09 June 2009

Fenomena Pemungutan Suara Ulang

Oleh: Budi H. Wibowo

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 9 Juni 2009 telah membacakan putusan selanya terkait dengan perkara perselisihan hasil pemilu yang diajukan oleh enam pemohon dari enam partai politik peserta pemilu. Putusan MK yang dibacakan oleh Ketua MK Mahfud MD memutuskan memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang di Kabupaten Nias Selatan. Putusan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap prosedur pemungutan dan penghitungan suara hasil pemilu di Kabupaten Nias Selatan. Salah satu yang dipermasalahkan oleh pemohon adalah telah terjadi pelanggaran ketika rekapitulasi penghitungan suara di beberapa daerah pemilihan di Kabupaten Nias Selatan.


Dalam putusan yang dibacakan tersebut, KPU diberikan waktu 90 hari kerja untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang di Kabupaten Nias Selatan. Berdasarkan putusan MK tersebut kita diingatkan kembali atas putusan MK terhadap pemilukada Jawa Timur lalu. Di mana MK juga memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang dan rekapitulasi ulang hasil pemilukada di beberapa kabupaten di Jawa Timur (lihat tulisan Supriyani). Akan tetapi, Putusan MK kali ini agak berbeda dibandingkan dengan putusan pemilukada Jawa Timur. Perbedaan terletak pada pemohon yang mengajukan perkaranya.

Jika kita mencermati putusan MK tersebut maka dapat diketahui bahwa ternyata masih banyak pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu yang terjadi di Indonesia. Sehingga patut menjadi catatan tersendiri bahwa pelaksanaan pemilu yang lebih baik masih jauh dari harapan kita. Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan ini semestinya dapat dijawab oleh penyelenggara pemilu maupun oleh pemerintah. Dalam melihat persoalan karut marutnya pelaksanaan pemilu ini dapat kita lihat dari beberapa hal, yaitu pertama, dalam konteks peraturan perundang-undangan; bahwa dari beberapa kali pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan ternyata didasarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berbeda. Pada pemilu 1999 didasarkan dengan UU No. 3 Tahun 1999 sementara Pemilu 2004 merujuk pada UU No. 4 Tahun 2000 dan Pemilu 2009 berdasarkan pada UU No. 10 Tahun 2008. Dengan seringnya berubah tersebut menyebabkan pengaturan/mekanisme pelaksanaan pemilu tentu saja berubah sehingga dari ketiga pemilu itu masalah pelanggaran masih dapat dijumpai.

Kedua, imbas dari adanya perubahan atas peraturan yang mendasari pelaksanaan pemilu ternyata tidak cukup diantisipasi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan kurangnya upaya sosialisasi mengenai prosedur dan mekanisme yang telah berubah. Lambatnya respon tersebut memang cukup beralasan karena dari pemilu satu ke pemilu lainnya selalu mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam hal prosedur dan mekanisme akibat perubahan peraturannya. Sehingga hal ini mestinya juga perlu disiapkan cara-cara yang tepat misalnya saja kenapa tidak bahwa sosialisasi prosedur dan mekanisme pemilu juga ditujukan kepada para calon anggota legislatif yang notabene umumnya mereka (red. caleg) adalah wajah-wajah baru. Pentingnya sosialisasi kepada caleg sudah seharusnya menjadi hal yang utama mengingat bahwa ternyata tidak sedikit caleg yang belum mengetahui bagaimana misalnya berperkara dalam hal perselisihan hasil pemilu ( terdapat +/- 700 kasus yang didaftarkan ke MK baik itu dari parpol maupun dari calon anggota DPD).

Ketiga, kurangnya koordinasi antara stakeholders penyelenggara pemilu sehingga menyebabkan seringkali terjadi salah paham dalam menafsirkan prosedur maupun mekanisme penyelenggaraan pemilu. Memang disadari bahwa KPU secara hirarkis memiliki wakil di daerah yaitu KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, KPPS. Sebetulnya dengan model rantai komando seperti itu, KPU dimudahkan dalam melakukan koordinasi. Akan tetapi, pada kenyataannya KPU tidak cukup memiliki “taring” dalam mengatur ritme KPU di daerah-daerah.

Tiga hal tersebut merupakan penilaian paling sederhana dalam melihat pelaksanaan pemilu saat ini. Banyak pelanggaran yang terjadi dan mungkin tidak terlaporkan menjadi pintu masuk bagi perbaikan pelaksanaan pemilu berikut. Jika hal tersebut tidak cukup diupayakan untuk diubah maka walhasil fenomena pemungutan suara ulang seperti halnya putusan MK dapat terus terjadi di pemilu-pemilu berikutnya. Padahal kita tahu bahwa menyelenggarakan pemilu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara masih banyak orang miskin, kelaparan, kedinginan, kebanjiran, kebakaran yang butuh bantuan dana. Mudah-mudahan kita dapat belajar dari pengalaman pemilu legislatif 2009 yang lalu sehingga pada pemilu presiden pada Juli 2009 mendatang menjadi jauh lebih baik. Wallahu’alam.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox