IRAK PASCA SADDAM
Oleh:
Budi H. Wibowo
30 Desember 2006 tentunya akan menjadi hari paling bersejarah bagi rakyat Irak. Bagaimana tidak pada tanggal tersebut seorang pemimpin yang telah mengawaki Irak selama kurang lebih 20 tahun telah di-”tamat”-kan hidupnya di tiang gantungan. Sungguh tragis nasib yang mendera seorang yang disebut oleh AS sebagai diktator tak terampunkan ini. Tidak sedikit media massa baik di Indonesia maupun di luar yang mengecam betapa bahwa cara eksekusi yang ditetapkan kepada Saddam tersebut. Bahkan yang lebih parahnya lagi adalah pemilihan waktu eksekusi mengapa harus bertepatan dengan peringatan hari besar umat Islam (Idul Adha)? Pertanyaan ini yang coba akan dibahas dalam tulisan ini dengan terlebih dulu melakukan flashback beberapa saat.
Sejak AS di bawah komando Presiden George W. Bush melancarkan aksinya membombardir Irak. Kondisi Irak masih jauh dari baik. Hal ini dapat dengan jelas terlihat dari banyaknya serangan dari bekas pasukan Saddam Husein sekaligus juga perlawanan dari kelompok-kelompok yang tidak menginginkan Irak dikendalikan AS.
Di samping itu, upaya rehabilitasi pasca serangan AS terhadap infrastruktur di Irak belum maksimal menambah kejelasan bahwa sesungguhnya rakyat Irak belum siap untuk melakukan pemilu. 30 Januari 2004 merupakan hari bersejarah bagi rakyat Irak. Setidaknya itu yang terbersit dari pelaksanaan Pemilihan Umum (pemilu) di Irak pasca runtuhnya pemerintahan Saddam. Pemerintahan sementara yang dipimpin PM Iyad Allawi menyebutkan sedikitnya 60 persen rakyat berpartisipasi dalam pemilu saat itu.
Butuh waktu sepuluh hari untuk memastikan hasil pemilu yang menentukan 275 anggota majelis nasional dan pemerintah baru di Irak sebagaimana disebutkan pemerintah sementara Irak. Pemilu yang pertama dilakukan sejak 50 tahun terakhir diikuti oleh sekitar 8-9 juta rakyat Irak. Namun, data tersebut masih merupakan perkiraan sementara, dan data pastinya belum bisa diperoleh secara jelas.
Netralitas Pemilu Irak
Sebagaimana lazimnya, bahwa pemilu merupakan cara untuk menilai sebuah negara demokratis atau tidak, maka tentu saja pemilu di Irak pun demikian halnya. Akan tetapi, apa yang terjadi di Irak –seperti halnya di Afghanistan— tidak cukup bisa dikatakan sebagai pemilu yang demokratis. Dan yang terjadi hanyalah formalitas dari sebuah pelaksanaan pemilu belaka.
Bila begitu adanya, maka wajar jika muncul anggapan bahwa pemilu hanya dijadikan alat legitimasi untuk membentuk pemerintah baru terutama di negara seperti Irak yang masih dalam masa pasca konflik. Keterlibatan pihak AS mulai dari menginvasi Irak atas tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal (weapon mass destruction) yang diakhiri dengan pendudukan Irak, dapat memperkuat anggapan tersebut.
Pemerintah yang bakal dibentuk pasca pemilu tentu saja sangat diharapkan terutama oleh negara semacam AS. Ada tiga hal yang bisa dijadikan alasan mengapa keterlibatan AS tersebut secara langsung ataupun tidak mempengaruhi kualitas pemilu di Irak, yaitu pertama, penyelenggara pemilu dalam hal ini adalah komisi pemilihan umum Irak masih jauh dari netral. Padahal pelaksanaan pemilu yang jurdil dan demokratis sebagaimana menjadi standar dari AS sebagai kampium demokrasi adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Netralitas KPU Irak patut dipertanyakan.
Kedua, keberadaan pasukan AS menjadi salah satu pemicu ketidak-netralan pemilu. Pada dasarnya bila ditinjau dari segi keamanan, pemilu memang memerlukan suasana dan kondisi yang aman, tetapi bukan dengan cara ‘memarkir’ pasukan AS di Irak. Oleh karena itu, pada masa pasca konflik atau perang, sebuah negara mestinya dijaga oleh pasukan PBB, bukan oleh pasukan sebuah negara. Sehingga netralitas pemilu sekali lagi perlu dipertanyakan.
Ketiga, di samping dua faktor di atas, tampaknya tindakan AS menyerbu Irak, didorong dengan adanya resolusi dewan keamanan PBB 1368 dan 1373 tentang perang terhadap terorisme. Hal ini, menjadi “senjata” AS menginvasi dan mengusir Saddam, sebab kepemimpinan Saddam dianggap jauh dari demokratis dan potensial terhadap tindakan-tindakan teror terhadap AS, terutama dikaitkan dengan kepemilikan senjata pemusnah massal. Hal ini mengisyaratkan bahwa sejak awal keterlibatan AS di Irak jelas merupakan bentuk non-netralias pemilu Irak.
Semakin Terpuruk
Sebetulnya melalui pemilu dapat membangkitkan kembali harapan rakyat Irak untuk hidup lebih baik lagi. Namun, berdasar uraian di atas dapat ditarik kesimpulan awal, rakyat Irak bakal semakin jauh dari harapan itu. Empat hal yang bisa dijelaskan meskipun pemilu telah digelar namun tidak menjadi jawaban atas keterpurukan Irak. Atau dengan kata lain, pemilu di Irak gagal.
Pertama, pemilu yang tidak netral. Artinya, ketika pemilu dijadikan alat legitimasi pembentukan pemerintah baru tentu saja pemerintah yang bakal dibentuk unlegitimate. Sehingga berpengaruh terhadap kepercayaan rakyat Irak nantinya yang linier bagi keberhasilan pemerintah baru. Walhasil, tidak semakin baik kehidupan di Irak namun malah semakin terpuruk.
Kedua, tidak menjamin bahwa pemerintahan yang terbentuk dapat mengakomodir keinginan rakyat Irak. Hal ini patut dijadikan pertanyaan, karena kecurigaan dari non-netralitas pemilu menghasilkan pemerintah yang ‘dapat dikontrol’, tentu saja oleh AS. Dengan demikian, kepentingan AS dapat secara leluasa terpenuhi. Terutama bagi kebutuhan suplai minyak mereka.
Sudah menjadi rahasia umum, keinginan AS menguasai negara-negara di kawasan Timur Tengah tidak lain didorong pemikiran menguasai sumber-sumber minyak. Mengingat kebutuhan rakyat AS begitu besar terhadap minyak untuk menjalankan roda industri, dan sebagainya.
Terkait dengan itu, belum lama ini Presiden Venezuela Hugo Chaves juga memperingatkan negara-negara di Amerika Latin tentang keingingan AS untuk menjadi penguasa dunia. Peringatan Hugo tersebut menyebabkan ketegangan hubungan Venezuela dengan AS. Perlu diketauhi Venezuela merupakan negara pengekspor nomor lima di dunia. Dan juga merupakan salah satu pensuplai utama minyak AS, kurang lebih 15 persen minyak impor AS berasal dari Venezuela.
Ketiga, secara keseluruhan proses pemilu di Irak dapat disimpulkan akhirnya seperti apa. Dan ketidak-siapan rakyat Irak dalam pemilu merupakan faktor yang mestinya dipertimbangkan dalam pendemokratisasian Irak secara utuh tidak sepenggal-penggal. Selain itu, sebetulnya tidak dinafikkan peran AS dalam membawa misi demokratisasi di Irak patut dihargai. Akan tetapi, motivasi di balik misi mulia ini juga patut diwaspadai. Mengingat dari sejumlah calon anggota majelis nasional Irak dapat disebut sebagai orang dekat AS.
Tiga hal ini bisa menjadi indikasi kegagalan pemilu di Irak. Dan masa depan demokrasi yang diinginkan ada di Irak. Yang semuanya itu secara langsung terkait dengan kehidupan rakyat Irak pasca Saddam Husein lengser. Perhatian dan partisipasi negara-negara di dunia bagi masa depan rakyat Irak tentu dibutuhkan, terutama negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah, jika menginginkan rakyat di negara tetangganya hidup dengan tentram.
Perhatian negara-negara Timur Tengah diperlukan karena bila konflik tak berkesudahan di Irak terus dibiarkan, maka turut mempengaruhi dinamika negara-negara tetangganya. Di samping itu, perhatian PBB juga dibutuhkan dengan mengfungsikan PBB sebagaimana tercantum dalam prembule PBB untuk menciptakan perdamaian di dunia.
Seruan Bersama
Sudah sepatutnya AS sebagai yang disebut kampiumnya demokrasi tidak lagi melakukan kesalahan-kesalahan yang disengaja dan telah merenggut jutaan nyawa manusia dengan dalih keamanan dunia apalagi dengan cara-cara menganeksasi negara lain. Apalagi kesalahan itu atas keputusan hanya oleh seorang George W. Bush (manusia biasa bukan penentu hidup mati orang lain apalagi negara lain). Tentu hal ini sangatlah bertentangan dengan demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai penghormatan terhadap hak asasi manusia itu sendiri.
Selain itu, sudah saatnya negara-negara di Timur Tengah menunjukkan betapa bahwa kekuatan bersama lebih berpengaruh dan kuat dibandingkan sendiri-sendiri. Melalui liga arab dan organisasi-organisasi regional lainnya sudah semestinya negara-negara di Timur Tengah peduli akan nasib Irak. Minimal memberikan seruan moral terhadap eksekusi Saddam.
Saddam telah mangkat tetapi semangatnya tentu tetap menyala dan semakin menyulutkan perjuangan para pengikutnya. Penyelesaian konfik di Irak bukan dengan cara balas dendam dengan mestinya dipahami melalui cara-cara yang lebih santun dan beradab.