Oleh Budi H. Wibowo
8 Juli 2009 adalah momentum sejarah yang akan tercatat dalam lembar sejarah perkembangan demokratisasi di Indonesia. Generasi-generasi berikutnya akan selalu mengingat bahwa tanggal tersebut menjadi tonggak tersendiri bagi kemajuan dan sekaligus pengalaman berharga yang dapat menjadi pelajaran berarti di masa datang. Berbagai kontroversi yang menyeliputi pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) presiden 2009 –mulai dari awal hingga pelaksanaannya— menjadi bahan penting untuk kelanjutan masa depan kehidupan demokrasi.
Pemilu presiden (pilres) 2009 adalah pemilu kedua yang dilaksanakan secara langsung di mana rakyat Indonesia secara langsung memilih calon presiden dan calon wakil presiden pilihan mereka. Rakyat sekali lagi telah diberikan tempat “istimewa” dalam alam demokrasi Indonesia karena selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru hal tersebut merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilakukan.
Peran penting rakyat dalam pilpres 2009 sempat “terganggu” dengan adanya kisruh mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, hal ini minimal dapat teratasi dengan adanya Putusan MK perihal memperbolehkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang disertakan Kartu Keluarga (KK) dan Paspor bagi warga yang tidak tercantum dalam DPT. Walhasil, warga negara pada 8 Juli 2009 –yang semula tidak dapat memilih karena tidak ada dalam DPT—dapat memilih dan menggunakan haknya sehingga warga negara/rakyat dapat berpartisipasi.
Laporan Penggunaan Dana Kampanye
Nampak jelas dalam penglihatan dan pendengaran kita, bahwa para capres-cawapres pada pilpres 2009 dengan sungguh-sungguh ingin memikat hati rakyat agar memilih mereka. Berbagai macam jenis iklan yang disungguhkan melalui media televisi, radio, internet, media cetak, dan sebagainya memberikan kesan bahwa kesungguhan tersebut memang patut diapresiasikan meskipun tidak sedikit biaya yang dikeluarkan karena iklan-iklan tersebut.
Berdasarkan data KPU (lihat www.kpu.go.id) sampai tanggal 5 Juli 2009 tercatat dana kampanye ketiga pasangan capres-cawapres masing-masing adalah 1. Mega-Prabowo sebesar Rp. 257.600.050.000,-; 2. SBY-Boediono sebesar Rp. 200.470.446.232,-; dan 3. JK-Wiranto sebesar Rp. 83.327.864.390,-. Dari jumlah dana kampanye tersebut jelas tersirat bahwa betapa besarnya modal bagi seorang capres-cawapres yang berkompetisi memperebutkan kursi kepresidenan.
Modal yang besar itu patut untuk diperiksa sehingga kecurigaan-kecurigaan seperti pada pemilu 2004 tidak terjadi. Misalnya pada pemilu 2004 sempat terdapat kecurigaan penggunaan dana kampanye yang diawali dengan adanya pengakuan Amien Rais yang menerima dana dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kecurigaan Amien tersebut sempat memicu ketegangan pasca pemilu 2004 (lihat Kompas, 4 Juni 2007).
Terkait dengan itu, maka pengalaman pada pilpres 2004 patut menjadi pelajaran tersendiri bagi publik untuk tidak saja hanyut dalam euforia kemenangan salah satu capres-cawapres tetapi lebih dari itu harus memperhatikan secara jelas laporan penggunaan dana kampanye sebagai wujud amanat undang-undang yang menyebutkan bahwa pasangan capres-cawapres dan tim kampanye melaporkan penggunaan dana kampanye kepada KPU paling lama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa kampanye (lihat Pasal 100 UU No. 42 Tahun 2008).
Antisipasi Perselisihan Hasil Pilpres
Bagi capres-cawapres dan para tim suksesnya yang berdasarkan perhitungan cepat (quick count) merasa telah “menang” tentunya telah bersyukur dan berucap “selamat”. Tetapi hal ini tentunya masih menunggu penetapan hasil pemilu yang diumumkan oleh KPU (30 hari sejak pemungutan suara dilakukan). Suasana gembira dan suka ria capres-cawapres yang oleh sementara perhitungan dianggap menang. Berdasarkan quick count capres-cawapres SBY-Boediono berada pada urutan nomor satu alias “pemenang” karena memperoleh hampir 60 persen lebih suara pemilih dibandingkan dengan kompetitor lainnya.
Sembari menunggu pengumuman resmi KPU mengenai hasil perhitungan suara pada pilpres 2009 maka sudah sepatutnya bagi para kontestan pilpres menyiapkan dan mempersiapkan bahan dan data jika dianggap terjadi perbedaan suara ataupun hal-hal terkait dengan suara yang diperoleh mereka. Mengapa demikian? Karena hal inilah yang mungkin kurang diperhatikan oleh para kontestan dan juga merujuk pada pengalaman pelaksanaan pemilu legislatif beberapa waktu lalu di mana bahan dan data yang dapat dijadikan bukti untuk diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi kurang memadai.
Kesiapan dan persiapan dari masing-masing kontestan baik yang sementara dianggap menang maupun yang sementara dianggap kalah adalah penting dilakukan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa berdasarkan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 capres-cawapres yang terpilih menjadi presiden adalah yang memenuhi lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Paling tidak untuk kesiapan dan persiapan mengantisipasi perselisihan hasil pilpres yang mungkin diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi para capres-cawapres perlu mengetahui pedoman beracara dalam perselisihan hasil pemilu presiden dan wapres, terutama yang terkait dengan alat bukti. Alat bukti dimaksud adalah surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, dan petunjuk (lihat Pasal 9 PMK No. 17 Tahun 2009).
Antisipasi perselisihan hasil pilpres ini juga seharusnya dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggaran pilpres karena ketika nantinya hasil pilpres ternyata diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi maka KPU jelas akan menjadi pihak terkait guna menguji bukti-bukti dari para pemohon (capres-cawapres).
Nah, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika ternyata putusan MK atas perkara PHPU Pilpres mengubah komposisi hasil piplres 2009? Misalkan pasangan capres-cawapres SBY-Boediono yang telah mendapatkan hasil lebih dari 50 persen suara pemilih dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia berubah karena adanya Putusan MK yang mengabulkan permohonan capres-cawapres Mega-Prabowo sehingga menyebabkan suara SBY-Boediono menjadi tetap lebih dari 50 persen suara dengan 15 persen suara di setiap provinsi. Artinya, meskipun terpenuhi lebih dari 50 persen suara tetapi ternyata akibat Putusan MK suara SBY-Boediono tidak mencapai 20 persen suara di setiap provinsi. Apa yang akan terjadi? Tentunya dapat mengakibatkan pilpres putaran kedua digelar.
Oleh karena itu, bagi para capres-cawapres antisipasi berbagai hal termasuk perselisihan hasil pilpres harus disiapkan sehingga masalah yang mungkin terjadi dapat diatasi dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan agar penetapan presiden dan wapres terpilih tidak berlarut-larut karena agenda implementasi program kerja dari presiden-wapres terpilih sudah ditunggu rakyat.