29 December 2007

Demokrasi dan Trauma Sejarah

Demokrasi punya banyak musuh: korupsi, kolusi, nepotisme, ekstremisme, sifat tidak peduli kepada kaum miskin, dan salah mengartikan inti demokrasi. Tetapi, juga luka jiwa berat seluruh bangsa sebagai akibat malapetaka sejarah bisa membahayakan konsolidasi demokrasi.

Penelitian Lembaga Survei Indonesia sudah membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi. Walaupun secara rata-rata 72 persen warga Indonesia mendukung demokrasi, dibandingkan dengan negara Eropa persentase itu masih rendah.

Mengapa demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi? Masih ada banyak kasus korupsi, kolusi, nepotisme, dan ketidakadilan hukum. Juga masih terlalu besar jumlah orang miskin. Adalah korelasi sangat kuat antara kemiskinan, korupsi, dan kelemahan demokrasi. Kebanyakan negara berpenghasilan rendah masuk kelompok negara yang dinilai amat korup dan kurang demokratis.

Demokrasi itu tujuan
Demokrasi bukan hanya alat atau cara untuk mencapai sesuatu. Demokrasi adalah tujuan itu sendiri. Nilai-nilai demokrasi mengandung pada pokoknya keadilan hukum, tanggung jawab sosial, dan pembelaan hak-hak asasi manusia untuk semua warga negara, kaya atau miskin, sipil atau militer.

Tetapi tak ada gading yang tak retak. Tiada demokrasi yang sempurna. Apa mungkin sistem politik yang diciptakan oleh kaum manusia bisa lengkap, tanpa kelemahan dan tanpa kesalahan? Bahkan demokrasi Amerika Serikat (AS) bisa melahirkan presiden pembohong dan penghasut perang seperti Bush, presiden korup yang didalangi oleh perusahaan minyak bumi AS. Dan warga kaya raya AS punya seribu kemungkinan untuk menghindarkan diri dari pengadilan. Walaupun begitu, di luar demokrasi, tiada sistem politik yang secara sama efisien bisa menjaminkan hak-hak asasi manusia.

Demokrasi hanya bisa berhasil baik jika empat susunan keamanannya bekerja tanpa hambatan: pemerintah (eksekutif) yang merasa bertanggung jawab kepada seluruh bangsa, parlemen (legislatif) yang bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang memilih anggotanya, lembaga-lembaga pengadilan (yudikatif) yang setia kepada keadilan hukum dan pers bebas dan berani.

Di samping itu, demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik pada bangsa yang sudah mengakui semua fakta masa lalunya, termasuk kesalahan buruknya. Sebaliknya, menekan hal-hal buruk ke bawah sadar tidak bisa membebaskan dari rasa bersalah. Sampai sekarang AS belum mau mengakui kejahatan-kejahatan perangnya di Vietnam dan di negara lain. Hal itu dianggap sebagai salah satu sumber kasus kekerasan yang berulang-ulang terjadi di AS. Negara yang tidak mengutuki kekerasan dalam sejarahnya sendiri tidak punya dasar bersusila untuk melawan kekerasan sekarang.

Trauma kekerasan
Demokrasi Indonesia masih sangat muda, tetapi sudah menderita beberapa trauma kekerasan. Yang paling berat tentu saja pembunuhan massal orang Indonesia berhubungan dengan G30S. Pembantaian itu terjadi setelah pembunuhan enam pejabat tinggi Angkatan Darat.
Sampai sekarang tidak jelas siapa dalang pembunuhan enam perwira itu. Ada yang menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI), ada juga yang menuduh badan intelijen AS (CIA). Sangat jelas bahwa hanya Washington yang menarik keuntungan dari G30S. AS pada waktu itu sedang terlibat dalam perang dingin Uni Soviet dan perang panas Vietnam dan takut sekali Indonesia akan jatuh ke tangan komunisme.

Dalam enam bulan setelah peristiwa G30S, banyak anggota dan pendukung PKI, ormas buruh dan petani lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan di mana sebagian mereka disiksa sampai mati. Juga banyak orang yang hanya dianggap sebagai anggota atau simpatisan PKI dan juga warga Tionghoa dibantai. Di samping itu, ada orang yang menuduh tetangganya sebgai PKI hanya untuk meraih istri atau hartanya, atau membalas dendam.

Semua orang itu dibunuh tanpa perkara pengadilan. Semuanya dibantai tanpa bukti-bukti bahwa mereka sudah melakukan kejahatan. Banyak di antara mereka, kaum buruh atau petani, yang tidak tahu siapa Karl Marx atau apa komunisme itu, apalagi tentang G30S. Kebanyakan korban pembantaian tidak pernah melakukan kejahatan apa-apa terhadap pemerintah atau masyarakat.

Sampai hari ini jumlah korban pembunuhan massal tidak jelas. Diduga setidak-tidaknya satu juta orang atau lebih menjadi korban dalam malapetaka itu. Jika begitu, jumlah korban pembantaian selama enam bulan pasca-G30S lebih banyak dari jumlah korban pembantaian oleh kolonialis Belanda selama tiga setengah abad. Itulah trauma sejarah Indonesia paling berat yang juga mempersulit konsolidasi demokrasi di negara ini.

Peristiwa itu sudah terjadi lebih dari 40 tahun lalu. Mungkin sudah terlambat untuk menghukum semua pembunuh yang dipesan atau yang sukarela itu. Juga, dalam demokrasi dewasa ini, kurang cocok memikirkan pembalasan dendam. Hanya jika ditemui bahwa ada dalang Indonesia di belakang peristiwa G30S, dia sekarang harus diadili tanpa memerhatikan umurnya dan tanpa ampun.

Situasi sangat lain dengan kaum korban. Masih pada waktunya menunjukkan rasa keadilan kepada semua mereka. Tahap pertama adalah mendaftarkan semua nama korban, umur mereka, dan kapan mereka dibunuh. Hanya dengan begitu orang bisa mengetahui berapa persis jumlah korban dan siapa saja mereka. Jauh lebih sulit meneliti apakah alasan pembunuhan mereka.

Kerusuhan Mei 1998 merupakan malapetaka lebih kecil, tetapi yang lebih baru. Sampai hari ini belum jelas siapa yang menunggangi massa yang mengamuk. Tetapi dengan nyata kerusuhan itu terarah dan terorganisasi. Banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk dan toko-toko serta perusahaan-perusahaan mereka dihancurkan. Tak sedikit perempuan yang diperkosa, tetapi fakta ini selalu disangkal oleh pemerintah dan sebagian masyarakat lainnya.

Penyusun dan pelaku aksi-aksi kejahatan ini barangkali masih punya jabatan tinggi dan tugas yang berpengaruh. Mereka merupakan bahaya serius untuk demokrasi Indonesia. Itu alasannya mereka harus dituntut ke muka pengadilan secepat mungkin. Dalam demokrasi sejati, anggota militer yang melakukan kejahatan sipil harus tunduk pada yurisdiksi sipil.

Kekerasan antidemokrasi pada zaman pasca-G30S dan pada Mei 1998 tidak hanya merupakan lembaran hitam sejarah Indonesia. Itu adalah utang jiwa yang belum terbayar, sebuah trauma yang tidak disembuhkan. Hanya dengan mengakui semua fakta pahit sejarah, Indonesia bisa menghindarkan lanjutan kekerasan dan mengonsolidasikan demokrasinya.

Peter Rosler Garcia Ahli Politik dan Ekonomi Luar Negeri, Hamburg, Jerman
(Kompas, 29 Desember 2007)

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox