07 January 2009

Sambut 2009: (Me)manusia(kan) Manusia

Oleh Budi H. Wibowo

Memasuki tahun 2009, mungkin bukan masyarakat Indonesia saja tetapi juga masyarakat dunia internasional yang menaruh harapan terhadap datangnya tahun baru tersebut. Harapan itu wajar adanya. Mengingat selama tahun 2008, tidak sedikit masyarakat dunia ataupun masyarakat Indonesia ada yang kecewa dan juga ada yang bahagia. Berbagai macam nuansa yang terjadi sepanjang tahun 2008 tentunya berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya. Namun, dengan tahun yang baru –gembira maupun kecewa terhadap tahun sebelumnya— sudah pasti berharap di tahun 2009 akan ada perubahan yang lebih baik.

Salah satu harapan masyarakat Indonesia pada 2009 nanti adalah berhasilnya mereka (red. masyarakat) memilih wakil-wakilnya dalam pemilihan umum (pemilu) yang bakal di gelar pada April 2009 (pemilihan calon anggota legislatif) dan Juni 2009 (pemilihan calon presiden dan wakil presiden) nanti.

Pemilu merupakan momentum rekrutmen kepemimpinan nasional yang secara rutin dilaksanakan sebagai wujud pelaksanaan demokrasi. Sesuai perkembangan yang ada, pemilu di Indonesia telah mengalami kemajuan luar biasa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pemilu untuk memilih anggota DPD, DPR, dan DPRD, serta pemilu untuk Presiden/Wakil Presiden yang diselenggarakan secara langsung.

Masyarakat sedikitnya akan melakukan dua kali pemilihan, yaitu pertama, masyarakat melakukan pemilihan terhadap calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupataten/kota. Selain itu, masyarakat juga melakukan pemilihan calon anggota DPD yang nantinya akan menjadi wakil daerah (provinsi) di MPR. Kedua, adalah pemilihan terhadap calon presiden/wakil presiden secara langsung.

Pada Pemilu 2009, setidaknya ada dua perubahan mendasar dari format pemilu yang ada. Pertama, semakin menguatnya sistem proporsional terbuka. Hal ini merupakan dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008; kedua, terbukanya peluang yang sama di antara partai-partai politik peserta pemilu, terutama di antara para calon anggota legislatif yang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 di mana menyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU aquo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak lagi berdasarkan nomor urut tetapi didasarkan pada perolehan suara atau dukungan rakyat paling banyak.

Di samping itu, Pemilu 2009 juga masih menyimpan berbagai persoalan salah satunya yaitu tentang cara memberikan suara/memilih. Cara memberikan suara pada Pemilu 2009 dilakukan dengan memberikan tanda contreng pada gambar partai dan nama calon anggota legislatif yang akan dipilih. Hal ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya di mana pemilih dalam menentukan pilihannya dilakukan dengan cara mencoblos kertas suara. Dengan cara yang baru sama sekali tersebut menjadi suatu kendala tersendiri bagi pemilih sehingga kemungkinan suara tidak sah dan salah pilih akan semakin besar dibandingkan dengan Pemilu 1999 di mana terdapat 6,1% suara tidak sah padahal hanya memilih tanda gambar dan pada Pemilu 2004 di mana suara tidak sah sebanyak 6,8% untuk pemilu legislatif. Persoalan lain yang juga cukup krusial dan membutuhkan perhatian ekstra yaitu kemungkinan terjadinya kecurangan berupa intimidasi kepada pemilih dan money politic. Hal ini harus disikapi agar hak-hak politik para pemilih tidak ternodai pada Pemilu 2009 nanti.

Bagaimana dengan kemungkinan semakin banyaknya golput(?). Hal ini tentu bukan menjadi sesuatu yang “mengancam” pelaksanaan pemilu 2009. Mengingat bahwa golput tidaklah memiliki hubungan signifikan terhadap hasil pemilu itu sendiri. Malahan apabila masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya alias golput maka jelas-jelas akan merugikannya sebab dari hasil pemilu yang akan diperoleh, masyarakat yang golput sekalipun akan menuai dampak dan imbas dari hasil pemilu berupa terpilihnya anggota legilslatif maupun presiden/wakil presiden. Oleh karena itu, betapa pentingnya menggunakan hak pilih ini harus sungguh-sungguh disadari oleh seluruh komponen bangsa.

Lagi-lagi ketika momen pemilu digelar, masyarakat terutama wong cilik selalu berada di garis depan menjadi “korban” politik para elit politik atas nama kepentingan. Dan sayangnya, para politisi yang bakal menjadi anggota legislatif di 2009 belum tentu dapat “menyuarakan” apalagi memperjuangkan hak-hak para pemilihnya. Contoh yang paling tampak bahwa ketika penentuan daftar calon anggota legislatif dari parpol, ternyata banyak nama-nama yang bukan berasal dari daerah pilihan yang bersangkutan. Misalkan orang yang berdomisili di Jakarta ternyata masuk daftar calon legislatif di daerah yang jauh dan bukan asalnya. Nah, bagaimana mereka (red. calon anggotal legislatif) mengetahui keinginan dan kebutuhan konstitutennya sementara mereka tidak pernah tinggal ataupun tahu seluk beluk masyarakat di mana dia dicalonkan. Bukan ingin mengatakan hal tersebut adalah ironis, tetapi sungguh itulah kenyataannya.

Oleh karena itu, betapa di tahun 2009 ini sudah selayaknya kita harus dapat (me)manusia(kan) manusia. Artinya bahwa masyarakat Indonesia sebagai seorang manusia harus ditempatkan dan diperlakukan selayaknya manusia, bukan hanya dijadikan obyek pesakitan manusia-manusia lainnya. Sukses Pemilu 2009 = sukses memanusiakan manusia.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox