DI negeri yang penuh kasus,penuh permasalahan, makelar kasus telah tumbuh sebagai industri bernilai tambah tinggi. Permintaan terhadap layanan jasa kemakelaran, yaitu jasa untuk menjembatani pihak-pihak yang sepintas memiliki kepentingan berlawanan, tapi sesungguhnya sama-sama mencari solusi saling menguntungkan, tak akan pernah lesu.
Pasar jasa kemakelaran dalam teori ekonomi disebut sebagai pasar dengan karakter permintaan yang inelastis. Dengan nama, derajat, dan intensitas berbeda, industri ini marak pada hampir semua mata rantai kehidupan masyarakat dan secara khusus tumbuh subur di sekujur birokrasi pelayanan publik.
Kita telah terbiasa berbicara soal calo pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), calo pembuatan surat izin mengemudi (SIM), makelar pengurusan jabatan fungsional akademik guru besar, makelar kasus hukum,dan yang sekarang sedang diributkan, makelar kasus pajak. Peran sebagai makelar menjanjikan imbalan berlimpah karena dalam posisi makelar, seseorang secara leluasa dapat memainkan sisi penawaran dan permintaan secara serentak.
Penawaran di sini sengaja dikesankan langka (scarce) dan eksklusif agar harga dapat ditentukan mirip seperti pada struktur pasar monopoli. Bila yang ditawarkan berkaitan dengan soal kewenangan negara dan pemanfaatan lubang-lubang peraturan (loopholes), selalu dikesankan bahwa risiko konsesi yang diberikan besar sehingga pasar jasa ini seolah-olah bersifat ”take-it or leave-it” (ambil atau lepas).
Permintaan tak pernah surut (inelastis) karena pihak yang seharusnya melayani piawai memproduksi masalah. Produksi masalah dilakukan karena besar-kecilnya rezeki merupakan fungsi dari kemampuan menciptakan masalah tiada henti. Di hadapan petugas yang memiliki kewenangan besar, para peminta layanan jasa hanya bisa berperan sebagai pecundang.
Birokrasi pelayanan publik kita selama ini terkontaminasi praktikpraktik pemakelaran yang parah, yang sesungguhnya merupakan anak kandung sistemik sebagai upaya mengatasi keterbatasan penghasilan penjabat publik.Jadi, tugas tak tertulis pertama para penjabat publik adalah memilih makelar, calo, atau orang kepercayaan untuk dijadikan tumpuan mengamankan sumber-sumber rezekinya yang sebagian besar terdiri atas upeti. Birokrasi upeti berlapis-lapis seperti ini telah menjadi rahasia umum sejak lama.
Upeti bahkan sudah dimainkan sejak proses awal rekrutmen peserta didik dan calon pegawai instansi pelayan publik. Kondisi ini pula yang mendorong kita untuk melakukan upaya terobosan reformasi birokrasi. Kita sadar, biang masalah dan kendala terbesar proses pembangunan nasional terletak pada birokrasi negara. Ekspresi keterkejutan kita tentang maraknya praktik makelar kasus sesungguhnya bagian dari ekspresi kepura-puraan kolektif kita sebagai bangsa.
Memusuhi makelar kasus berarti memusuhi mereka-mereka yang selama ini telah membuat kita nyaman dan hidup enak-terhormat.Tugas memberantas makelar kasus hampirhampir identik dengan tugas untuk memerangi diri sendiri. Itu sebabnya kita tak perlu kecewa apabila setiap ada kasus meledak, yang terjadi adalah upaya mengulur waktu penyelesaian agar dampak sistemik dari kasus tersebut dapat diisolasi atau diminimalkan.
Supaya ada kesan serius biasanya dilakukan mutasi,demosi, atau pemecatan secara terbatas. Setelah beberapa waktu, praktik yang sama kembali berulang, dengan modus atau pola yang telah dimodifikasi,dengan jaringan kerja atau jaringan pertemanan yang lebih selektif lagi. Gayus Tambunan, pegawai pajak yang saat ini menjadi selebriti buron, adalah contoh anak muda yang ”sukses” karena pada usia muda telah mampu menempatkan diri pada jaringan kerja yang strategis dan bernilai tambah menggiurkan.
Bayangkan, pada usia kerja (tenure) yang pendek, dia mendapat kepercayaan untuk menangani kasus bernilai miliaran rupiah. Hanya nasib sial yang membawanya jadi buron. Di lain sisi,Gayus dinilai berjasa karena teman-teman yang menjalankan peran serupa kini telah diingatkan olehnya agar lebih hatihati atau mempercanggih modus kerja pemakelarannya.
Bagi jaringan kerja mafia makelarnya, kasus Gayus mungkin dianggap pelajaran tambahan agar rekrutmen keanggotaan mafia dilakukan lebih hati-hati karena untuk melakukan korupsi kolektif juga dibutuhkan ”kesalingpercayaan yang tinggi”. Kasus Gayus juga mengentakkan kita,ternyata apa yang selama ini kita anggap normal mengandung cacat (the pathology of normalcy).
Kewajiban membayar pajak telah bermetamorfosis menjadi permainan ”Paling Aman jika Anda Kompromi”.Kompromi ini dilakukan berlapis-lapis dan sering melibatkan peran konsultan yang merangkap sebagai ahli suap.Kalangan pengusaha sering memilih konsultan yang telah memiliki reputasi sebagai makelar yang aman. Kita sepakat, Gayus akan berjasa dan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah republik apabila dia mampu membeberkan berbagai modus penggelapan pajak yang terjadi.
Sayang, sampai sekarang kita belum memiliki sistem insentif untuk mendorong dan melindungi para peniup peluit (whistleblower) melakukan hal demikian. Ide untuk menerapkan asas pembuktian terbalik pada kekayaanpara penjabatpublikmerupakan ide yang bagus.
Namun, pelaksanaannya akan lebih efektif bila diintegrasikan dengan pemberlakuan asas pengampunan penyimpangan di masa lalu dan pelaksanaan metode ”stick and carrot”dalam sistem remunerasi penjabat publik. Dibutuhkan langkah-langkah luar biasa untuk menciptakan keseimbangan baru atau destruksi kreatif pada struktur industri korupsi yang telah berurat-akar ini. Dibutuhkan komitmen politik dalam dosis yang ekstrabesar.(*)
PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PH.D
Pengamat Ekonomi
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/314458/