Oleh Budi H. Wibowo
KORUPSI. Kata ini bagaikan “hantu” yang ditakuti oleh banyak orang. Terutama oleh mereka yang akan ataupun telah melakukan korupsi. Lain halnya apabila kata tersebut didengar oleh orang yang sama sekali tidak pernah melakukannya, pastilah “nyantai” saja tidak perlu takut apalagi terbirit-birit bersiap lari tunggang langgang. Berdasarkan indeks pemberantasan korupsi, Indonesia mencapai nilai 2,6 pada tahun 2008 ini. Angka ini sebetulnya masih jauh dari ideal. Namun, upaya pemberantasan korupsi yang sistemik sudah “lumayan” terbukti meskipun masih perlu terus digenjot.
Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbentuk sebagai amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak sedikit kasus korupsi yang berhasil diungkap dan para pelakunya pun mampu dijebloskan ke penjara. Tentunya upaya KPK ini harus didukung total oleh seluruh rakyat Indonesia yang menginginkan adanya tindakan tegas terhadap berbagai cara, upaya, metode, dan aksi-aksi korupsi. Keberadaan KPK yang kurang lebih telah berusia enam tahun sudah mampu mengembalikan harapan rakyat bagi penanganan kasus-kasus korupsi yang ada. Korupsi bukan kejahatan biasa, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Harapan rakyat yang mulai terbangun kembali tersebut, sangat sayang bila tidak dijaga dan dipelihara. Rakyat sudah sepatutnya menaruh harapan tersebut kepada KPK. Namun perlu juga disadari bahwa KPK tidak akan dapat bekerja sendirian. Mengingat korupsi katanya sudah menjadi budaya di Indonesia selama ini. Oleh karena itu, peran aktif masyarakat membantu dan mendukung KPK dalam wujud melaporkan kepada KPK terkait hal-hal yang termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi di setiap level.
Berdasarkan Penjelasan UU No. 30 Tahun 2002, menyebutkan bahwa KPK juga berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism). Fungsi ini telah di”mainkan” dengan cukup baik dan cantik oleh KPK. Sayangnya UU aquo dapat dikatakan masih jauh dari sempurna karena keseluruhan isi UU aquo tidak secara eksplisit menyebutkan untuk menindak, mencegah, dan memberantas unsur K dan N lainnya dalam KKN. Unsur K dan N dimaksud adalah Kolusi dan Nepotisme, padahal kita tahu bahwa rumus korupsi adalah kolusi + nepotisme = korupsi.
Sebagai rakyat jelata, si Fulan sebagai seorang petani penggarap di desanya, pastilah memimpikan bahwa Indonesia negeri tercinta ini dapat menjadi tumpuan bagi perbaikan hidupnya. Dan tentunya harapan si Fulan itu tidaklah berlebihan karena Indonesia ini adalah milik rakyat bukan milik satu orang, sekelompok orang, apalagi sebuah perusahaan. Maka sudah seharusnya ketika kita menetapkan hati untuk memberantas korupsi haruslah diniatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Bayangkan, bila semua komponen bangsa ini untuk tidak melakukan korupsi dalam satu hari, berapa besar kerugian negara yang dapat dihindari. Dan dengan satu hari itu, berapa rakyat Indonesia yang bisa dibantu untuk hidup lebih layak. Jangan bicara Indonesia dengan 34 provinsi dan ratusan kabupaten/kota yang dimiliki, cukup bicara satu kota saja misalnya Jakarta, berapa juta rakyat yang tinggal di kolong jembatan bisa diberikan penghidupan yang lebih baik.
Walhasil, satu hari tanpa korupsi di Indonesia hanya menjadi angan-angan saja. Sekali lagi bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi niscaya tidak bakal berhasil dengan baik bila masih meninggalkan upaya pemberatasan kolusi dan nepotisme. Karena memberantas korupsi itu harus sampai ke akar-akarnya. Wallahu’alam bishawab.
Bumi Jayakarta, 10 Desember 2008