja seperti kebanyakan tempat-tempat lainnya di lembah sungai Brantas. Berkat kedatangan orang-orang Madura, yang sengaja dikirim ke situ oleh Adipati Wiraraja dari Sumenep, hutan itu berhasil ditebangi untuk dijadikan ladang yang segera dihuni oleh orang-orang Madura dan dinamakan Majapahit (Brandes, 1904).
Tulisan ini bermaksud mengkaji aspek sistem tata pemerintahan, hukum dan sosial kemasyarakatan kerajaan Majapahit.


B. Teritorial Keraton Majapahit
Pada permulaan tahun 1293, ketika tentara Tartar di bawah pimpinan Shih-pi, Kau Hsing dan Ike Mesa datang ke situ, kepala desa Majapahit bemama Tuhan Pijaya, yakni Nararya Sanggramawijaya. Setelah Daha runtuh dalam bulan April 1293 berkat serbuan tentara Tartar dengan bantuan Sanggramawijaya, desa Majapahit dijadikan pusat pemerintahan kerajaan baru, yang disebut kerajaan Majapahit (Slamet Mulyono, 1979). Pada waktu itu wilayah kerajaan Majapahit meliputi daerah kerajaan lama Singasari, hanya sebagian saja dari Jawa Timur. Sepeninggal Rangga Lawe pada tahun 1295, atas permintaan Wiraraja sesuai dengan janji Sanggramawijaya, kerajaan Majapahit dibelah dua.

Bagian timur, yang meliputi daerah Lumajang, diserahkan kepada Wiraraja. Demikianlah pada akhir abad ke-13 kerajaan Majapahit itu hanya meliputi daerah Kediri, Singasari, Jenggala (Surabaya) dan pulau Madura. Dengan penumpasan Nambi pada tahun 1316 daerah Lumajang bergabung lagi dengan Majapahit seperti tercatat pada Prasasti Lamongan.. Sejak tahun 1331 wilayah Majapahit diperluas berkat integrasi Sadeng, di tepi sungai Badadung dan Keta di pantai utara dekat Panarukan. Pada waktu itu wilayah kerajaan meliputi seluruh Jawa Timur dan pulau Madura. Setelah seluruh Jawa Timur dikuasai penuh. Majapahit mulai menjangkau pulau-pulau di luar Jawa, yang disebut Nusantara. Menurut pararaton politik perluasan wilayah ke Nusantara bertalian dengan program politik Gajah Mada yang diangkat sebagai patih Amangkubumi pada tahun 1334.

Sebagai implementasi program politik itu, pembesar-pembesar Majapahit yang tidak menyetujui, disingkirkan oleh Gajah Mada. Namun pelaksanaannya baru berjalan mulai tahun 1343 dengan integrasi Bali, pulau yang paling dekat pada Jawa. Antara tahun 1343 dan 1347 Empu Adityawarman meninggalkan Jawa untuk mendirikan kerajaan Malayapura di Minangkabau, Sumatra, seperti diberitakan dalam Prasasti Sansekerta pada arca Amoghapasa, 1347. Pada Prasasti itu Adityawarman bergelar Tuhan Patih.

Pada tahun 1377 Suwarna Dwipa diserbu oleh tentara Jawa. Tarikh integrasi Suwarna Dwipa di sekitar tahun 1350; keruntuhannya mengakibatkan jatuhnya daerah-daerah otonomnya di Sumatra dan di Semenanjung Tanah Melayu ke dalam kekuasaan Majapahit. Dua belas daerah otonom Suwarna Dwipa; 1. Pahang; 2. Trengganu; 3. Langkasuka; 4. Kelantar; 5. Woloan; 6. Cerating; 7. Paka; 8. Tembeling; 9. Grahi 10. Palembang 11. Muara Kampe; 12. Lamuri. Hampir semua daerah itu disebut dalam daftar daerah-daerah otonom Majapahit. Daftar itu juga menyebut nama-nama daerah otonom lainnya. Rupanya Palembang dijadikan batu loncatan bagi tentara Majapahit untuk menundukkan daerah-daerah lainnya di sebelah barat pulau Jawa.

Di daerah-daerah ini tidak dijumpai prasasti sebagai bukti adanya kekuasaan Majapahit. Hikayat-hikayat daerah, yang ditulis kemudian, menjelaskan adanya hubungan antara berbagai daerah dengan Majapahit dalam bentuk sejarah, tidak sebagai catatan sejarah khusus. Sejarah-sejarah itu menunjukkan sekadar kekaguman terhadap keagungan Majapahit. Tentang kejayaan serbuah Tumasik oleh tentara Majapahit berkat belot seorang pegawai kerajaan, yang bernama Rajuna Tapa (Prijana, 1938). Memang setelah peperangan Rajuna Tapa dan terkena umpat sebagai balasan pengkhianatannya, berubah menjadi batu di sungai Singapura, rumahnya roboh, dan beras simpanannya menjadi tanah. Sejarah itu mengingatkan serbuan Tumasik oleh tentara Majapahit di sekitar tahun 1350, karena Tumasik termasuk salah satu pulau yang harus ditundukkan dalam program politik Gajah Mada, dan tercatat dalam daftar daerah otonom Majapahit. Negara Islam Samudra di Sumatra Utara juga tercatat sebagai daerah otonom Majapahit.

Pulau-pulau di sebelah timur Jawa pertama-tama di sebut pulau Bali, yang ditundukkan pada tahun 1343 berikut pulau lombok atau Gurun yang dihuni oleh suku Sasak. Kedua pulau ini hingga sekarang menunjukkan adanya pengaruh kuat dari Majapahit, sehingga penguasaan Majapahit atas Bali dan lombok tidak diragukan. Kota Dompo yang terletak di pulau Sumbawa menurut Negara Kertagama dan Pararaton ditundukkan oleh tentara Majapahit di bawah pimpinan Empu Nata pada tahun 1357 (Bratadiningrat, 1990).

Penemuan Prasasti Jawa dari abad empat belas di pulau Sumbawa memperkuat pemberitaan Negara Kertagama dan Pararaton di atas, sehingga penguasaan Jawa atas pulau Sumbawa tak dapat lagi disangsikan. Prasasti itu adalah satu-satunya yang pernah dijumpai di kepulauan di luar Jawa. Rupanya Dompo dijadikan batu loncatan bagi Majapahit untuk menguasai pulau-pulau kecil lainnya di sebelah timur sampai Wanin di pantai barat Irian.

Berbeda dengan di Sumatra dan Kalimantan di daerah sebelah timur Jawa, kecuali di Bali dan Lombok, tidak ada hikayat-hikayat daerah, oleh karena itu juga tidak ada sejarah tertulis tentang hubungan Majapahit dengan daerah-daerah tersebut. Daerah-daerah di luar Jawa yang dikuasai Majapahit pada pertengahan ahad empat belas, yaitu di Sumatra: Jambi, Palembang, Darmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan, Lampung.

Di Kalimantan: Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei, Malano. Di Semenanjung Tanah Melayu: Pahang, Langkasuka, Kelantan, Saiwang, Nagor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah, Jerai. Sebelah timur Jawa: Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung Api, Seram, Hutan Kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Saparua, Solor, Bima, Banda, Ambon atau Maluku, Wanin, Seran, Timor.

C. Desentralisasi Pemerintahan
Pengertian daerah otonom pada abad empat belas berbeda dengan pengertian koloni dalam zaman modern. Persembahan pajak yang tidak banyak nilainya, oleh daerah tertentu kepada Majapahit sudah dapat dianggap sebagai bukti pengakuan kekuasaan Majapahit atas daerah yang bersangkutan dan karenanya daerah itu dianggap sebagai daerah otonom.

Ditinjau dari sudut politik timbulnya Majapahit sebagai kekuasaan besar di Asia Tenggara yang sanggup menghimpun berbagai daerah dan kepulauan di bawah lindungan satu negara, merupakan peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi (Darusuprapta. 1984). Penyatuan Jawa dan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit menyebabkan timbulnya kuasa besar yang ditakuti oleh negara-negara tetangga di daratan Asia.

Pertumbuhan itu membawa banyak akibat, di antaranya hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Bertambah luas wilayahnya, bertambah sukar memerintahnya dan bertambah besar jumlah alat pemerintahannya (Slamet Mulyono, 1979). Di Jawa ada sebelas daerah otonom, masing-masing diperintah oleh raja dan lima daerah atau propinsi yang disebut mancanegara, masing-masing diperintah juru pangalasan atau adipati, yakni: 1. Daha, diperintah oleh Bre Daha alias Dyah Wiyat Sri Rajadewi; 2. Wengker, diperintah oleh raja Wijayarajasa; 3. Matahun, diperintah oleh raja Rajasa Wardana; 4. Lasem, diperintah oleh Bre Lasem; 5. Pajang, diperintah oleh Bre Pajang; 6. Paguhan. diperintah oleh raja Singa Wardana; 7. Kahuripan, diperintah oleh Tribuwana Tunggadewi; 8. Singasari, diperintah oleh raja Kerta Wardana; 9. Mataram, diperintah oleh Bre Mataram alias Wikrama Wardana; 10. Wirabumi, diperintah oleh Bre Wirabumi; 11. Pawanuhan, diperintah oleh putri Surawardani.

Semua pemegang kuasa di daerah otonom adalah keluarga raja Majapahit. Lima provinsi yang disebut mancanagara disebut menurut kiblat, yakni utara, timur, selatan barat dan pusat, masing-masing diperintah oleh juru pangalasan yang bergelar rakryan. Baik daerah otonom maupun daerah mengambil pola pemerintahan pusat. Raja dan juru pangalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab namun pemerintahannya dikuasakan kepada patih sama dengan pemerintahan pusat, di mana raja Majapahit adalah orang yang bertanggung jawab, tetapi pemerintahannya ada di tangan patih amangkubumi atau patih seluruh negara. Itulah sebabnya para patih jika datang ke Majapahit mengunjungi gedung kepatihan amangkubumi yang dipimpin oleh Gajah Mada. Administrasi pemerintahan Majapahit dikuasakan kepada lima pembesar yang disebut sang panca ri Wilwatikta yakni, patih seluruh negara, demung, kanuruhan, rangga dan tumenggung.

Mereka itulah yang banyak dikunjungi oleh para pembesar daerah otonom dan daerah untuk urusan pemerintahan. Apa yang direncanakan di pusat, dilaksanakan di daerah oleh para pembesar tersebut. Dari patih perintah turun ke wedana, semacam pembesar distrik; dari wedana turun ke akuwu, pembesar sekelompok desa, semacam lurah zaman sekarang; dari akuwu turun ke buyut, pembesar desa dari buyut turun kepada penghuni desa (Meinsma, 1903.

Tingkat organisasi pemerintahan di Majapahit dari pucuk pimpinan negara sampai rakyat; pedesaan. Di samping mengumpulkan pajak mereka membuat laporan tentang keadaan tempat-tempat yang mereka kunjungi. Dengan jalan demikian pemerintah pusat mengetahui seluk-beluk keadaan daerah. Dapat dipastikan bahwa Empu Prapanca sebagai darmadyaksa kasogatan memanfaatkan laporan-laporan para pendeta yang pernah berkunjung ke daerah-daerah.

D. Diplomasi Politik
Nama beberapa negara yang memang mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit seperti Syangka, Ayudaputra, Darmaanagari, Marutama, Rajaputra, Campa, Kamboja dan Yawana (Slamet Mulyono, 1979). Daftar nama itu hampir serupa dengan nama-nama yang disebut tentang tamu-tamu asing yang sering berkunjung ke Majapahit, terutama para pedagang dan para pendeta. Banyak di antara para pendeta asing yang menetap di Majapahit berkat pelayanan yang baik. Mereka itu adalah penyebar kebudayaan india. Berkat usahanya hinduisme di Majapahit bertambah kuat.

Hubungan persahabatan itu didasari atas kunjungan para pedagang dan pendeta bukan karena perwakilan asing timbal balik di negara-negara yang bersangkutan seperti sekarang. Tali persahabatan itu dimaksudkan sebagai usaha untuk menghindarkan serbuan tentara asing ke daerah otonom Majapahit di seberang lautan, terutama di Semenanjung Tanah Melayu karena negara-negara tetangga itu kebanyakan berbatasan atau berdekatan dengan daerah bawahan tersebut. Lagipula sebagian besar negara itu menganut agama Hindu/Budha seperti Majapahit.

Hubungan Sri Langka dengan Majapahit telah dimulai sejak pemerintahan Jayanagara, karena dalam Prasasti Sidateka, 1323, raja Jayanagara menggunakan nama abiseka Sri Sundarapandya Adiswara, sedangkan unsur Pandya mengingatkan dinasti Pandya di Sri Langka. Nama Sri Langka sudah dikenal sejak abad tigabelas sebagai daerah otonom Sriwijaya. Persahabatan antara Sri Langka dan Majapahit. Hubungan antara Ayuda dan Majapahit bertarikh disekitrar tahun 1350, setelah Ramadipati berhasil menyerbu Sukhothai dan menawarkan raja Lu Thai pada tahun 1349 kemudian mendirikan kerajaan Dwarawati.

E. Tata Birokrasi Keraton
Penjelasan tata negara di sini adalah tata pemerintahan negara Majapahit yang terjadi pada zaman pemerintahan Prabu Hayamwuruk. Karena Nagara Kertagama menjelaskan tata negara, untuk memperoleh gambaran yang agak jelas. Negara mempunyai pertalian erat dengan wilayah yang terbatas. Pada tahun 1292 negara Majapahit hanya merupakan desa di sebelah timur sungai Brantas yang dibangun dengan pembukaan hutan Tarikh oleh Sanggramawijaya. Desa itu diberi nama Majapahit. Semula para penduduknya hanya orang-orang Madura yang dikirim oleh Adipati Wiraraja untuk menebang hutan Tarikh, kemudian bertambah dengan orang-orang Singasari yang bersimpati kepada Nararya Sanggramawijaya. Nararya Sanggramawijaya menjadi kepala desa tersebut pada permulaan tahun 1293 setelah ia meninggalkan Daha.

Demikianlah pada permulaan tahun 1293 Majapahit masih berupa desa kecil, dengan jumlah penduduk yang sangat terbatas, dikepalai oleh Nararya Sanggramawijaya. Itulah pengertian Majapahit pada tahun 1293. Setelah Nararya Sanggramawijaya berhasil mengalahkan raja Jayakatwang dari Kediri dengan perantara tentara Tartar pada akhir bulan Maret dan kemudian mengusir tentara Tartar pada akhir bulan Maret dan kemudian mengusir tentara Tartar pada tanggal 24 April maka ia mengambil-alih kekuatan raja Jayakatwang dan wilayah kerajaan Kediri. Majapahit ditingkatkan menjadi ibukota kerajaan, wilayahnya diperluas dan dan kepalanya diwisuda sebagai raja. Majapahit berubah dari desa menjadi kerajaan dan desa Majapahit menjadi pusat kerajaan Majapahit. Wilayah Majapahit semakin luas dengan adanya Patih Gajah Mada yang melakukan ekspedisi ke pulau-pulau luar Jawa yang biasa disebut Nusantara. Dengan integrasi berbagai pulau nusantara sesudah tahun 1334 wilayah kerajaan Majapahit bertambah luas meliputi dari pantai barat Irian sampai Langkasuka di Semenanjung Tanah Melayu (Slamet Mulyono, 1979). Seluas itulah wilayah kerajaan Majapahit pada zaman pemerintahan Prabu Hayamwuruk. Pulau-pulau nusantara yang tunduk pada Majapahit menjadi bawahan kerajaan Majapahit.

Raja-raja di pulau Jawa yang mempunyai hubungan dengan Prabu Hayamwuruk dan masing-masing mempunyai kekuatan penuh di negaranya seperti Tri Buwana Tungga Dewi di Kahuripan, Kerta Wardana di Singasari, Wijaya Rajasa di Wengker, Dyah Wyah Rajadewi di Daha, Bre Wirabumi di Wirabumi, Dyah Suwawardani di Pawawanuhan, Bre Lasem di Lasem, Rajasa Wardana di Matahun, Bre Panjang di Panjang, Singa Wardana di Paguhan. Mereka itu semuanya tunduk kepada Majapahit. Negaranya adalah bawahan Majapahit. Para raja di pulau Jawa masing-masing mempunyai negara dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba raja (Priyohutomo, 1934).

Orang datang di tanah Tarikh untuk menebangi hutan dan ilalang. Ketika mereka lapar mereka masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan, mereka bertemu dengan banyak pohon yang sedang berbuah. Segera buah dipetik lalu dimakan. Namun rasanya pahit sekali. Mereka yang tidak suka melepehnya sedangkan yang makan karenanya mabuk. Buah itu adalah buah maja. Daerah hutan Tarikh yang sedang dibuka itu diberi nama Majapahit. Suatu kenyataan bahwa pohon maja banyak tumbuh di daerah sungai Brantas hingga sekarang. Itu sebabnya beberapa tempat di daerah sungai Brantas mengandung nama maja: Majakerta, Majawarna, Majaagung, Majajejer, Majasari, Majarata. Singkatnya nama di atas didasarkan atas nama pohon yang tumbuh di daerah yang bersangkutan. Pembentukan nama yang demikian adalah peristiwa biasa (Ricklefs, 1995).

Dalam Negara Kartagama nama Majapahit sering diganti dengan nama Wilwatika, Tiktawilwa atau Tiktasripala. Peristiwa demikian adalah peristiwa biasa dalam rangka kakawin. Nama-nama yang sebenarnya adalah Majapahit. Pada Prasasti Penanggungan 1296 terdapat persamaan antara susunan pemerintahan Majapahit dan daerah otonom Daha seperti berikut :
Rakryan patih : Empu Tambi
Rakryan patih Daha : Empu Sora
Rakryan Demung : Empu Renteng
Rakryan Demung Daha : Empu Rakat
Rakryan Kanuruhan : Empu Elam
Rakryan Kanuruhan Daha : Empu Iwar
Rakryan Rangga : Empu Sasi
Rakryan Rangga Daha : Empu Dipa
Rakryan Tumenggung : Empu Wahana
Rakryan Tumenggung Daha : Empu Pamor

Patuh daerah otonom dan daerah mempunyai tanggung jawab langsung dalam pemerintahan di daerah. Wilayah daerah dibagi dalam beberapa bagian, masing-masing dipimpin oleh wadana. Satu Kewadanan dibagi dalam beberapa kelompok desa, masing-masing dipimpin oleh akuwu. Tiap pakuwuan terdiri dari beberapa desa masing-masing dipimpin oleh buyut atau ketua desa. Demikianlah pembagian wilayah Majapahit dalam pemerintahan yang dikendalikan dari pusat oleh patih amangkubumi sebagai pembantu utama raja dalam soal pemerintahan.

F. Posisi Kepala Negara
Kepala negara Majapahit adalah seorang raja yang memperoleh kekuasaan berkat keturunan kecuali raja Kertarajasa Jaya Wardana, raja pertama (Moedjanto, 1994). Di samping memegang pucuk pimpinan dalam pemerintahan, raja Majapahit juga merupakan kepala dalam lingkungan kerabat raja, berkat kedudukannya. Pada umumnya gelar Majapahit ialah baginda maharaja seperti tercatat pada Prasasti Penanggungan baginda maharaja, Sri Yawabwana-parameswara, pada Prasasti Kertarajasa Jaya Wardana tahun 1305 maharaja Naraya Sanggramawijaya; pada prasasti Lamongan baginda maharaja, pada prasasti Sidateka 1323 baginda maharaja rajadiraja parameswara sri Wiralandagopala; baginda maharaja Sri Wisnuwardani; pada prasasti Nglawang baginda maharaja (Suyamto, 1992).

Gelar baginda maharaja tidak disebut, misalnya pada prasasti Trowulan 1358 paduka Sri Tiktawilwa Nareswara, Sri Rajasa Nagara. Sebutan maharaja terbukti tidak semata-mata diperuntukkan bagi raja Majapahit saja (Slamet Mulyono, 1979). Raja-raja daerah otonom terbukti juga menggunakan gelar maharaja seperti tercatat pada Prasasti: Sri Barata Kerta Wardana maharaja, Batara Sri Wijayarajasa maharaja. Raja wanita juga menggunakan gelar maharaja bukan maharani seperti terbukti dari Prasasti di atas. Tribuwana Tungga Dewi Jaya Wisnu Wardani bergelar maharaja. Pada Prasasti tercatat baginda maharaja Sri Wisnuwardani. Dalam sejarah Majapahit kedudukan raja tidak semata-mata di peruntukkan bagi pria. Seorang wanita juga dapat menjadi raja seperti terbukti dalam prasasti tersebut di atas. Tri Buwana Tungga Dewi adalah raja wanita (rani) pertama di Majapahit yang memerintah dari tahun 1328 sampai dengan 1351.

Raja wanita yang kedua ialah Khusumawardani yang disebut prabu stri dalam pararaton; memerintah dari tahun 1427 sampai dengan 1429 menggantikan suaminya Wikrama-Wardana. Berdasarkan adat keturunana Kusuma Wardani adalah ahli waris tahta kerajaan Majapahit karena beliau adalah putri Prabu Hayamwuruk Sri Rajasa Nagara, lahir dari permaisuri Indudewi. Bre Wharabumi juga putra Sri Rajasa Nagara, lahir dari selir, tidak pernah menjadi raja Majapahit. Setelah raja Sri Rajasa Nagara mangkat pada tahun 1389 kemudian yang menjadi raja Majapahit adalah suami putri Kusuma Wardani bernama Wikrama Wardana putra Bre Pajang seorang kemanakan Hayamwuruk.

Wikrama Wardana mengambil alih hak atas tahta dari tangan putri mahkota Khusumawardani. Penyerahan hak atas tahta oleh putri Kusumawardani kepada Wikrama antara Kusuma Wardani dan Bre Wirabumi. Peperangan antara Wikrama Wardana dan Bre Wirabumi meletus pada tahun 1406. Raja yang ketiga adalah Dewi Suhita, putri Wikrama Wardana dalam pernikahanya dengan Kusuma Wardani; memerintah dari tahun 1492 sampai dengan 1447 (Pigeaud, 1924). Penobatan Tribuwana Tungga Dewi sebagai raja Majapahit berlangsung sepeninggalan raja Jayanagara pada tahun 1328. Beliau adalah salah seorang di antara dua wanita ahli waris tahta kerajaan Majapahit. Kedua-duanya lahir dari Sri Rajapatni bukan dari permaisuri Tribuana, sedangkan Jayanagara adalah putra raja Kertarajasa lahir dari putri Indreswari alias Dyah Dara Petak. Berdasarkan Prasasti kertajasa tahun 1305, Jayanagara putra permaisuri Tribuwana.

G. Dewan Penasehat Raja
Tanggung jawab negara sepenuhnya ada di tangan raja. Dalam melaksanakan pemerintahan raja dibantu oleh berbagai pejabat berbagai bidang yang diangkat oleh Ingkang Sinuwun Prabu. Dalam menetapkan kebijaksaanaan pemerintah dan mengambil keputusan yang penting seperti misalnya pengangkatan patih amangkubumi atau pejabat penting lainnya raja dibantu oleh para kerabat karena urusan negara dalam kerajaan adalah urusan kerabat raja. Sebelum mengambil keputusan mengenai perkara yang penting Ingkang Sinuwun mengadakan musyawarah dengan para kerabat. Mengenai pengangkatan calon pengganti Patih Gajah Mada pada tahun 1364. Yang hadir pada musyawarah tahun 1364 ialah Ingkang Sinuwun sebagai kepala negara dan kepala kerabat, Tri Buwana Tungga Dewi dan Sri Kerta Wardana, Dyah Wiyah Rajadewi dan Sri Wijayarajasa, Bre Lasem dan Sri Rajasa Wardana, Bre Pajang dan Sri Singa Wardana.

Kerabat raja itu dapat di sebut Dewan Pertimbangan Agung pemerintah Majapahit. Pada tahun 1364 terdiri dari sembilan orang, termasuk Ingkang Sinuwun. Jumlah keanggotaannya bergantung kepada jumlah anggota kerabat yang ada. Rupanya dewan pertimbangan agung itu bersidang setiap kali Ingkang Prabu akan mengambil keputusan mengenai perkara penting yang menghendaki kebulatan pendapat dari para kerabat. Namun tidak semua keputusan musyawarah Dewan Pertimbangan Agung itu sampai kepada kita. Prasasti Singasari 1351.

Prasasti tersebut menguraikan tentang pembangunan candi pasareyan Empu Prapancasara yang dibuat oleh Tri Buwana Tungga Dewi Jaya Wisnu Wardani sebagai kepala negra dan kepala kerabat (Poerbatjaraka, 1964). Jumlah kerabat raja yang disebut dalam prasasti di atas hanya lima orang yakni, Tri Buwana Tungga Dewi Jaya Wisnu Wardani, Sri Kerta Wardana, Dyah Wiyah Rajadewi, Sri Wijayarajasa dan Prabu Hayamwuruk Sri Rajasa Nagara yang telah diangkat sebagai raja muda di kahuripan. Prasasti itu telah menyebut nama Empu Mada sebagai patih Majapahit. Jadi Prasasti itu harus dikeluarkan sesudah tahun 1334. Pada waktu itu Prabu Hayamwuruk masih kanak-kanak.

Tahun 1351, pembangunan candi Singasari untuk memperingati maha brahmana dan bekas patih Singasari yang gugur bersama-sama dengan Prabu Kerta Negara. Keputusan membangun candi singasari diambil oleh tujuh kerabat raja yang dikepalai oleh Tri Buwana Tungga Dewi Jaya Wisnu Wardani. Pengemban keputusan ialah patih amangkubumi Empu Mada. Pelaksanaannya diserahkan kepada patih Jirnodara. Pada Prasasti itu disebutkan dengan jelas bahwa Empu Mada, patih Majapahit saksat pranala kta de batara sapta prabu: perintah tujuh prabu.

Dua orang kerabat raja itu adalah dua orang adinda wanita Prabu Hayamwuruk, yang disebut dalam Nagara Kertagama, yakni Bre Lasem dan Bre Pajang. Kedua-duanya belum lagi kawin (Slamet Mulyono, 1979). Demikianlah jumlah anggota kerabat raja dalam Dewan Pertimbangan Agung pada taun 1351 adalah tujuh orang yaitu, Tri Buwana Tungga Dewi, Sri Kerta Wardana, Dyah Wiyah Rajadewi, Sri Wijayarajasa, Prabu Hayamwuruk, Sri Rajasa Nagara, Bre Lasem dan Bre Pajang. Setelah Bre Lasem kawin dengan raja Matahu Sri Rajasa Wardana, dan Bre Pajang kawin dengan Sri Singa Wardana dari paguhan, jumlahnya menjadi sembilan.

H. Hierarki Jabatan dan Pangkat
Pada zaman Majapahit para pegawai pemerintahan disebut tanda, masing-masing diberi sebutan atau gelar sesuai dengan jabatan yang dipangkunya. Dalam pembahasan soal kepegawaian dan gelar sebutannya kita harus membatasi diri sampai zaman Majapahit saja karena pangkat dan gelar sebutan itu berubah dari zaman Mataram dan Majapahit, misalnya gelar rakai atau rake, berbeda maknanya. Demikian pula jabatan mangkubumi pada zaman Majapahit berbeda maknanya dengan mangkubumi pada zaman Surakarta dan Yogyakarta. Ditinjau dari gelar sebutannya seperti yang terdapat pada berbagai Prasasti, para tanda Majapahit dapat di bagi atas tiga golongan yaitu, 1). golongan rakryan; 2). golongan arya; 3). golongan dang acarya.

Golongan rakryan. Beberapa Prasasti, di antaranya Prasasti Surabaya meggunakan gelar reka yang maknanya sama tepat dengan rakrira. Jumlah jabatan yang disertai gelar rakrira terbatas sekali. Pada tanda yang berhak menggunakan rakrira atau reka seperti berikut, Mahamantri Kartini. Tiga saja jumlahnya yakni, mahamantri Hino, mahamantri Sirikan, dan mahamantri Halu. Misalnya pada Prasasti Kudadu: rakryan mantri Hino, Dyah Pamasi; rakryan mantri Sirikan, Dyah Palisir; rakryan mantri Halu, Dyah Singlar.

Pasangguhan. Jabatan ini dapat disamakan dengan hulubalang. Pada zaman Majapahit hanya ada dua jabatan pasungguhan yakni, pranaraja dan narapati. Misalnya pada Prasasti kudadu, 1294: mapasanggahan sang pranaraja, rakryan mantri Empu Sina. Pada zaman awal Majapahit ada empat orang pasangguhan yakni dua orang tersebut di atas ditambah rakryan mantri dwipantara sang Arya Adikara dan pasangguhan sang arya Wiraraja. Sang panca Wilwatikta yakni lima orang pembesar yang diserahi urusan pemerintahan Majapahit. Mereka itu ialah patih seluruh negara atau patih Majapahit, demung, kanuruhan, rangga, dan tumenggung. Misalnya Prasasti Penanggungan menyebutkan: rakria apatih: Empu Tambi; rakria demung: Empu Renteng; rakria kanuruhan: Empu Elam; rakria rangga: Empu Sasi; rakria tumenggung: Empu Wahana.

Juru pengalasan yakni pembesar daerah mancanegara. Prasasti penanggungan menyebut raja Majapahit sebagai rakryan juru Kertarajasa Jaya Wardana atau rakryan mantri Sanggramawijaya Kertarajasa Jaya Wardana. Prasasti Bendasari menyebut reka juru pengalasan Empu Petul. Para patih negara-nesara bawahan. Misalnya pada Prasasti Sidateka 1323: rakryan patih Kapulungan: Empu Dedes; rakryan patih Matahun: Empu Tanu. Prasasti penanggungan, 1296, menyebut sang panca ri Daha dengan gelar sebutan rakria karena Daha dianggap sejajar dengan Majapahit.

Golongan Arya. Pada tanda arya mempunyai kedudukan lebih rendah dari pada golongan rakryan dan disebut dalam prasasti-prasasti sesudah sang panca wilwatikta. Ada berbagai jabatan yang disertai gelar sebutan arya. Tentang hal ini sebutan Prasasti Sidateka memberikan gambaran yang agak lengkap, misalnya:
Sang arya patipati : Empu Kapat
Sang arya wangsaprana : Empu Menur
Sang arya jayapati : Empu Pamor
Sang arya rajaparakrama : Panji Elam
Sang arya suradiraja : Empu Kapasa
Sang arya rajadikara : Empu Tanga
Sang arya dewaraja : Empu Aditya
Sang arya diraraja : Empu Narayana

Karena jasa-jasanya seorang arya dapat dinaikkakn menjadi wredramantri atau mantri sepuh. Baik sang arya dewaraja Empu Aditya maupun sang arya diraraja Empu Narayana mempunyai kedudukan wredramantri dalam Prasasti Surabaya. Golongan dang acarya. Sebutan ini diperuntukkan khusus bagi para pendeta Siwa dan Buda yang diangkat sebagai darmadyaksa: hakim tinggi, atau upapati: pembantu darmayaksa alias hakim (Zoetmulder, 1985). Jumlah darmayaksa ialah dua yakni darmayaksa dalam ke Siwa-an dan darmayaksa dalam ke Buda-an. Jumlah upapati semua hanya lima, semua dalam ke Siwa-an, kemudian ditambah dua upapati kebudaan di Kandanganm Tuha dan Kandanga Rare sehingga jumlahnya menjadi tujuh dalam pemerintahan Prabu Hayamwuruk Sri Rajasa Nagara.

Darmayaksa Kasaiwan : Dang Acarya Darmaraja
Darmayaksa Kasogatan : Dang Acarya Nadendra
Pamegat Tirwan : Dang Acarya Siwanata
Pamegat Manghuri : Dang acarya Agreswara
Pamegat Kandamuhi : Dang acarya jayasmana
Pamegat Pamwatan : Dang acarya Widyanata
Pamegat Jambil : Dang acarya Siswadipa
Pamegat Kandangan Tahu : Dang acarya Srigna
Pamegat Kandangan Rare : Dang acarya Matajnyana

Pembesar-pembesar pengadilan ini biasanya disebut sesudah para arya. Contoh susunan pengadilan di atas disebutkan dalam Prasasti Trowulan, 1358, yang menyebut dua orang darmayaksa dan tujuh orang upapati.

I. Kesimpulan
Kitab Hukum Negara Kertagama adalah karya Empu Prapanca pada zaman Keraton Majapahit. Dari segi maknanya, Negara Kertagama berarti kisah pembangunan negara. Isinya menguraikan keagungan Prabu Hayam Wuruk khususnya dan keagungan negara Majapahit pada umumnya. Selain itu juga menguraikan kebesaran raja-raja leluhurnya. Oleh karena kerajaan Majapahit dianggap sebagai lanjutan kerajaan Singasari (1222 -- 1292), maka kitab ini juga meliputi sejarah raja-raja Singasari dari pendirinya Raja Rajasa sampai Sinuwun Prabu Kerta Negara, raja terakhir Singasari yang mangkat pada tahun 1292. Atas dasar itu judul Negara Kertagama jauh lebih berkesan dari pada judul Desa Warnana artinya: uraian tentang desa-desa, yang disarankan oleh Sang Pujangga Besar.

Empu Prapanca adalah putra seorang Darmadyaksa Kasogatan yang diangkat oleh Sri Rajasa Nagara sebagai pengganti ayahnya. Nama aslinya terdiri dari lima aksara: pancaksara. Tentang alasan penyamarannya diuraikan dalam karya sang pujangga Lambang, 1366. Karya Lambang dimulai sebelum penggubahan Negara Kertagama, namun baru siap sesudahnya. Dikatakan bahwa sang pujangga sengaja mengambil nama samaran dan diam di suatu desa sunyi-sepi, karena takut kalau-kalau diketahui namanya yang benar. Beliau akan tetap tinggal di sana sampai akhir hidupnya.

Kita sungguh berterima kasih kepada Sang Pujangga, sehingga pada akhir abad ke-21 ini, kita masih bisa memahami Tata Pemerintahan dan Peradilan yang pernah berlaku di nusantara. Bagi para penyelenggara pemerintahan, baik yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif serta masyarakat umum di negeri ini, bisa menjadikan Kitab Negara Kertagama sebagai bahan referensi yang penting.
Sumber: Jurnal Konstitusi Vol. 3 Nomor 4 Tahun 2006.





DAFTAR PUSTAKA
Brandes, 1896. Pararaton at het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit.
______. 1904. Negara Kertagama. Lofdicat van Prapantja op Koning Radjasanagara Hayam Woeroek van Majapahit.
Bratadiningrat, 1990, Asalsilah Warna Warni, Surakarta.
Darusuprapta. 1984. Babad Blambangan Pembahasan, Suntingan Naskah, Yogyakarta: Disertasi UGM.
Meinsma. 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage
Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa, Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
Pigeaud, 1924. De Tantu Panggelaran Uitgegeven, Vertaald en Toegelicht. Disertasi Leiden.
Poerbatjaraka, 1964. Kapustakan Jawi, Jakarta : Djambatan.
Prijana, 1938. Sri Tanjung, een dud Javaansch Verhaal. Disertasi Leiden.
Priyohutomo, 1934. Nawaruci. Groningen: JB. Wolters Uitgevers Maatschapij.
Ricklefs, 1995. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Slamet Mulyono, 1979. Negara Kertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara.
Suyamto, 1992. Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintahan dan Pembangunan. Semarang: Dahana Prize.
Toru Aoyama, 1991, Kitab Sutasoma. Canberra : Australisan National University.
Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djam-batan.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox