28 February 2007

Tentang "Recall"

TENTANG “RECALL”

Oleh:

R.M. Ananda B. Kusuma

Recall adalah istilah pinjaman yang belum ada padanannya di Indonesia. Pengertian Recall di Indonesia berbeda dengan pengertian recall di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat istilah recall, lengkapnya recall election yang digunakan untuk menyatakan hak rakyat pemilih (konstituen) untuk melengserkan wakil rakyat sebelum masa jabatannya berakhir. Prosedurnya dimulai dari inisiatif rakyat pemilih yang mengajukan petisi kepada para anggota badan perwakilan. Bila Badan Perwakilan Rakyat menyetujui petisi pemilih (konstituen), maka diadakan pemungutan suara yang akan menentukan apakah wakil rakyat terkait akan lengser atau tetap dijabatannya. Recall adalah hak dari konstituen, bukan hak dari wakil rakyat alias representative.

Recall berkembang sejak tahun 1903. Di California ada 117 kali percobaan untuk melengserkan para anggota legislatif. Ada tujuh kali yang sampai pada pemungutan suara pemilih, tetapi tidak ada satupun yang berhasil. Pada umumnya warganegara Amerika Serikat berpendapat bahwa masa jabatan anggota legislatif yang hanya dua tahun itu cukup untuk menilai keberhasilan seseorang. Bila seorang representative dianggap tidak berhasil maka dia tidak akan dipilih kembali.

Recall untuk eksekutif hanya berhasil melengserkan Gubernur North Dakota, Lynn J. Frazier pada tahun 1921 dan Gubernur California Gray Davis pada tahun 2003.

Hak recall itu menimbulkan kontroversi. Hal ini disebabkan ada dua aliran yang bertentangan. Aliran pertama berpendapat bahwa wakil rakyat itu seyogyanya hanya menjadi delegates atau messenger boy (penyalur suara), hanya menyalurkan pesan konstituennya. Aliran kedua menyatakan bahwa wakil rakyat seyogyanya menjadi trustee (utusan yang dipercaya), yakni wakil rakyat yang menyampaikan pendapatnya di lembaga perwakilan menurut pertimbangan dan pemikirannya sendiri demi kepentingan seluruh rakyat. Penganut teori “Representative sebagai Trustee” (Teori Mandat Penuh) berpendapat bahwa wakil rakyat, setelah memangku jabatan publik, baik eksekutif maupun legislatif, tidak lagi bertindak untuk kepentingan partainya, melainkan harus bertindak untuk kepentingan seluruh bangsa.

Menurut Presiden Amerika Serikat ke-4 John Quincy Adams, seyogyanya konstituen memilih wakilnya bukan karena kesamaan pandangan saja, tetapi karena konstituen mengharapkan wakil yang dipilihnya mempunyai kemampuan lebih dari dirinya untuk mempertimbangkan hal yang spesifik untuk kepentingan bersama (“a representative ought to be elected by his constituents, not because his views reflect theirs, but because they expect that in most specific cases his particular judgement of their best interest will be better than their own”). Menurut Adams, “representatives should not be “instructed” by their voters or their parties, or at least they should not be held to such instructions”.)

Kontroversi itu berujung pada ketentuan bahwa recall hanya berlaku untuk pejabat publik pada tingkat negara bagian atau munisipal (Kota Praja), baik pejabat eksekutif maupun legislatif. Sebabnya, demokrasi langsung masih ada di munisipal (kotapraja) dan di sejumlah negara bagian, jadi recall masih diberlakukan.

Representative di negara bagian hanya menentukan kebijakan yang bersifat lokal, tetapi representative pada tingkat federal, yang menentukan kebijakan untuk seluruh Amerika Serikat, harus mampu membuat kebijakan untuk seluruh Amerika Serikat, bukan hanya untuk negara bagian atau munisipalnya, oleh karena itu recall tidak dapat diberlakukan. Pada tahun 2006 ini ada penegasan bahwa recall tidak berlaku untuk sistem federal. Hal itu menunjukkan bahwa untuk tingkat federal dianut prinsip representative sebagai trustee. Negara bagian dapat menentukan apakah prinsip yang akan dianut. Ternyata hanya 18 negara bagian yang masih menggunakan sistem recall.

Sebagaimana dikemukakan, anggota legislatif di tingkat federal (representative maupun senator) tidak dapat dilengserkan melalui recall election. Anggota legislatif dapat dilengserkan karena melanggar code of ethics. Istilahnya berubah menjadi recall of legislators and the removal of members of congress from office.

Pelengseran anggota eksekutif dan judisiil di tingkat federal dilakukan dengan istilah impeachment (pendakwaan) yang prosesnya dimulai di House of Representative. Bila dua pertiga atau lebih anggota yang bertindak sebagai jaksa dan anggota senat bertindak sebagai dewan hakim (juri).

Impeachment bagi presiden Amerika Serikat baru tiga kali dilakukan, ketiga-tiganya tidak berhasil. Pemungutan suara untuk melengserkan Johnson dan Clinton tidak memenuhi dua pertiga dari seluruh suara kongres sedangkan Presiden Nixon menghindari pelengseran dengan jalan mengundurkan diri sebelum pemungutan suara dilakukan. Sedangkan impeachment untuk anggota judisiil menyebabkan tujuh Hakim Agung/ Hakim Tinggi lengser dari jabatannya.

Istilah “Recall” di Indonesia

Kalau kita menyimak sejarah konstitusi kita maka akan terlihat bahwa para penyusun konstitusi kita (framers of the constitution) menganut teori “Representative sebagai Trustee”, bukan “Representative sebagai Delegate/Messenger Boy”. Hal itu tercermin di Pasal 72 UUD Tahun 1950 yang menyatakan bahwa ”Anggota-anggota DPR mengeluarkan suaranya sebagai orang yang bebas, menurut perasaan dan kehormatan batinnya, tidak atas perintah dan kewajiban berembuk dahulu dengan orang yang menunjuknya sebagai anggota”.[1]

Selama hampir 60 tahun kita menganut prinsip “Representative sebagai Trustee”, tetapi tiba-tiba ada coup dari pimpinan partai yang merebut hak rakyat untuk melakukan recall menjadi hak partai. Sistem pemerintahan kita tanpa teori yang jelas berubah dari “kedaulatan rakyat” menjadi “kedaulatan partai”.

Prinsip “Representative sebagai Trustee” sering dikemukakan oleh Bung Karno. Beliau sering mengucapkan kalimat, “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.”[2] Tetapi sayangnya, putri beliau, Megawati Sukarnoputri, tidak mau mengikuti ajaran ayahnya. Pada waktu menjadi presiden dia tetap menjadi Ketua PDIP dan menegaskan bahwa dia punya hak prerogative (sic) untuk melarang, bahkan memecat, anggota DPR dari PDIP yang berbeda pendapat dengan pimpinan partai. Nampaknya Megawati Sukarnoputri lebih tertarik pada ajaran Presiden Soeharto dan Presiden Habibie yang punya hak prerogative sebagai pembina Golkar.

Bagaimana pendapat RI 1 dan RI 2 yang sedang menjabat? Pendirian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum jelas, terbukti dia masih ragu apakah akan menjadi Ketua Partai Demokrat atau akan menegaskan bahwa selama menjadi presiden dia tidak akan menjadi Ketua Partai Demokrat.

Sebaliknya pendirian Wakil Presiden Yusuf Kalla telah jelas. Dia menentang pendiri negara yang menyatakan bahwa presiden harus melepaskan jabatannya sebagai ketua partai. Para pendiri negara berpendapat bahwa lembaga kepresidenan adalah simbol integrasi dari seluruh rakyat, solidarity maker bagi seluruh rakyat. Bagaimana mungkin akan terjadi solidarity bila wakil presiden mengucapkan selamat dan pesan hanya pada anggota Golkar. Bukankah kepentingan negara tidak selalu sejajar dengan kepentingan partai? Bukankah kepentingan seluruh rakyat tidak selalu sama dengan kepentingan anggota partai Golkar? Sudah pasti bahwa Yusuf Kalla kadang kala akan menghadapi dilema untuk menentukan pilihannya, apakah akan memilih kepentingan rakyat atau hanya untuk kepentingan Golkar. Kadang kala dia akan menghadapi buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati.[3] Yusuf Kalla berpendapat bahwa representative hanyalah messenger boy. Hal itu terlihat dari tindakannya yang kurang demokratis, mengeluarkan ancaman untuk me-recall Anggota DPR dari Golkar Akil Mokhtar yang mempertanyakan kebijaksanaannya. Yusuf Kalla[4] seyogyanya memahami bahwa salah satu ukuran demokrasi adalah bahwa anggota DPR itu dipilih oleh rakyat bukan oleh partai[5] dan tidak boleh ditentukan oleh pemerintah seperti zaman Orde Baru.

Dapat ditambahkan bahwa bentuk negara republik[6] berarti bahwa kita menganut paham permusyawaratan perwakilan (representative government) sebagaimana yang tercantum di sila keempat. Di Indonesia, anutan kita jelas terlihat di Pembukaan dan Pasal 1 UUD 1945. Di Pembukaan dinyatakan bahwa susunan negara kita adalah Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan demokrasi kita adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Di Pasal 1 disebut bahwa “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”.[7]

Di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pembahasan mengenai bentuk negara menimbulkan perdebatan hangat mengenai istilah dan substansi. Ki Bagus Hadikusumo menyatakan bahwa istilah republik dan monarkhi itu ada setannya, artinya bisa menimbulkan perdebatan yang dapat memecah belah persatuan. Sebaiknya dikemukakan saja apa substansi bentuk negara, tidak perlu memakai istilah republik. Pendapat Ki Bagus tidak diterima dan pemilihan bentuk negara tetap memakai istilah kerajaan atau republik.[8] Para pendiri negara kita menganut paham demokrasi tidak langsung untuk tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan kotapraja; dan untuk desa/marga/geumpung kita menganut demokrasi langsung.

“Recall” di Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa partai berhak me-recall anggotanya dari DPR. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu berlawanan dengan teori representasi yang dianut oleh pendiri negara dan telah menjadi konvensi karena telah berlaku selama hampir 60 tahun. Keputusan Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan pemungutan suara, lima anggota setuju dan empat anggota tidak setuju. Kiranya perlu dicatat bahwa Prof. Jimly Asshiddiqie dan Prof. Laica Marzuki, pakar konstitusi yang mempunyai dasar teori konstitusi yang kuat, menyatakan dissenting opinion-nya. Dissenting opinion para pakar itu sudah pasti didasarkan pada norma yang dianut secara universal, yakni bahwa anggota parlemen tidak bisa dihukum karena ucapannya di sidang.[9]

Timbul pertanyaan, apakah Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengikat dan final itu dapat diubah? Bagaimana caranya?

Menurut penulis, kita dapat mengubah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan cara seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Sebagaimana diketahui, Supreme Court Amerika Serikat pada tahun 1857 yang menyatakan bahwa budak yang lari, Dred Scott hanyalah “property”. Putusan itu diubah oleh Amendemen 13 tahun 1865 tentang Penghapusan Perbudakan.

Bila kita melakukan cara tersebut di atas, maka Putusan Mahkamah Konstitusi dapat diubah dengan jalan amendemen UUD kita dengan jalan memasukkan prinsip “Representative sebagai Trustee” seperti yang tercantum di Pasal 72 UUD 1950.

sumber: Jurnal Konstitusi volume III nomor 4 (desember 2006)




[1]Konstitusi RIS 1949, di pasal 90, menyatakan bahwa “Angota-anggota Senat mengeluarkan suaranya sebagai orang yang bebas, menurut perasaan dan kehormatan batinnya, tidak atas perintah atau dengan kewajiban berembuk dahulu dengan mereka yang menunjuknya sebagai anggota.” Pasal 38 Basic Law for the Federal Republic of Germany menyatakan, “The deputies of the German Bundestag are elected in universal, direct, free, equal and secret election. They are representatives of the whole people, are not bound by orders and instructions and are subject only to their conscience.

[2] Mungkin dikutip dari ucapan presiden Filipina, Manuel Quezon (1878-1944). Mohammad Natsir dai Masyumi juga mengutip ucapan tersebut pada waktu menjadi Perdana Menteri, 1951.

[3] Lelucon yang tersebar adalah bagi pedagang solusi untuk buah simalakama mudah saja. Agar bapak dan ibu tidak mati maka buah Simalakama dijual saja, solusinya menghasilkan duit..

[4] Penulis gembira waktu Wakil Presiden Yusuf Kalla menutip ucapan Khalifah Abu Bakar meskipun ada bagian penting yang tidak diucapkan. Penulis hanya mempunyai kutipan dalam bahasa Inggris yang berbunyi sebagai berikut: “I have been given authority over you, but I am not the best of you. If I do well help me, and if I do ill then put me right. Dan yang tidak diucapkan adalah: “True critism is considered a loyalty, and false applause is treachery.”

[5] Anggota Parlemen di Cina dan Rusia dipilih oleh partai.

[6] Menurut James Madison, Bapak Konstitusi Amerika Serikat, Republik adalah bentuk pemerintahan demokrasi tidak langsung, sedangkan Demokrasi adalah bentuk pemerintahan Demokrasi tidak langsung. (Lihat Federalist Papers No. 10). Di Amerika Serikat, Form of Government mencakup dua hal, yakni: Unitary atau Federal dan Type of Government yang mencakup Monarchy dan Republic. Lihat Peaslee, Constitution of Nation, III, 1950: 550-553. Di Belanda, istilah Staatsvorm, Bestuurvorm dan Regeringsvorm sering tidak dibedakan, republik sering disebut sebagai bentuk staatsvorm, bestuurvorm maupun regeringsvorm (Landen kun je onderscheiden naar staatsvorm. Hoewel het word ‘staatsvorm’ ook wel gebruikt voor ‘regeringsvorm’). Lihat juga J.H.A. Logemann, Tentang Teori Hukum Tata Negara Positif, 1975:112-114

[7] Para pendiri negara kita juga memakai istilah bentuk negara (form of government) yang mencakup bentuk negara dan bentuk pemerintahan (type of government). Djokosutono memakai istilah yang agak berbeda. Staatvorm ialah Republik (atau Monarki), Regeringsvorm ialah parlementaire stelsel atau presidentiele stelsel; Staatstype ialah Polizei Staat, Nachtwachter Staat atau Wohlfahrt Staat, sedangkan Staatsbouw ialah negara kesatuan atau federasi. Lihat Prof. Mr. Djokosoetono, Hukum Tata Negara, 2006:46-69.

[8] Pada sidang BPUPK banyak anggota yang tidak memahami penjabaran substansi dari republik. Yang dipahami hanyalah yang paling pokok, bahwa di negara yang berbentuk republik, kepala negaranya tidak turun temurun dan harus dipilih. K.H. Sanusi memakai istilah Imamat dan K.H. A.Halim memakai istilah Jumhuriah. Di BPUPK dan PPKI, republik diartikan sebagai bentuk negara dan juga bentuk pemerintahan. Di Konstituante, republik hanya diartikan sebagai bentuk pemerintahan, tetapi para anggota Konstituante mengakui tidak memahami arti sesungguhnya dari kata republik, sebab itu mereka menugaskan kepada Panitia Persiapan Konstitusi untuk lebih jauh membahas isi, sifat dan macam republik. (Lihat Dr. J.C.T. Simorangkir , S.H., Tentang dan Sekitar UUD 1945, 1987:119).

[9] Norma itu sudah dianut sejak abad delapan belas. Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno berpidato tentang Jean Jaures dapat mengkritik habis-habisan seorang menteri tanpa mendapat sanksi.

MERETAS PEMIKIRAN © 2008 Template by:
SkinCorner modified by Teawell
Untuk mendapatkan tampilan terbaik situs ini
gunakan resolusi 1024x768 dan browser IE atau Firefox