MENYIKAPI SINDROM UNILATERAL
Oleh: Budi H. Wibowo
Salah satu rekomendasi dari pertemuan para pejabat tinggi Asia-Eropa (ASEM) beberapa hari lalu (21/7) di Nusa Dua Bali adalah pentingnya upaya mengembalikan percaturan internasional melalui mekanisme multilateral (Kompas, 22/7). Perhatian dunia nampaknya akan dibawa kembali pada wacana multilateral akibat dari tindakan unilateral negara-negara besar seperti AS terhadap Afghanistan, Irak dan segera menyusul Korea Utara.
Diskursus mengenai sistem multilateral sebetulnya telah ada sejak peta kekuatan internasional masih bersifat bi-polar. Ketika, Uni Soviet masih bertengger sebagai salah satu poros kekuatan internasional di samping AS. Saat itu, berlaku tindakan dan dukungan yang bersifat memblok. Namun, pasca perang dingin dengan runtuhnya kedigdayaan Soviet, lambat laun berubah menjadi multipolar yang kemudian dijadikan prinsip membentuk kerjasama multilateral.
Kasus Afghanistan dan Irak yang dipertontonkan merupakan kejelasan dari tindakan unilateral AS dan sekutunya. Pada kasus Afghanistan, isu yang diperdengarkan adalah terorisme. Sementara, untuk kasus Irak berbeda, yaitu tuduhan atas kepemilikan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction/WMD) yang menjadi icon bagi tindakan unilateral mereka.
Upaya pengembalian tata percaturan tersebut yang diusulkan negara-negara dalam forum ASEM, selain merupakan keprihatinan terhadap tindakan unilateral, juga cerminan kegelisahan terhadap hegemoni AS yang semakin tak terbendung. Bentuk multilateral yang jelas-jelas berhasil terwujud adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Akan tetapi, PBB sebagai symbol keberhasilan multilateral ternyata tidak cukup mampu mencegah tindakan unilateral. Dan seringkali PBB mengalami kegamangan ketika dihadapkan pada kepentingan negara-negara pemilik hak veto.
Setidaknya ada empat hal yang patut dicermati mengenai sindrom unilateral yang sekarang menjadi trend tersendiri. Pertama, terkait dengan kepentingan nasional sebuah negara. Ketika national interest tidak cukup terakomodasi melalui forum multilateral seperti PBB, maka negara yang merasa memiliki kemampuan dan kekuatan akan bergerak sendiri.
Hal ini dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh AS terhadap Vietnam, Afghanistan, dan Irak. Selain karena kepentingan yang tidak terakomodasi disebabkan kurangnya dukungan negara-negara lain, juga adanya faktor prestis (gengsi) yang tinggi akibat predikat sebagai negara adikuasa yang merasa diri selalu mampu menyelesaikan masalah negara lain apalagi negaranya sendiri.
Kedua, tidak adanya solusi selain perang. Kaum realis yang percaya bahwa dunia ini anarkhi, maka tidak ada persoalan yang bisa diselesaikan kecuali dengan perang, dan ini adalah persoalan tersendiri. Presiden AS George W Bush merupakan golongan yang berpikiran realis, selain itu orang-orang terdekatnya seperti Collin Powell, Donald Rumsfeld, Dick Cheney, dan Condoleeza Rice termasuk dalam golongan tersebut.
Padahal, tidak semua pejabat pemerintahan dan juga anggota kongres AS berpikiran bahwa perang adalah jawabannya. Termasuk tentang tuduhan terhadap Irak karena kepemilikan senjata pemusnah massal yang ternyata saat ini menjadi polemik. Seperti yang ditulis oleh PLE Priatna (Kompas, 22/7) bahwa pernyataan pemerintah AS berdasarkan laporan intelejen yang akurat. Sementara CIA, Pentagon dan DEA tidak pernah memberi laporan seperti dikutip petinggi negara.
Ketiga, adanya faktor obsesi pemegang otoritas suatu negara. AS di bawah komando Presiden Bush Yunior tidak jauh bedanya dengan “atmosfir” ketika ayahnya memerintah tahun 1995. Bahwa pengaruh psikologi dan karakter pemimpin turut mempengaruhi secara signifikan setiap kebijakan yang dihasilkan.
Memang di banyak negara, dominasi gaya dan karakter pemimpinnya hampir selalu mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara bersangkutan, termasuk obsesi seorang pemimpin yang cenderung ingin dicatat dalam sejarah negaranya.
Keempat, bahwa kesenjangan antara negara maju dan berkembang dalam bidang ekonomi, teknologi bahkan kemampuan militer turut serta memperluas perseteruan dan konflik berkelanjutan. Determinasi yang berlangsung hingga kini memaksa terbentuknya mental hegemonik (hegemonic mentality) negara yang memiliki kemampuan lebih. Di lain pihak, negara yang rendah kemampuannya berusaha merubah diri menjadi besar sehingga kecederungan saling dukung bagi negara yang mau diback-up semakin jelas.
Saling dukung tersebut tidak lain termotivasi oleh semangat penyebaran pengaruh dan dukungan untuk mempertahankan hegemoni yang ada. Sementara, bagi negara dengan kemampuan rendah –karena didukung oleh negara maju— tidak merasa dirinya dimanfaatkan demi melestarikan keberadaan hegemonic state.
Empat hal di atas, tampaknya akan senantiasa beriringan mempengaruhi diambilnya tindakan unilateral suatu negara terhadap negara lain. Namun, penting untuk disadari bahwa kondisi peta percaturan dunia saat ini tidak sama dengan dunia ketika masa PD I, PD II dan perang dingin. Sehingga tindakan unilateral suatu negara tidak perlu ada, apalagi dibarengi dengan arogansi.
Di samping itu, juga perlu dikritisi perihal efektifitas forum-forum multilateral yang telah ada saat ini dan pada dasarnya menjanjikan stabilitas dan perdamaian. Sesungguhnya dengan forum multilateral yang terbentuk dapat meminimalisir konflik antar negara bahkan meniadakan sama sekali konflik. Namun, kondisi riil-nya tidak seperti yang dijanjikan.
Kesaling-percayaan dan menghormati antarnegara sebetulnya merupakan dasar terbangunnya hubungan di antara komponen masyarakat internasional dan hubungan antar negara. Terciptanya kondisi seperti itu memberikan peluang yang sangat baik bagi suatu dialog guna menghadapi perbedaan pandangan atas suatu isu bersama.
Sudah semestinya, ketidakefektifan forum multilateral menjadi agenda tersendiri yang membutuhkan keseriusan untuk menjadikan sistem multilateral sebagai masa depan hubungan antarnegara. Sikap yang diambil forum ASEM terhadap tindakan unilateral AS, mengingatkan masyarakat internasional untuk kembali pada kesepakatan tentang multilateral.
Sehingga setiap hal yang bertendensi dengan penyebaran pengaruh dan hegemoni dapat direduksi melalui penciptaan stabilitas bagi perdamaian yang terselenggara bukan atas kepentingan satu atau beberapa negara saja, tetapi berdasar kebutuhan bersama semua negara.
Pada akhirnya, bila bentuk kerjasama unilateral menjadi pilihan maka dunia hari ini telah mengalami kemunduran yang luar biasa. Hal itu tidak lebih sebagai kegagalan multilateral. Oleh karena itu, wajar jika pembubaran forum-forum multilateral diinginkan. Sebaliknya, jika kerjasama multilateral dijadikan option bagi hubungan antar negara, maka perdamaian dunia adalah suatu keniscayaan tanpa menafikkan dinamika negara-negara.