17 December 2007

Mimpi Anak Jadi Naga



Bedah Buku

Judul Buku: Mimpi Anak Jadi Naga (Orang Tua Mana yang Tak Ingin Anaknya Sukses dan Bahagia); Penulis: Joseph Landri; Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Januari 2007; Tebal Buku: i-viii+260 hlm.


Siapa orang tua yang tidak menginginkan sang anak bisa terbang, bisa hidup di darat maupun di air, gagah, kokoh dan disegani bak naga. Maka, berbagai cara dilakukan orang tua bahkan tak sedikit mereka membatasi diri dari kesibukan di luar rumah untuk lebih maksimal dalam mendidik, membina dan menjaga sang buah hati. Fenomena menjamurnya sekolah anak pra-Taman Kanak-Kanak atau preschool hingga penitipan anak seperti model day care yang lebih dulu menjamur di negara-negara maju menunjukkan bahwa betapa orang tua selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya. Di tengah munculnya kesadaran akan tantangan ke depan bagi warga perkotaan, di antara himpitan kesibukan orang tua, anak tetap haru memperoleh pembinaan yang terbaik. Namun, tak jarang pada fenomena lain, anak justru merasa mendapat tekanan-tekanan secara mental, psikis, dan fisik atas keinginan orang tuanya. Maka, janganlah anak dipaksa menjadi naga jika kemampuannya sebatas menjadi bebek. Kenapa harus menjadi naga? Jika ia menjadi yang terbaik di antara bebek-bebek lainnya, bukankah itu lebih bagus?


Naga adalah keperkasaan yang sempurna dan hanya ada dalam dunia fiksi. Mitos tentang naga barangkali dianggap dapat mengilhami semangat dan kerja keras orang. Tapi, siapapun tak akan pernah bisa menjadi naga. Begitu juga fenomena relasi antara orang tua dengan anak. Keinginan kuat orang tua untuk menjadikan anaknya seperti naga hanyalah keinginan. Anak tetaplah individu lain yang memiliki kemampuan sekaligus keterbatasan masing-masing. Mereka memiliki kehidupannya sendiri dan bukan pengganti orang tua dalam kehidupan nyata. Ikatan biologis, psikis, dan tradisi budaya menjadi kodrat yang tak bisa dipungkiri bahwa orang tua dan anak memiliki ikatan yang begitu erat dan kuat. Lalu, siapakah anak? Mereka adalah individu lain yang memiliki cerita kehidupan berbeda dengan orang tuanya. Mereka tidak bisa kita miliki seutuhnya sebagaimana harta benda kita. Maka, mimpi orang tua agar anaknya menjadi naga akan salah kaprah jika anak dipaksa mengikuti kehendak orang tuanya.


Buku ini ditulis dengan narasi dan contoh yang sederhana, membuat pembaca mudah mencerna. Berbagai peristiwa nyata ditarik dalam dunia filsafat dan dituturkan dalam bahasa yang lugas. Tak lepas dari aspek religiusitas untuk meyakinkan pembacanya bahwa pembinaan dan perlakukan terhadap anak merupakan bentuk tanggungjawab semua umat manusia. Penulis nampak berada sebagai orang yang moderat dan penuh kehati-hatian. Ia berulang kali menulis kata "biarkan anak..." dan tak lepas menambahkan kata-kata bijak dalam uraiannya. Meski tidak begitu tampak adanya tawaran gagasan baru dalam buku ini, tapi kemampuannya dalam mengurai berbagai cerita nyata yang hampir bisa dipastikan dialami oleh kebanyakan orang tua terhadap anaknya membuat pembaca tertarik merenungi perkalimat bahkan mengulanginya.


Buku bergambar naga dan kerap dengan kaligrafi huruf kanji ini lebih fokus mengulas tema-tema tentang perlakuan orang tua terhadap anak dalam konteks kekinian. Uniknya lagi, buku ini tidak hanya cocok dibaca oleh orang dari daerah tertentu saja. Wajar saja kalau buku ini menyandang predikat cukup diminati masyarakat dan kini memasuki cetakan kedua. Sang penulis, Joseph Landri yang dikenal sebagai motivator di beberapa radio memiliki kecenderungan untuk mengajak pembaca sebagai orang tua bijak dan bagi anak agar terbangun motivasi diri lebih baik. Melalui 58 topik ia mengurai persoalan demi persoalan yang dihadapi orang tua terhadap anaknya dengan sederhana dan penuh optimis.


Penulis mengenali kesadaran orang tua pada umumnya dalam menatap beratnya tantangan ke depan, sehingga tak jarang ditemui pemaksaan dan paksaan kepada anak mereka. Bagi keluarga yang berkecukupan, pagi hari anak mereka harus sekolah, siangnya mereka harus mengikuti kegiatan ekstra sekolah seperti kursus bahasa asing, kesenian, keterampilan hingga olahraga. Malam harinya anak mereka harus belajar mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahan. Bagi keluarga kaya anak mereka harus bepergian dengan sopir khusus. Bagi yang ingin anaknya tidak terlalu banyak ke luar rumah, belajar bisa di rumah, private dengan memanggil guru private. Kini mulai berkembang model sekolah di rumah home schooling dengan kurikulum yan distandarkan dengan sekolahan. Di sinilah penulis menyadari betapa anak mereka terteka oleh sederet jadual yang dibuat orang tuanya. Merekapun akhirnya mencuri-curi waktu untuk bermain dan berusaha memerdekakan diri. Keinginan yang begitu kuat untu lolos dari jadual orang tuanya tidak jarang kemudia menyebabkan anak memilih obyek pelampiasan yang tak pernah diduga orang tua mereka. Dampak yang ekstrim, banyak anak ditemukan melalukan tindakan yang melanggar norma susila, agama maupun hukum. Namun, bagi anak yang merasa ketakutan sehingga tetap menjalani setumpuk kegiatan dengan keterpaksaan, maka tak jarang juga anak mengalami keanehan-keanehan seperti kurang pergaulan, kurang bisa bersosialisasi bahkan anak bisa menjadi individualis.


Salah satu tema dalam buku ini mengulas bagaimana anak diberikan waktu dan kesempatan untuk belajar sendiri di luar kendali orang tua agar kepekaannya lebih terasah untuk mengembangkan pengetahuannya, keterampilannya dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama dan lingkungannya. Penulis mengibaratkan dengan pembelajaran mobil. Bagaimana anak bisa menyetir mobil dengan baik, lincah dan peka terhardap segala kemungkinan dalam hal menyetir mbil jika dia hanya dituntut belajar mondar-mandir di halaman rumah. Ia butuh mengembangkan diri dalam kondisi, medan dan cuaca. Biarkan suatu saat ia pun belajar pada medan terjal, menanjak, miring. Iapun perlu belajar ketika cuaca hujan lebat, iapun harus belajar dalam keadaan macet dan jalanan sempit. Ia pasti akan memilih cara mana yang efektif untuk mengatasi semua tantangan yang dihadapinya. Selain itu, ia pun harus menghadapi semua tantangan itu dengan sendiri dalam keadaan sulit, sedih dan letih tanpa pertolongan orang lain. Agar tertanam bahwa orang tua bukanlah satu-satunya faktor dalam memecahkan persoalan yang dihadapi.


Bukan tidak penting memberi banyak kesibukan pada anak. Mereka memiliki banyak energi untuk mencoba dan meraih keinginan. Apa benar anak-anak menginginkan kesibukan seperti yang telah difasilitasi orang tuanya? Mungkin saja mereka ingin yang lain. Di luar kurikulum sekolah dan aneka pelatihan di luar sekolah, anak ingin bermain dengan teman seusianya (peers group). Buku ini menjelaskan perlunya mendidik anak untuk dihadapkan secara langsung dengan realitas kehidupan. Bagaimana menggunakan uang dengan tepat dan bertanggungjawab, bagaimana menyadarkan anak bahwa setiap keinginan itu harus didahului dengan kerja keras dan lainya. Cukup banyak yang harus dipelajari anak dalam mengarungi kehidupan nyata. Sedini mungkin pada diri anak harus ditanamkan kemandirian, tanggungjawab, kesederhanaan, dan toleransi. Inilah yang menurut penulis buku ini banyak tidak disadari oleh orang tuanya, sehingga belajar keras anak hanya ditukar dengan nilai-nilai angka dan peringkat juara tau rengking di sekolahannya.


Penulis mengingatkan bahwa anak jangan dipaksa jadi naga jika memang kapasitasnya sebatas bebek. Menjadi bebek jauh lebih baik bila ia bebek yang terbaik dari bebek lainnya. Daripada ia menjadi naga tapi lemah dan tak dapat diandalkan. Artinya, sejuta keinginan orang tua terhadap anaknya tak akan mungkin dapat terpenuhi karena anak memiliki tantangan dan cara sendiri untuk mengatasinya. Harapan hanyalah harapan dan harapan harus berkaca pada kenyataan.

Sopan santun tidak lepas dari bahasan Landri. Ia menjelaskan bahwa kesopanan sesuai adat masyarakat setempat, sikap menghargai orang lain khususnya kepada orang yang kurang beruntung tak kalah pentingnya untuk diajarkan kepada anak sedini mungkin. Ia beranggapan bahwa keteraturan sikap dan tingkah laku anak terhadap nilai budaya setempat menjadi salah satu kunci sukses bagi perkembangan anak, hingga dewasa kelak. Namun, Landri tidak pernah mempersandingkan dengan jelas antara kapan pemberontakan anak menjadi penting ketia ia harus simetris dengan nilai-nilai kesopanan. Ia hanya membahasnya secara terpisah dalam topic yang berlainan. Ia menganggap kesopanan itu penting, tapi ia empatik pemberontakan anak terhadap keinginan-keinginan orang tuanya. Namun, patut diacungi jempol ketika ia menekankan bahwa anak perlu dilatih untuk menghargai orang-orang di sekitarnya yang kurang beruntung.


Landri menolak mentah-mentah perlakuan kasar yang diperlihatkan oleh seorang ibu kepada pembantunya dengan disaksikan langsung anaknya. Suatu saat ketika si anak merasakan bahwa kopi bikinan pembantunya kurang manis, tak segan-segan ia pun menyiramkan kopi panas itu ke tubuh pembantunya. Tindakan kasar anak itu tentu tidak lepas dari kekerasan yang dipertontonkan orang tuanya selama ini. Cerita tragis dengan pelaku kekerasan majikan dan anak majikan itu dikritik habis oleh Landri. Jelas, Landri tidak pilih-pilih dalam memilih contoh kasus. Ia sangat terbuka tidak memanipulasi pengetahuannya atas kasus demi kasus yang diangkatnya. Landri mengingatkan, jika penanaman nilai-nilai kesopanan tidak diajarkan sejak dini, anak dalam kelanjutan hidupnya akan mengalami kesulitan dalam melakukan beradaptasi dan berhubungan dengan orang lain. Penanaman nilai-nilai tersebut harus disertai dengan sikap tegas orang tua. Jangan memberikan dukungan kepada anak yang bertindak kasar terhadap temanya. Orang tua harus segera memberi arahan ketika melihat sang anak melakukan kekerasan. Jika keseringan anak bertindak kasar akan jadi kebiasannya dan akan merugikannya di kemudian hari.


Selain perlunya menghargai orang lain, anak juga harus dilatih untuk biasa melayani. Konon, anak perempuan lebih cenderung mudah diajari melayani daripada anak laki-laki. Maka, terdapat semacam pandangan di masyarakat bahwa anak perempuan harus segera belajar melayani dan membantu orang tua dan bagi anak laki-laki wajar baginya lebih sibuk bermain hingga berantem. Anggapan semacam ini begitu melekat di masyarakat. Padahal menurut Landri, anak laki-laki maupun perempuan menghadapi bahaya jika tidak memiliki kemampuan melayani, khususnya melayani diri sendiri. Manusia hidup pasti ada susah dukanya. Dalam menghadapi susah dan duka itu seseorang tidak bias selalu bergantung pada orang lain, sehigga kemampuan diri untuk melayani segala kebutuhan pribadinya menjadi amat diperlukan. Ketidakmandirian anak akan menjadi problem utama dalam kehidupan anak hingga dewasa nanti.


Anak dari keluarga kaya seringkali mendapat perlakuan manja dari keluarganya. Dalam kemanjaan itu, anak tidak memiliki kemandirian yang cukup. Setiap mau makan anak dilayani, cuci pakaian dicucikan dan seterusnya. Lebih-lebih jika anak sudah menginjak usia remaja. Bisa ditebak, anak dengan perlakuan seperti itu akan mengalami kegamangan dalam hidupnya. Karena selalu difasilitasi, katakanlah dibelkan motor atau mobil sendiri dan uang jajan yang tidak pernah telah, maka godaan pun silih berganti membayangi si anak. Anak dari keluarga kaya, godaannya lebih besar daripada anak dari keluarga kurang punya. Si anak kaya menggantungkan diri pada kekuatan materi. Dengan mudah ia bias menuruti keinginannya dan di situlah ia mengalami lepas control, berfoya-foya, tak mau ketinggalan mode, suka jajan dan belanja. Tak sedikit juga yang menggunakan uang mereka ke jalan yang dilarang hukum dan agama seperti nge-drug, pergaulan bebas, party-party liar dan semacamnya. Sementara, anak dari keluarga kurang berada dia kesulitan memperoleh sesuatu yang diinginkan. Ia lebih terjaga dan terbatasi oleh keterbatasan materi.


Landri mengingatkan, anak dan orang tua tidak boleh bangga dengan keterbatasan yang ada. Meski keterbatasan tidak bisa dipungkiri, tapi motivasi dan daya juang anak harus selalu dipompakan, bukan provokasi. Kalau motivasi lebih merupakan pemberian wawasan dan semangat untuk bergerak lebih maju. Tapi, provokasi membuat anak emosional dan agresif-destruktif. Pentingnya membina mentalitas fighting spirit anak membutuhkan keteladanan dari orang tua dan lingkungan karena ia menjadi kunci suksesnya perkembangan seorang anak. Orang tua yang cuek terhadap mas depan anak pada akhirnya mereka akan disepelekan anaknya. Namun, bagi orang tua yang protektif dan suka memaksakan kehendaknya kepada anak juga akan mendapat perlawanan dari anak mereka. Maka, yang lebih diperlukan adalah memberikan motivasi agar anak memiliki daya juang tinggi. Kerja keras menjadi istilah penting yang harus dihayati dan diteladani setiap anak. Tanpa kerja keras, apapun keberhasilan yang diperoleh, kekayaan yang bisa dikumpulkan akan terkikis oleh kemalasan dan keborosan.

Sadar atau tidak jika dalam diri anak tertanam kuat komitmen kerja keras itu, mak anak tidak mudah meremehkan persoalan juga tidak panik dengan persoalan. Di sinilah anak bisa memaknai apapun hasil dari kerja kerasnya. Rasa bersyukur dan rendah hati juga akan muncul dalam jiwanya yang mantap. Ia pun akan sadar mengenai pentingnya harga diri seseorang. Tanpa kerja keras seseorang tidak akan merasakan pentingnya harga diri. Tanpa kerja keras berarti seseorang menjadi malas. Orang malas dekat dengan kemiskinan dan kebodohan. Orang seperti itu bisa dipastikan bahwa harga dirinya akan jatuh. Orang malas tidaklah memiliki harga diri, tapi hanya gengsi. Namun, orang malas dengan gengsi tinggi itu orang aneh dan menjadi cibiran masyarakat. Maka anak harus dilatih kerja keras sehingga mengerti arti pentingnya harga diri. Tanpa harga diri seseorang tidak akan dihargai di lingkungannya.


Mengenai hukuman terhadap anak. Mereka boleh dihukum untuk belajar kedisiplinan. Tapi, jangan sampai hukuman itu justru menimbulkan masalah baru bagi anak. Hukuman fisik maupun psikis jangan sampai menyudutkan dan memperkecil nyali anak. Kerap terjai salah kaprah ketika orang tua memberi hukuman kepada anak dengan harapan anak tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Tapi, anak justru merasa tersudut oleh perkataan orang tuanya yang mengejek dan mengolok-oloknya. Misalnya dengan ungkapan "dasar anak bodoh" atau "mama malu punya anak kamu" dan lain sebagainya. Umpatan seperti itu berdampak negative pada psikis anak. Landri mengajak pembaca untuk memposisikan diri bukan sebagai "musuh" anak ketika anak melakukan kesalahan, tapi merupakan teman atau sahabat bagi anak. Kenapa sebagai teman? Karena anak tidak selalu suka digurui.


Reward maupun punishment pada anak janganlah berlebihan agar tidak memberkas hingga mereka dewasa sebagai sisa-sisa persoalan. Anak harus kembalikan otoritas kehidupannya kepada anak itu sendiri. Memberikan sesuatu yang berlebihan ataupun menghukum secara berlebihan sama-sama akan berdampak buruk bagi perkembangan jiwa, mental, dan fisik anak. Landri mengingatkan, kunci pendidikan anak itu pada kepedulian dan bijaknya orang tua, terutama ibu. Ayah dan ibu harus sering-sering memperbincangkan perkembangan yang terjadi pada anak. Selain memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, ayah juga tidak bisa lepas dan lebih santai atas soal pendidikan anak. Kecerdasan, kesehatan, dan keamanan anak dapat diukur dari kasih saying dan keterlibatan kedua orang tua kepada anak mereka. Dan yang pasti, jangan hanya mimpi anak akan jadi naga, tapi coba renungkan apakah para orang tua mampu mengasah gigi taring dan kuku-kuku anaknya hingga sebesar tubuh naga? Melatih lompatannya selincah lompatan naga? Dan mengasah jiwa raganya sekokoh naga? Jika bisa syukurlah.

Sumber: Jurnal Keluarga, vol. 1 no. 1, 2007.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox